Bismillah ar-Rahman ar-Rahim
red. catatan kaki ada dibagian bawah page ini.
Insya Awlloh semua isinya benar...
Insya Awlloh semua isinya benar...
Maka, tidak ada alasan lagi bagi Muslim untuk tidak tahu bahwa perdagangan sehari-hari itu di atur oleh Awlloh melalui syariat Nya. Kecuali hati nya sudah dikunci rapat oleh Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.
Kitab 31. Transaksi Bisnis
Bab 31.1. Setoran
yang Tidak Dapat Kembali (transaksi
‘urban)
Bab 31.2. Kekayaan
Para Budak
Bab 31.3. Pertanggung-jawaban
yang Termasuk dalam Kesepakatan
Bab 31.4. Kekurangan
(Cacat) pada Budak
Bab 31.5. Pembelian
Budak Wanita dengan Persyaratan Terlampir
Bab 31.6. Larangan
untuk Melakukan Hubungan Seksual dengan Budak Wanita Berstatus Menikah
Bab 31.8. Larangan
Menjual Buah Sampai ia Mulai Matang
Bab 31.9. Penjualan
Ariya
Bab 31.10. Efek dari
Gagal-Panen di Penjualan Hasil-Tani
Bab 31.11. Menahan
Sebagian dari Buah-buahan
Bab 31.12. yang Makruh
dalam Penjualan Kurma
Bab 31.13. Muzabana dan Muhaqala
Bab 31.14. Catatan
Umum tentang Menjual Suatu Hasil di Sumbernya
Bab 31.15. Penjualan
Buah-buahan
Bab 31.16. Menjual
Emas untuk Perak (Yang Sudah Dicetak dengan Yang Belum Dicetak)
Bab 31.17. Menukar
Uang
Bab 31.18. Menjual
Emas untuk Emas dan Perak untuk Perak, dengan Menggunakan Timbangan
Bab 31.19. Membeli
dengan Cara Penundaan dan Menjual Kembali Lebih Murah dengan Cara Langsung.
Bab 31.20. Apa yang
Tidak dibenarkan dalam Menjual Makanan dengan Penangguhan Pembayaran ataupun
Pengiriman
Bab 31.21. Pembayaran
di Muka untuk Makanan
Bab 31.22. Menukar
Makanan dengan Makanan Tanpa Penambahan Diantaranya
Bab 31.23. Penjualan
Makanan Secara Umum
Bab 31.24. Menimbun
dan Menaikkan Harga dengan Cara Penimbunan Barang
Bab 31.25. Yang diperbolehkan
dalam Barter Hewan dengan Hewan Lainnya dan Pembayaran di Muka untuk Jual-Beli
Hewan
Bab 31.26. Yang Tidak
Diperbolehkan dalam Penjualan Hewan
Bab 31.27. Menukarkan
Hewan dengan Daging
Bab 31.28. Menjual Daging
dengan Daging
Bab 31.29. Penjualan
Anjing
Bab 31.30. Pembayaran-dimuka
dan Penjualan Beberapa Barang untuk Barang Lainnya
Bab 31.31. Pembayaran-dimuka
untuk (Pembelian) Barang
Bab 31.32. Menjual
Barang yang Dapat Ditimbang Seperti Tembaga, Besi dan yang Sejenis
Bab 31.33. Larangan
untuk Melakukan Dua Penjualan Dalam Satu Penjualan
Bab 31.34. Transaksi
yang di Dalamnya Terdapat Ketidak-pastian
Bab 31.35. Al-Mulamasa
dan al-Munabaza
Bab 31.36. Transaksi
Murabaha (Kerja Sama antara Pemilik-modal dan Peminjam dalam Berbagi Keuntungan
dalam Penjualan-Kembali)
Bab 31.37. Penjualan
Berdasarkan Katalog
Bab 31.38. Hak untuk
Mengundurkan Diri (Khiyar)
Bab 31.39. Riba dalam
Hutang
Bab 31.40. Hutang dan
Pengalihan Hutang Secara Umum
Bab 31.41. Partnership,
Pengalihan Tanggung-Jawab kepada Seorang Wakil, dan Pembatalan Jual-Beli
Bab 31.42. Jika
Orang yang Berhutang Bangkrut
Bab 31.43. Apa Yang
Diperbolehkan dalam Pinjaman
Bab 31.44. Apa Yang
Tidak Diperbolehkan dalam Pinjaman
Bab 31.45. Apa Yang
Dilarang dalam Tawar-Menawar dan Transaksi Serupanya.
Bab 31.46. Transaksi
Bisnis Secara Umum
Bab 31.1. Setoran[1] yang Tidak Dapat Kembali (transaksi ‘urban)
1. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari sebuah sumber yang dapat dipercaya, dari Amr ibn Shu’ayb, dari
bapaknya, dari kakeknya bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang transaksi
di mana setoran atau depoit yang dibayarkan di dalamnya tak dapat kembali.
Malik
berkata,
“Menurut
pendapat kami, tapi Allah Maha Mengetahui, contoh dari masalah di atas adalah
seorang laki-laki yang membeli seorang budak laki-laki, atau budak perempuan,
atau menyewa seekor hewan, dan kemudian berkata kepada orang yang menjual budak
ataupun menyewakan hewan itu:
‘Aku akan memberikan
kepadamu 1 dinar atau 1 dirham atau apa saja, dengan syarat jika aku
benar-benar mengambil barang atau menggunakan apa yang aku sewa darimu, maka
apa yang telah aku berikan kepadamu merupakan pembayaran barang ataupun sewa
hewan itu. Jika aku tidak membeli barang ataupun menyewa hewan tersebut, maka
apa yang telah aku berikan kepadamu adalah milikmu tanpa tanggung-jawab apapun
dari pihakmu.”
Malik berkata,
“Menurut amal yang kami
lakukan, tidak ada salahnya membarter (menukar) seorang budak yang berbahasa
Arab dengan budak Abyssinia atau tipe lain yang tidak sebanding dengannya,
dalam konteks kelancaran berbicaranya, berdagang, ketajaman pikiran, dan
pengetahuan. Tidak ada salahnya dalam melakukan barter satu orang budak semacam
ini dengan dua atau lebih budak lain jika ia jelas berbeda. Jika tidak ada
perbedaan yang patut dihargai antara budak-budak tersebut, dua budak tidak
dapat dibarter dengan satu budak dengan penundaan waktu meskipun jenis rasnya
berbeda.’
Malik
berkata,
“Tidak ada salahnya menjual
apa yang telah engkau beli dalam transaksi seperti ini, sebelum engkau bayar penuh[2]
sepanjang engkau menerima bayarannya dari seseorang selain dari pemilik
asalnya.”
Malik berkata,
“Tambahan harga tidak boleh diberlakukan bagi janin yang masih ada dalam kandungan ibunya ketika ibunya
dijual karena itu adalah gharar (transaksi yang tidak pasti). Tidak
diketahui apakah anak akan lahir tersebut laki-laki atau perempuan, tampan atau
jelek, normal atau cacat, hidup atau mati. Kesemuanya ini akan mempengaruhi
harga.”
Malik
berkata bahwa dalam sebuah transaksi di mana seorang budak laki-laki atau budak
perempuan dijual seharga 100 dinar dengan masa cicilan yang telah ditentukan,
jika si penjual menyesal terhadap penjualannya, tidak ada salahnya baginya
untuk meminta si pembeli agar membatalkan pembeliannya untuk 10 dinar, dengan
itu ia (si penjual) menghapus hak 100 dinarnya.
Malik berkata,
“Akan tetapi, jika si pembeli
menyesal dan meminta si penjual untuk membatalkan penjualan seorang budak atau
seorang budak wanita dengan konsekuensi ia akan membayar ekstra 10 dinar secara
langsung ataupun menambahkan masa cicilannya, itu tidak boleh dilakukan. Ini tidak
dibenarkan karena ini seolah-olah seperti, misalnya; si penjual membeli 100
dinar yang mana masih belum genap 1 tahun masa cicilannya sebelum berakhirnya
tahun perjanjian untuk seorang budak wanita, dan 10 dinar harus segera dibayarkan,
atau masa cicilannya menjadi lebih lama dari tahun itu. Ini termasuk dalam
kategori penjualan emas ketika perpanjangan waktu masuk ke dalamnya.”
Malik
berkata bahwa tidak baik bagi seorang laki-laki untuk menjual seorang budak
wanita kepada laki-laki lain untuk 100 dinar dengan cicilan, dan kemudian membelinya
kembali dengan harga lebih tinggi dari harga semula atau dengan masa cicilan
yang lebih panjang dari masa ia menjualnya. Untuk memahami mengapa tidak
dibenarkan, contoh yang dapat dilihat adalah pada seorang laki-laki yang
menjual seorang budak wanita dengan cara cicilan dan membelinya kembali dengan
masa cicilan yang lebih panjang. Ia mungkin telah menjualnya seharga 30 dinar
dengan masa pembayaran satu bulan dan kemudian ia membelinya kembali seharga 60
dinar dengan masa pembayaran selama satu ataupun setengah tahun. Akibatnya
adalah, barang (yang dijualnya) pasti akan dikembalikan kepadanya sebagaimana
asalnya, dan pihak yang lain yang telah
memberinya 30 dinar dalam masa cicilan
satu bulan, memperoleh 60 dinar darinya
dengan masa cicilan satu atau
setengah tahun. Itu tidak boleh dilakukan.[3]
Bab 31.2. Kekayaan Para Budak
2. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dan Abdullah ibn Umar bahwa Umar
ibn al-Khattab berkata,
“Jika seorang budak yang
memiliki harta dijual, harta itu menjadi milik si penjual kecuali si pembeli
mensyaratkannya.”
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati
di antara kami adalah jika si pembeli mensyaratkan harta si budak, baik itu
tunai, uang yang dimilikinya, atau barang-barang yang nilainya diketahui
ataupun tidak diketahui, maka itu menjadi milik si pembeli, meskipun si budak
memiliki harta yang lebih banyak dari harga pembelian dirinya, baik si budak dibeli
secara tunai, sebagai pembayaran hutang, ataupun tukar-menukar barang. Ini
dimungkinkan karena seorang tuan tidak diminta untuk membayar zakat atas harta
budaknya. Jika seorang budak memiliki seorang budak wanita, halal baginya (si
budak) untuk melakukan hubungan seksual dengannya (budak wanita) berdasarkan
hak kepemilikannya. Jika seorang budak dibebaskan atau berada dalam perjanjian (kitaba) untuk membeli
kebebasannya, maka hartanya menjadi miliknya (si budak). Jika ia bangkrut,
kreditornya mengambil alih hartanya dan tuannya tidak bertanggung-jawab atas
hutangnya.
Bab 31.3. Pertanggung-jawaban yang Termasuk dalam Kesepakatan
3. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abdullah ibn
Abi Bakr ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm bahwa Aban ibn Usman dan Hisyam ibn Isma’il
dahulu menyebutkan dalam khutbah mereka pertanggung-jawaban yang termasuk dalam
kesepakatan penjualan para budak, meliputi masa tiga hari dan ketentuan yang sama
meliputi satu tahun.
Malik
menjelaskan,
“Kerusakan/cacat yang
ditemukan pada seorang budak laki-laki ataupun budak wanita merupakan tanggung-jawab
penjual sejak hari mereka dibeli sampai tiga hari. Kesepakatan satu tahun
adalah untuk masalah; gila, lepra atau kusta, kehilangan anggota badan karena
wabah. Setelah satu tahun, penjual bebas dari segala pertanggungjawaban.”
Malik
berkata,
“Seorang pewaris atau
seorang lainnya yang menjual seorang budak laki-laki ataupun budak perempuan
tanpa garansi semacam ini tidak bertanggung-jawab atas kesalahan atau kekurangan
apa pun pada si budak, dan tidak ada kesepakatan pertangung-jawaban apapun yang
diberikan kepadanya kecuali ia mengetahui akan kesalahan atau kekurangan
tersebut dan menutupinya. Jika ia mengetahui kesalahan atau kekurangan itu,
kurangnya (perjanjian) garansi tidak melindunginya – pembelian dikembalikan
atau dibatalkan. Menurut pandangan kami, pertanggung-jawaban yang termasuk
dalam kesepakatan hanya diterapkan dalam pembelian budak.”
Bab 31.4. Kekurangan (Cacat) pada Budak
4. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Yahya ibn Sa’id, dari Salim ibn Abdullah
bahwa Abdullah ibn Umar menjual salah satu budaknya seharga 800 dirham dengan
ketetapan ia tidak bertangung jawab atas cacat. Orang yang membeli budak
tersebut menuntut Abdullah ibn Umar, mengenai penyakit yang dimiliki oleh si
budak, yang ia tidak diberitahu (sebelumnya). Mereka berbantah dan pergi kepada
Usman ibn Affan untuk meminta keputusan. Orang itu berkata,
“Ia
menjual kepadaku seorang budak yang memiliki penyakit, yang tidak
diberitahukannya kepadaku.”
Abdullah
berkata,
“Aku
menjual kepadanya dengan ketetapan bahwa aku tidak bertanggung-jawab.”
Usman ibn Affan memutuskan
agar Abdullah ibn Umar bersumpah bahwa ia telah menjual budak tersebut tanpa
mengetahui bahwa ia memiliki penyakit apa pun. Abdullah ibn Umar menolak untuk
bersumpah, maka si budak dikembalikan kepadanya dan kembali sehat di tangannya,
Abdullah menjualnya setelah itu seharga 1.500 dirham.
Malik
berkata,
“Yang biasanya disepakati
di antara kami mengenai seorang laki-laki yang membeli seorang budak wanita dan
ia (kemudian) hamil, atau seseorang yang membeli budak dan kemudian membebaskannya,
atau jika ada hal semacam ini yang sudah terjadi (pada sesuatu yang dibeli),
maka ia (si pembeli) tidak dapat mengembalikan pembeliannya, dan satu bukti
nyata harus diberikan bahwa cacat atau kekurangan telah ada ketika itu (masih)
berada di tangan penjual, atau cacat itu diakui oleh penjual atau oleh
seseorang lainnya, adalah budak laki-laki ataupun budak wanita itu ditaksir
dengan harga yang telah dikurangi cacat yang ditemukan pada hari pembelian, dan
kepada pembeli dibayarkan kembali selisih antara harga budak ketika ia dijual
dan harganya dengan cacat tersebut, dari harga yang sudah ia bayarkan.”
Malik
berkata,
“Yang biasanya disepakati
di antara kami, mengenai seorang laki-laki yang membeli seorang budak laki-laki
dan kemudian menemukan bahwa budak tersebut memiliki cacat sehingga dapat dikembalikan
dan di saat yang sama cacat lain telah terjadi pada budak tersebut ketika ia
berada dalam kepemilikan laki-laki di atas, adalah jika cacat yang muncul pada budak
itu ketika ia dalam kepemilikannya membahayakan si budak, seperti kehilangan
anggota badan, kehilangan mata, atau sesuatu yang seperti ini, maka ia memiliki
pilihan. Jika ia mau, ia dapat menerima harga budak setelah dikurangi cacat
(pada saat ia membeli) berdasarkan harga pada hari ia membelinya, atau jika ia
mau, ia dapat membayar ganti rugi untuk cacat yang diderita budak ketika ia
dalam kepemilikannya, dan mengembalikannya (kepada si penjual). Pilihan
terserah padanya.Jika si budak meninggal dalam kepemilikannya, budak itu
dinilai dengan cacat yang telah ia miliki pada hari pembeliannya. Dilihat
berapa harganya sebenarnya. Jika harga budak tanpa cacat adalah 100 dinar, dan
harga dengan cacat pada hari pembelian adalah 80 dinar, maka harganya dikurangi
berdasarkan selisih yang ada. Harga-harga ini ditaksir menurut harga pasar pada
hari si budak dibeli.”
Malik
berkata,
“Yang biasanya disepakati
di antara kami, jika seorang laki-laki mengembalikan seorang budak wanita yang
ditemukan memiliki cacat, sementara si laki-laki telah melakukan hubungan
seksual dengannya, maka ia harus membayar apa yang telah ia kurangkan dari si
budak wanita jika ia masih perawan. Jika ia bukan perawan, tidak ada yang harus
ia pertanggung-jawabkan karena hubungan
seksual yang ia lakukan dengannya berdasarkan hak yang ia miliki atasnya.”
Malik
berkata,
“Yang biasanya disepakati
di antara kami, mengenai seseorang, baik ia pewaris atau bukan, yang menjual
seorang budak laki-laki, budak wanita atau hewan, tanpa kesepakatan pertanggung-jawaban,
adalah bahwa ia tidak bertanggung-jawab atas apa yang ia jual kecuali ia
mengetahui cacat tersebut dan menutupinya. Jika ia tahu bahwa ada cacat dan ia
menutupinya, pernyataannya bahwa ia bebas dari tanggung-jawab tidak
membebaskannya, dan apa yang ia jual (harus) dikembalikan kepada-nya.”
Malik
berbicara mengenai sebuah situasi di mana seorang budak-wanita ditukar dengan
dua orang budak wanita lain dan kemudian salah satu budak wanita ditemukan
memiliki cacat sehingga ia dapat dikembalikan. Ia (Malik) berkata,
· Budak wanita yang bernilai
dua budak wanita lain itu dinilai harganya.
· Kemudian, dua budak wanita
lain itu dinilai, dengan mengenyam-pingkan cacat salah satu diantara mereka.
· Kemudian harga budak wanita
yang dijual senilai dengan dua budak wanita itu dibagi di antara mereka menurut
harga mereka sehingga proporsi harga masing-masing dari mereka sampai pada
harga tertingginya, dan kepada yang satu (yang tidak memiliki cacat) menurut harganya.
· Kemudian, seseorang melihat
kepada budak yang memiliki cacat, dan si pembeli dibayar kembali menurut bagian
jumlahnya yang diakibatkan oleh cacatnya, sedikit ataupun banyak.
Harga dua orang budak
wanita itu didasarkan pada harga pasar pada hari mereka dibeli.”
Malik berbicara
tentang seorang laki-laki yang membeli seorang budak laki-laki dan
menyewakannya dalam waktu panjang ataupun dalam waktu pendek, dan kemudian
ditemukan bahwa si budak memiliki cacat yang membutuhkan pengembaliannya. Ia
berkata bahwa jika orang tersebut mengembalikan si budak karena cacat, ia tetap
memiliki uang sewa dan penghasilannya.
“Inilah
cara yang dilakukan di kota kami. Itu karena jika orang yang membeli budak yang
kemudian membangun rumah untuknya, dan harga rumah berlipat-lipat dari harga si
budak, dan ia kemudian menemukan bahwa si budak memiliki cacat yang
mengakibatkannya dapat dikembali-kan, ia tidak harus membayar kerja yang telah
dilakukan oleh si budak untuknya. Sama halnya, ia akan tetap memiliki
pendapatan apa pun dari menyewakannya karena ia memiliki hak atasnya. Inilah
cara yang diamalkan di antara kami.”
Malik berkata,
“Amal-an
di antara kami ketika seseorang membeli beberapa budak dalam satu paket dan
kemudian menemukan bahwa salah seorang di antara mereka telah dicuri, ataupun
memiliki cacat, adalah ia melihat kepada yang ia temukan dicuri, atau yang ia
temukan memiliki cacat.Jika ia adalah yang terbaik dari budak-budak itu,
ataupun yang paling mahal, ataupun karenanya dia membeli mereka, atau ia adalah
yang paling unggul menurut orang-orang, maka keseluruhan pembelian
dikembalikan. Jika yang ternyata dicuri ataupun memiliki cacat bukanlah yang
terbaik, dan ia tidak membeli paket budak-budak itu karena ada dia di dalamnya,
dan tidak ada kelebihan khusus yang dilihat orang-orang padanya, budak yang ditemukan
memiliki cacat ataupun dicuri dikembalikan sebagaimana adanya, dan (kepada)
pembeli dibayarkan kembali bagian si budak dari total harga.”
Bab 31.5. Pembelian Budak Wanita dengan Persyaratan Terlampir
5. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari
Ibn Shihab bahwa Ubaydullah ibn Abdullah ibn Utba ibn Mas’ud memberitahunya
bahwa Abdullah ibn Mas’ud membeli seorang budak wanita dari isterinya, Zaynab
ath-Thaqafiyya, Si isteri membuat persyaratan baginya bahwa jika ia membeli si
budak, si isteri selalu dapat membelinya kembali seharga yang ia bayarkan. Abdullah
ibn Mas’ud bertanya kepada Umar ibn al-Khattab mengenai hal itu dan Umar ibn al-Khattab
berkata,
“Jangan mendekatinya ketika
seseorang memiliki syarat tertentu mengenainya atas kamu.”
6. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari
Nafi’ bahwa Abdullah ibn Umar akan berkata,
“Seorang laki-laki
hendaknya tidak melakukan hubungan seksual dengan seorang budak wanita kecuali
seseorang yang, jika ia mau, dapat ia jual, dan jika ia mau, ia dapat memberikannya
(kepada orang lain), dan jika ia mau, ia dapat tetap memilikinya, dan jika ia
mau, ia dapat melakukan apa yang ia mau terhadapnya.”
Malik berkata bahwa
seseorang yang membeli seorang budak wanita dengan syarat bahwa ia tidak menjualnya,
memberikannya kepada orang lain, atau melakukan sesuatu yang biasanya, tidak
boleh melakukan hubungan seksual dengannya, Itu karena ia tidak dibolehkan
untuk menjualnya atau memberikannya (kepada orang lain); maka jika ia tidak
berhak untuk itu terhadap si budak, ia tidak memiliki kepemilikan penuh atasnya
sebab pengecualian telah dibuat mengenainya oleh tangan seseorang lainnya. Jika
syarat semacam itu masuk, maka itu adalah situasi yang salah, maka penjualan
semacam ini dibenci orang-orang.
Bab 31.6. Larangan untuk Melakukan Hubungan Seksual dengan Budak Wanita Berstatus Menikah
7. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari
Ibn Shihab bahwa Abdullah ibn Amir memberi Usman ibn Affan seorang budak wanita
yang telah bersuami, yang ia beli di Basra. Usman berkata,
“Aku
tidak akan mendekatinya sampai suaminya berpisah (bercerai) darinya.”
Ibn Amir memberi ganti rugi
kepada si suami dan ia-pun bercerai dari budak wanita itu.
8. Yahya menyampaikan
kepadaku dari Malik, dari Ibn Shihab, dari Abu Salama ibn Abd ar-Rahman ibn Awf
bahwa Abd ar-Rahman ibn Awf membeli seorang budak wanita dan menemukan bahwa ia
memiliki suami, maka ia mengembalikan budak wanita itu.
Bab 31.7. Pemilikan atas Buah yang Pohonnya Dijual
9. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari
Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
“Jika pohon-pohon palem dijual setelah penyerbukan, buahnya menjadi
milik si penjual kecuali pembeli menetapkan bahwa itu termasuk di dalamnya (penjualan).”
Bab 31.8. Larangan Menjual Buah Sampai ia Mulai Matang
10. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Ibn Umar bahwa Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, melarang untuk menjual buah sampai ia mulai matang.
Ia melarang transaksi ini baik kepada pembeli ataupun kepada penjual.
11. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Humayd at-Tawil, dari Anas ibn Malik bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi
wa salam, melarang untuk menjual buah sampai ia menjadi matang, Ia ditanya:
“Rasulullah,
apa maksud anda ya rasul, dengan ‘menjadi matang’?”
Rasul
menjawab:
“Ketika ia menjadi berwarna merah.”
Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, menambahkan,
“Allah mungkin menghalangi matangnya, lantas, atas dasar apa sebahagian
kalian mengambil harta saudaranya?”
12. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abu’r-Rijal Muhammad ibn Abd ar-Rahman
ibn Haritsa, dari ibunya, Amra bint Abd ar-Rahman, bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi
wa salam, melarang menjual buah sampai jelas ia (buah tersebut) bersih dari
penyakit.
Malik berkata,
“Menjual buah sebelum ia matang
adalah sebuah transaksi yang tidak pasti (gharar) .”
13. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abu’z-Zinad, dari Kharija ibn Zayd ibn
Tsabit bahwa Zayd ibn Tsabit tidak menjual buah sampai pleaides[4]
kelihatan (di awal musim panas).
Malik berkata,
“Yang kami lakukan di
antara kami dalam hal menjual melon, ketimun, semangka, dan wortel adalah halal
untuk dijual ketika jelas bahwa mereka telah mulai matang, Kemudian si pembeli
memiliki apa yang tumbuh sampai musim (buah) berakhir. Tidak ada waktu khusus
yang ditentukan, karena waktu matangnya sudah sama-sama diketahui oleh orang-orang,
dan bisa saja tumbuh-tumbuhan tersebut akan terserang penyakit, sehingga tidak
ada yang matang sampai akhir musim. Jika penyakit menyerang dan sepertiga atau lebih
dari tanaman itu rusak, bayaran nya dikurangi dari harga pembelian.”
Bab 31.9. Penjualan Ariya[5]
14. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar, dari Zayd
ibn Tsabit bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, membolehkan pemilik ‘ariya
untuk membarter kurma di atas pohon dengan sejumlah kurma kering yang
diperkirakan akan dihasilkan oleh pohon tersebut.
Yahya menyampaikan
kepadaku dari Malik, dari Da’ud ibn al-Husayn, dari Abu Sufyan, mawla Ibn
Abi Ahmad, dari Abu Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam,
membolehkan hasil ‘ariya untuk dibarter dengan memperkirakan berapa yang akan
dihasilkannya ketika buah-buah itu kurang dari 5 awsuq atau sama dengan 5
awsuq, Da’ud tidak yakin apakah ia (Rasul)
mengatakan lima awsuq atau kurang
dari lima.
Malik berkata,
“Ariya dapat dijual dengan memperkirakan berapa jumlah kurma kering
yang akan dihasilkan. Buah itu dinilai dan diperkirakan ketika ia masih
berada di atas pohon. Ini dibolehkan karena termasuk kategori penyerahan tanggung-jawab,
pemberian hak, dan melibatkan seorang mitra, Jika saja hal ini seperti
penjualan biasa, maka tidak seorangpun yang mau bermitra dalam produksi sampai
buah itu matang, juga tidak akan ada yang mau bersusah-payah mengurusi hal semacam
ini ataupun menugaskan seseorang atasnya sampai si pembeli mengambil alih
kepemilikannya.”
Bab 31.10. Efek dari Gagal-Panen di Penjualan Hasil-Tani
15. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik
bahwa Abu’r-Rijal Muhammad ibn Abd ar-Rahman mendengar ibunya, Amra bint Abd
ar-Rahman berkata,
“Seorang
laki-laki membeli buah dalam sebuah kebun yang terbuka pada masa Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, dan ia menginginkannya ketika buah tersebut masih
dikebun. Ketika jelas baginya bahwa akan ada kerugian, Ia meminta kepada
pemilik kebun untuk mengurangi harga baginya ataupun membatalkan penjualan,
tapi si pemilik bersumpah untuk tidak melakukannya. Ibu si pembeli pergi kepada
Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, dan memberitahukan kepadanya tentang
itu. Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
‘Dengan sumpah ini, ia telah bersumpah untuk
tidak melakukan kebaikan.’
Si
pemilik kebun mendengar tentang itu dan pergi kepada Rasulullah, salallahu ‘alayhi
wa salam, dan berkata,
‘Rasulullah, pilihan ada
padanya.”[6]
16. Yahya menyampaikan
kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa Umar ibn Abd al-Aziz
memutuskan dalam kasus tertentu untuk mengurangi (harga) buah-buahan yang
rusak.
Malik berkata,
“Ini yang kami lakukan dalam
situasi ini.”
Malik menambahkan:
“Kerusakan buah adalah apa
pun yang mengakibatkan kehilangan 1/3 atau lebih pada si pembeli. Yang kurang
dari itu tidak dihitung sebagai kerusakan buah.”
Bab 31.11. Menahan Sebagian dari Buah-buahan
17. Yahya menyampaikan
kepadaku dari Malik, dari Rabi’a ibn Abd ar-Rahman bahwa al-Qasim ibn Muhammad
akan menjual hasil kebunnya dan menyimpan sebagian.
18. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abdullah ibn Abi Bakr bahwa kakeknya,
Muhammad ibn Amr ibn Hazm menjual hasil kebunnya yang disebut al-Afraq seharga
4.000 dirham, dan ia menyimpan kurma kering senilai 800 dirham.
19. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abu’r-Rijal Muhammad ibn Abd ar-Rahman
ibn Haritsa bahwa ibunya, Amra bint Abd ar-Rahman, menjual buahnya dan
menyimpan sebagian.
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati
di antara kami adalah ketika seorang laki-laki menjual buah hasil kebunnya, ia
dapat menyimpan sampai dengan 1/3 dari buah tersebut, dan tidak lebih. Tidak
ada larangan terhadap apa yang kurang dari 1/3.”
Malik menambahkan bahwa
ia pikir tidak ada larangan bagi seseorang untuk menjual buah hasil kebunnya
dan menyimpan hanya buah dari satu ataupun beberapa pohon tertentu yang telah
ia pilih, dan yang jumlahnya telah ia tentukan, karena si pemilik hanya
menyimpan buah-buah tertentu dari kebunnya sendiri sementara yang lainnya ia
jual.
Bab 31.12. yang Makruh[7] dalam Penjualan Kurma
20. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Zayd ibn Aslam bahwa Atha ibn Yasar berkata,
“Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
‘Kurma kering dengan kurma kering harus dipertukarkan
sebanding.’
Dikatakan
kepadanya,
‘Agen
Anda di Khaybar mengambil satu sa’ untuk dua.’
Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
‘Panggil ia kepadaku.’
Maka
ia dipanggil. Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, bertanya:
‘Apakah engkau mengambil satu sa’ untuk dua?’
Ia menjawab,
‘Rasulullah!
Bagaimana mungkin mereka menjual kepadaku kurma yang bagus untuk kurma yang
berkualitas rendah, satu sa’ untuk satu sa.’
Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
‘Juallah yang berkualitas rendah seharga beberapa dirham, dan belilah
yang bagus dengan dirham-dirham tersebut.’
21. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik,
dari Abd al-Hamid ibn Suhayl ibn Abd ar-Rahman ibn Awf, dari Sa’id ibn al-Musayyab,
dari Abu Sa’id al-Khudri dan dari Abu Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi
wa salam, menunjuk seorang laki-laki sebagai agen-nya di Khaybar, dan ia
membawakannya kurma-kurma yang bagus. Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata
kepadanya,
“Apakah semua kurma di Khaybar seperti ini?”
Ia berkata,
“Tidak,
demi Allah, wahai Rasulullah! Kami memperoleh satu sa’ kurma jenis ini dengan
menukar dua sa’ atau dua sa’ dengan tiga sa’.”
Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
‘Jangan lakukan itu. Juallah yang jelek beberapa dirham dan kemudian
belilah yang baik dengan dirham-dirham tersebut.’”
22. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Abdullah ibn Yazid bahwa Zayd ibn Ayyash memberitahunya bahwa ia
suatu ketika bertanya kepada Sa’d ibn Abi Waqqas mengenai menjual gandum putih
untuk sejenis gandum yang bagus. Sa’d bertanya kepadanya mana yang lebih baik
dan ketika ia memberitahunya bahwa (yang lebih baik adalah) gandum putih, ia
melarang transaksi itu, Sa’d berkata,
“Aku
mendengar Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, ditanya tentang menjual kurma
kering untuk kurma segar (basah), dan Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
‘Apakah kurma-kurma mengecil ukurannya ketika
mengering?’
Ketika ia diberitahu bahwa kurma-kurma
itu mengecil, ia melarang hal itu.”
Bab 31.13. Muzabana dan Muhaqala
23. Yahya menyampaikan
kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, melarang muzabana.
Muzabana adalah menjual kurma segar (basah) untuk kurma kering dengan
timbangan, dan menjual anggur segar untuk anggur kering dengan timbangan.
24. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Da’ud ibn al-Husayn, dari Abu Sufyan, mawla Ibn Abi Ahmad, dan Sa’id al-Khudri
bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang muzabana dan Muhaqala.
Muzabana adalah menjual kurma
segar (basah) dengan kurma kering ketika mereka masih di atas pohon. Muhaqala adalah menyewakan tanah untuk ditukarkan
dengan gandum.
25. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Ibn Shihab, dan Sa’id ibn al-Musayyab
bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang muzabana dan Muhaqala. Muzabana adalah menjual kurma segar
dengan kurma kering, Muhaqala adalah
membeli gandum yang belum dipanen dengan gandum yang sudah digiling, dan atau
menyewakan tanah untuk ditukarkan dengan gandum.
Ibn Shihab menambahkan bahwa ia telah bertanya kepada Sa’id
ibn al-Musayyab mengenai menyewakan tanah dengan (bayaran) emas dan perak. Ia berkata,
“Tidak ada larangan di
dalamnya.”
Malik berkata,
“Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, melarang muzabana.
Penjelasan muzabana adalah membeli
sesuatu yang jumlahnya, berat ataupun ukurannya, tidak diketahui dengan sesuatu
yang jumlahnya, berat ataupun ukurannya, diketahui,
‘Misalnya, jika seorang
laki-laki memiliki setumpuk makanan yang timbangannya tidak diketahuinya; entah
itu gandum atau kurma, atau makanan apa pun, atau orang tersebut memiliki
barang-barang yang terdiri dari gandum, biji kurma, tumbuhan, kapas, rami,
sutera, dan ia tidak tahu baik ukurannya atau beratnya atau jumlahnya, dan
kemudian seorang pembeli mendatanginya dan mengusulkan agar si pembeli
menimbang atau mengukur atau menghitung barang-barang tersebut, namun sebelum
ia melakukannya, ia menyebutkan berat, ukuran atau jumlah tertentu dan menjamin
untuk membayar jumlah tersebut, dengan kesepakatan bahwa jika (ternyata setelah
dihitung) kurang maka itu adalah resikonya, dan jika lebih maka itu adalah
keuntungannya. Ini bukanlah jual-beli. Ini adalah mengambil resiko dan
transaksi yang tidak pasti. Dan termasuk dalam kategori judi, karena ia tidak
membeli sesuatu darinya yang pasti untuk dibayar. Segala sesuatu yang mirip dengan
ini juga dilarang.’”
Malik berkata bahwa contoh lain dari itu adalah,
Misalnya,
seorang laki-laki mengajukan kepada seseorang lainnya,
“Engkau
punya kain. Aku menjamin dari kain mu ini akan jadi jubah berkerudung yang
jumlahnya sangat banyak, ukuran setiap jubah akan seperti ini dan ini
(menyebutkan ukurannya). Kekurangan apa pun (dari jumlah yang sudah disebutkan)
yang mungkin terjadi merupakan resikoku dan aku akan memberikan kepadamu jumlah
yang sudah disebutkan. (Sebaliknya) Kelebihan apa pun yang mungkin terjadi
merupakan milikku.”
Atau
mungkin orang tersebut mengusulkan,
“Aku menjamin
untukmu, dari kain milikmu ini akan jadi sejumlah pakaian, ukuran setiap
pakaian adalah ini dan ini, jika jumlahnya kurang dari ini, maka itu merupakan
resikoku dan aku akan memmberikan jumlah yang sudah disebutkan. Jika lebih,
maka kelebihannya menjadi milikku.”
Atau
mungkin seorang laki-laki menawarkan kepada seseorang yang memiliki kulit domba
ataupun kulit unta,
“Aku
akan memotong kulit mu ini menjadi sandal dengan bentuk atau pola yang akan kutunjukkan
kepadamu. Aku akan mengganti jika jumlahnya kurang dari 100 pasang. Tapi jika lebih,
maka kelebihannya menjadi milikku karena aku memberikan jaminan kepadamu.”
Contoh
yang lain adalah seorang laki-laki yang berkata kepada seseorang yang memiliki
biji kacang,
“Aku akan memeras (dengan
menekan) biji-biji mu ini. Aku akan mengganti dengan beberapa pound jika jumlah beratnya kurang dari
ini dan ini. Jika lebih dari itu, maka (kelebihannya) milikku.”
Malik berkata bahwa semuanya ini dan yang mirip seperti ini
ada dalam kategori muzabana, dan jual-beli
seperti ini tidak baik dan tidak dibolehkan. Sama halnya dengan seseorang yang
berkata kepada seseorang yang memiliki daun-daunan untuk makanan hewan, biji
kurma, kapas, rami, tumbuhan atau widuri:
“Aku akan membeli
daun-daunan ini dari engkau dengan tukaran (barter) satu sa’ ini dan ini,
(menunjuk pada daun-daun yang sudah ditumbuk seperti daun miliknya)… atau
biji-biji kurma ini dengan satu sa’ ini dan ini, dan yang seperti itu dalam
kasus widuri, kapas, rami dan tumbuhan.”
Malik berkata,
“Kesemuanya ini termasuk
dalam apa yang kita uraikan sebagai muzabana.”
Bab 31.14. Catatan Umum tentang Menjual Suatu Hasil di Sumbernya
26. Malik
berkata,
“Tidak ada larangan dalam
membeli kurma dari pohon-pohon tertentu atau kebun tertentu, atau membeli susu
dari domba-domba tertentu jika si pembeli langsung mengambilnya setelah ia
membayar harganya. Itu seperti membeli minyak dari sebuah tempat (minyak),
Seseorang membeli sebagian darinya seharga 1 atau 2 dinar, dan memberikan
emasnya dan menetapkan agar minyak itu ditimbang dan dikeluarkan untuknya.
Tidak ada larangan dalam hal itu, Jika tempat minyak itu rusak dan minyaknya
tumpah, maka si pembeli memperoleh kembali emasnya, dan tidak ada transaksi
diantara mereka (batal) .”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan dalam hal
dimana sesuatu itu langsung diambil seperti ini, seperti susu segar, kurma
segar yang baru dipetik, dimana pembeli dapat mengambilnya dari hari ke hari.
Jika penghasilannya (domba ataupun pohon kurma) habis sebelum si pembeli
memperoleh seluruh yang sudah ia bayar, penjual mengembalikan bagian emas yang
sudah diberikan kepadanya, atau pembeli mengambil barang lain dari penjual yang
sebanding dengan kekurangannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Pembeli tetap tinggal bersama si penjual sampai ia telah mengambilnya. Tidak dibenarkan bagi si penjual untuk pergi
karena transaksi itu dapat masuk ke dalam karegori terlarang, yakni hutang
untuk (dibayar dengan) hutang. Jika periode waktu yang telah ditetapkan untuk pembayaran
ataupun pengiriman masuk ke dalam transaksi, maka ini juga tidak dibenarkan.
Penundaan dan penangguhan tidak dibenarkan di dalamnya, dan hanya diterima jika
ini praktek standard untuk barang-barang tertentu yang dijanjikan oleh penjual
kepada pembeli, tapi ini tidak boleh dari kebun tertentu ataupun domba tertentu
.”
Malik ditanya mengenai seorang laki-laki yang membeli
sebuah kebun dari orang lain, di dalamnya terdapat berbagai jenis pohon kurma –
pohon ‘ajwa yang sangat baik, pohon kabis yang baik, pohon ‘adhq
dan jenis-jenis lain. Penjual menyisihkan hasil dari beberapa pohon
tertentu yang ia pilih dari penjualan. Malik berkata,
“Itu tidak baik karena jika
ia melakukan hal itu dan menyisihkan nya, misalnya, kurma jenis ‘ajwa yang hasilnya akan 15 sa’ dan ia
mengambil kurma jenis kabis sebagai
gantinya, dan hasil kurmanya adalah 10 sa’, atau ia mengambil ‘ajwa yang hasilnya 15 sa’ dan
meninggalkan kabis yang hasilnya 10 sa’, ini seperti seakan-akan ia membeli ‘ajwa dengan kabis, memberikan pembayaran
berdasarkan perbedaan kualitas mereka. Ini
sama dengan seseorang yang berurusan (jual-beli) dengan seseorang lainnya yang
memiliki tumpukan kurma dihadapannya – 1 tumpuk yang terdiri dari 15 sa’ ‘ajwa,
1 tumpuk dari 10 sa’ kabis, 1 tumpuk dari 12 sa’ ‘adhq – Orang pertama
memberikan kepada si pemilik kurma 1 dinar agar ia dapat memilih dan mengambil
tumpukan manapun yang ia inginkan.”
Malik berkata,
“Itu tidak baik.”
Malik ditanya apa hak seseorang yang membeli kurma segar
dari pemilik sebuah kebun, dan ia telah membayar dimuka 1 dinar, jika buah
tersebut habis? Malik berkata,
“Pembeli membuat
perhitungan dengan pemilik kebun dan mengambil apa yang menjadi miliknya
berdasarkan dinar (yang sudah dibayarkannya). Jika pembeli telah mengambil kurma
yang senilai dengan 2/3 dinar, ia memperoleh kembali 1/3 dinar miliknya. Jika
si pembeli telah mengambil kurma senilai dengan 3/4 dinar, maka ia memperoleh kembali
1/4 miliknya, atau mereka memperoleh kesepakatan dan pembeli mengambil dinarnya
dari si pemilik kebun dalam bentuk sesuatu yang ia pilih. Jika, misalnya, ia
memilih untuk mengambil kurma kering atau barang lainnya, ia mengambil mereka
sesuai dengan kekurangannya (1/4 dinar). Jika ia mengambil kurma kering atau
barang lainnya, ia hendaknya tinggal
bersama si pemilik kebun sampai ia selesai dibayar.”
Malik berkata,
“Ini sama halnya dengan
menyewakan unta tunggangan tertentu ataupun menyewakan budak penjahit, tukang
kayu, atau budak pekerja lainnya, atau menyewakan rumah dan mengambil pembayaran-dimuka
untuk sewa budak, rumah atau unta. Kemudian terjadi sebuah musibah yang
mengakibatkan kematian atau lainnya. Pemilik unta, budak ataupun rumah
mengembalikan sisa sewa unta, sewa budak, ataupun sewa rumah kepada orang yang
memberikan pembayaran-dimuka itu, dan si pemilik menghitung berapa jumlah
keseluruhannya, Jika, misalnya, ia telah menyediakan setengah dari yang telah
dibayar oleh orang itu, ia mengembalikan setengah dari sisa yang telah
dibayarkan dimuka, ataupun sesuai dengan jumlah yang seharusnya.”
Malik berkata,
“Pembayaran-dimuka untuk
sesuatu yang di tangan hanya bagus jika pembeli mengambil alih pemilikan begitu
ia menyerahkan emas (sebagai bayaran), baik itu untuk seorang budak, unta, atau
rumah, atau dalam kasus kurma, ia memetiknya begitu ia menyerahkan uang. Tidak
baik jika ada penundaan ataupun cicilan dalam transaksi semacam ini.”
Malik berkata,
“Sebuah contoh yang dapat
mengilustrasikan apa yang tidak dibenarkan dalam situasi ini adalah, misalnya,
seorang laki-laki dapat berkata bahwa ia akan membayar seseorang dimuka untuk
penggunaan untanya dalam haji, sedangkan haji masih beberapa waktu lagi, atau
ia dapat mengatakan sesuatu yang seperti itu mengenai budak ataupun rumah. Jika
ia melakukan itu, ia hanya membayar uang dimuka dengan pengertian bahwa jika ia
temukan unta tersebut dapat dipakai pada saat waktu sewa tiba, ia mengambilnya
berdasarkan apa yang sudah ia bayarkan. Jika terjadi kecelakaan, atau kematian,
atau sesuatu terhadap unta tersebut, maka ia memperoleh uangnya kembali, dan
uang yang telah ia bayarkan dimuka dianggap sebagai sebuah pinjaman”
Malik berkata,
“Ini tidak sama dengan
seseorang yang langsung mengambil alih hak atas apa yang ia sewakan atau apa
yang ia sewa, sehingga tidak termasuk dalam kategori ‘ketidakpastian’ atau juga
tidak termasuk dalam kategori pembayaran-dimuka yang tidak dibenarkan. Maka hal
semacam itu adalah sebuah praktek yang umum. Sebagai contoh adalah seorang
laki-laki membeli seorang budak, atau seorang budak perempuan, dan mengambil
hak milik mereka dan membayar harganya. Jika terjadi sesuatu terhadap mereka selama
dalam masa perjanjian ganti rugi, ia mengambil kembali emasnya (uangnya) dari mereka
yang telah ia lakukan transaksi. Tidak ada larangan tentang ini. Ini dapat
dijadikan contoh sunnah dalam masalah
penjualan budak.”
Malik berkata,
“Seseorang yang menyewa
seorang budak tertentu, atau menyewakan seekor unta tertentu, dan telah melewati
waktu yang ditentukan, kemudian mengambil hak atas unta atau budak tersebut,
adalah tindakan yang tepat karena ia tidak mengambil hak milik atas apa yang ingin
ia sewakan atau yang ingin ia sewa, juga tidak memberi uang muka berbentuk uang
sebagai pinjaman yang akan dipertanggungjawabkan oleh orang lain sampai orang pertama
mengambilnya kembali.”
Bab 31.15. Penjualan Buah-buahan
27. Malik berkata,
“Yang umumnya disepakati
dan yang biasa dilakukan di antara kami adalah bahwa seseorang yang membeli
buah-buahan, baik segar ataupun kering, tidak boleh menjualnya kembali sampai
ia memperoleh haknya (atas buah-buahan tersebut) secara penuh. Ia tidak boleh
menukar sesuatu yang sejenis, kecuali dari tangan ke tangan (kontan). Apa pun
yang dapat dibuat menjadi buah kering untuk disimpan dan dimakan tidak boleh
ditukar untuk barang yang sejenis, kecuali secara kontan dan sebanding, jika
itu buah yang jenisnya sama. Dalam kasus dua jenis buah yang berbeda, tidak ada
larangan untuk menukar dua dengan satu, kontan ditempat itu juga. Tidak baik
untuk menunda pembayaran. Untuk hasil yang tidak dikeringkan dan disimpan,
namun dimakan dalam kondisi segar seperti semangka, ketimun, wortel, jeruk, pisang,
delima dan lain-lain, yang ketika dikeringkan tidak lagi dianggap sebagai buah,
dan bukan sesuatu yang disimpan sebagai buah, aku pikir cukup tepat untuk
menukar barang-barang semacam ini dua banding satu dari jenis yang sama, secara
kontan. jika tidak ada penundaan dalam pembayarannya, tidak ada larangan di dalamnya.”
Bab 31.16. Menjual Emas untuk Perak (Yang Sudah Dicetak dengan Yang Belum Dicetak)
28. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik
bahwa Yahya ibn Sa’id berkata,
“Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, menyuruh dua Sa’d untuk menjual rampasan perang
berupa sebuah bejana yang entah terbuat dari emas atau perak. Mereka menjualnya
dengan takaran, setiap 3 satuan berat untuk koin seberat 4 satuan, atau setiap 4
satuan berat untuk 4 koin. Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, berkata kepada mereka:
‘Engkau telah melakukan riba,’
maka mereka
mengembalikannya.”
29. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Musa ibn Abi Tamim, dari Abu‘l-Hubab Sa’id ibn Yasar, dari Abu
Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
“1 dinar untuk 1 dinar, 1 dirham untuk 1 dirham, tidak boleh lebih diantara
kedua (hal tersebut).”
30. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik,
dari Nafi’, dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam,
berkata,
“Jangan jual emas untuk emas kecuali serupa dengan serupa (sebanding)
dan jangan menambah satu bagian terhadap bagian yang lainnya. Jangan jual perak
untuk perak, kecuali serupa dengan serupa (sebanding) dan jangan menambah satu
bagian terhadap bagian yang lainnya. Jangan jual sebagian yang tidak ada di
sana untuk sebagian yang ada.”
31. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Humayd ibn Qays al-Makki bahwa Mujahid berkata,
“Aku sedang
bersama Abdullah ibn Umar ketika seorang seniman (pandai emas) datang kepadanya
dan berkata,
‘Wahai
Abu Abd ar-Rahman, aku membentuk emas (menjadi karya seni) dan kemudian menjual
apa yang telah aku buat lebih (mahal) dari berat (emas)-nya. Aku mengambil
harga yang sebanding dengan karya tanganku.’
Abdullah
melarangnya untuk melakukan itu, maka si seniman mengulangi pertanyaannya, dan Abdullah
terus melarangnya sampai ia berada di pintu masjid atau di dekat hewan yang
akan ia tunggangi, Kemudian Abdullah ibn Umar berkata,
‘1 dinar untuk 1 dinar, dan
1 dirham untuk 1 dirham. Tidak ada kelebihan di antara mereka. Ini adalah
perintah dari Nabi kita dan nasihat kami untuk mu.’”
32. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik
bahwa ia telah mendengar dari kakeknya, Malik ibn Abi Amir bahwa Usman ibn Affan
berkata,
“Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, berkata kepadaku,
‘Jangan jual 1 dinar untuk 2 dinar, jangan jual 1 dirham untuk 2 dirham.’”
33. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Zayd ibn Aslam, dari Atha ibn Yasar bahwa Mu’awiya ibn Abi Sufyan
menjual tempat minum yang terbuat dari emas atau perak dengan harga yang lebih (banyak)
dari beratnya. Abu‘d-Darda berkata,
“Aku
mendengar Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang penjualan semacam
ini kecuali yang sebanding.’
Mu’awiya
berkata kepadanya,
“Aku
tidak melihat adanya larangan di dalamnya.”
Abu‘d-Darda
berkata kepadanya,
“Siapa
yang akan membantu ku dari Mu’awiya? Aku memberitahunya sesuatu yang berasal
dari Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, dan ia memberiku pendapatnya sendiri!
Aku tidakakan hidup di bumi yang sama denganmu!”
Kemudian
Abu‘d-Darda pergi kepada Umar ibn al-Khattab dan menceritakannya. Oleh karena
itu, Umar ibn al-Khattab menulis kepada Mu’awiya,
‘Jangan menjualnya kecuali
sebanding, berat dengan berat.’”
34. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik,
dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Umar ibn al-Khattab berkata,
“Jangan
menjual emas dengan emas kecuali sebanding, dan jangan meninggikan harga
sebagian darinya atas bagian yang lain. Jangan menjual perak dengan perak kecuali
sebanding, dan jangan meninggikan yang satu atas yang lainnya. Jangan menjual
perak dengan emas, yang satu ada di tangan (pada saat jual-beli) dan yang lain
diberikan kemudian. Jika seseorang memintamu untuk menunggu pembayaran sampai
ia tiba di rumahnya, jangan tinggalkan dia. Aku takut rama’ atas dirimu.”
Rama’ adalah riba.
35. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Abdullah ibn Dinar, dari Abdullah ibn Umar bahwa Umar ibn al-Khattab
berkata,
‘Jangan
menjual emas dengan emas kecuali yang sebanding. Jangan meninggikan harga
sebagian darinya atas bagian yang lain. Jangan menjual perak dengan perak
kecuali yang sebanding, dan jangan meninggikan sebagian atas bagian yang lain.
jangan menjual sebagian yang ada di tempat dengan sebagian yang tidak ada. Jika
seseorang memintamu untuk menunggu pembayaran sampai ia tiba di rumahnya,
jangan tinggalkan dia. Aku khawatir rama’
atas dirimu.”
Rama’ adalah riba.
36. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik
bahwa ia telah mendengar al-Qasim ibn Muhammad berkata,
“Umar
ibn al-Khattab berkata,
‘1 dinar dengan 1 dinar,
dan 1 dirham dengan 1 dirham, dan 1 sa’ dengan 1 sa’. Sesuatu yang diharapkan
untuk dikumpulkan kemudian, tidak boleh dijual dengan sesuatu yang ada di
tangan.’”
37. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik
bahwa Abu’z-Zinad mendengar Sa’id ibn al-Musayyab berkata,
“Riba hanya ada pada emas dan
perak, atau sesuatu yang ditimbang atau diukur dari sesuatu yang bisa dimakan
atau diminum.’
38. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik
bahwa Yahya ibn Sa’id mendengar Sa’id ibn al-Musayyab berkata,
“Memotong emas dan perak
adalah bagian dari prilaku merusak bumi.”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan dalam
membeli emas dengan perak atau perak dengan emas tanpa mengukur[8]nya
jika itu tidak dibentuk ataupun sebentuk perhiasan yang telah dibuat. Dirham
dan dinar yang telah dihitung tidak boleh dibeli tanpa dihitung, sehingga
mereka (jumlahnya) diketahui dan dihitung. Menghilangkan jumlah dan membeli
mereka secara acak hanyalah spekulasi (untung-untungan). Itu bukan bagian dari
transaksi bisnis ummat Islam. Sedangkan untuk barang dan perhiasan yang belum
dibentuk namun telah ditimbang, tidak ada larangan untuk membeli benda semacam
ini tanpa mengukur. Membeli mereka tanpa mengukur adalah seperti membeli
gandum, kurma kering, dan makanan-makanan lain, yang dijual tanpa diukur,
meskipun barang-barang (lain) semacam mereka diukur.”
Malik berbicara tentang membeli mushaf (al-Qur’an), pedang atau cincin
yang mengandung emas atau perak, dengan dinar dan dirham. Ia berkata,
“Nilai barang yang
mengandung emas, yang dibeli dengan dinar, harus dilihat. Jika nilai emasnya
sampai 1/3 dari harga, diperbolehkan dan tidak ada larangan di dalamnya jika
penjualan dari tangan ke tangan dan tidak ada penundaan di dalamnya. Jika
sesuatu yang mengandung perak dibeli dengan perak, nilainya harus dilihat. Jika
nilai peraknya adalah 1/3, maka itu diperbolehkan dan tidak ada larangan di
dalamnya jika penjualan dilakukan dari tangan ketangan, Itu masih merupakan Amal-an
di antara kami.”
Bab 31.17. Menukar Uang
39. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Ibn Shihab, dari Malik ibn Aws ibn al-Hadathan an-Nasri bahwa suatu
waktu ia meminta untuk menukar 100 dinar. Ia berkata,
“Talha
ibn Ubaydullah memanggilku dan kami membuat kesepakatan bahwa ia akan melakukan
penukaran denganku Ia mengambil emas itu (dinar tersebut) dan memindahkannya ke
tangannya kemudian berkata,
‘Aku
tidak dapat melakukannya sampai bendaharaku membawakan aku uang dari al-Ghaba.’
Umar
ibn al-Khattab mendengar dan Umar berkata,
‘Demi
Allah! jangan tinggalkan dia sampai engkau mengambilnya dari dia!’
Kemudian
ia berkata,
‘Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
‘Emas untuk emas adalah riba kecuali dari tangan ke tangan. Tepung
gandum untuk tepung gandum adalah riba kecuali dari tangan ke tangan. Kurma untuk
kurma adalah riba kecuali dari tangan ke tangan. Barley untuk barley adalah riba
kecuali dari tangan ke tangan.’”
Malik berkata,
“Jika
seseorang mempertukarkan dirham dengan dinar, dan kemudian menemukan dirham
yang jelek di antara mereka dan ingin mengembalikannya, maka penukaran dinar tersebut
batal, dan ia mengembalikan perak tersebut dan mengambil kembali dinar-dinarnya.
Penjelasan tentang apa yang tidak dibenarkan di sini adalah Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
‘Emas
dengan perak adalah riba kecuali dari tangan ke tangan,’
dan Umar
ibn al-Khattab berkata,
‘Jika seseorang memintamu
menunggu untuk dibayar sampai ia kembali ke rumahnya, jangan tinggalkan dia.’
Jika ia mengembalikan 1
dirham kepadanya dari pertukaran itu dan kemudian meninggalkannya, itu seperti
hutang atau sesuatu yang ditunda. Berdasarkan alasan itu, hal ini tidak
dibenarkan, dan pertukaran batal, Umar ibn al-Khattab ingin semua emas, perak,
dan makanan untuk tidak dijual dengan (bayaran) barang-barang yang diberikan
kemudian. Ia tidak mau ada penundaan atau penangguhan dalam penjualan semacam
ini, apakah itu melibatkan satu komoditas atau berbagai komoditas (perdagangan ).”
Bab 31.18. Menjual Emas untuk Emas dan Perak untuk Perak, dengan Menggunakan Timbangan
40. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa Yazid ibn Abdullah
ibn Qusayt melihat Sa’id ibn al-Musayyab menjual emas, menukarnya dengan emas.
Ia meletakkan emasnya ke atas satu panci timbangan dan orang yang menjadi mitra
tukarnya meletakkan emasnya di atas panci timbangan yang lain, dan ketika sumbu
(jarum) timbangan seimbang, mereka mengambil dan memberikan (emas masing-masing).
Malik berkata,
“Menurut amal yang kami
lakukan di antara kami, tidak ada larangan untuk menjual emas dengan emas,
perak dengan perak dengan cara memperseimbangkan timbangan, meskipun 11 dinar diambil untuk 10 dinar[9]
dari tangan ke tangan, jika berat emas tersebut sama, meskipun jumlah koin-koin
yang bertukar berbeda. Dirham dalam masalah ini diperlakukan dengan cara yang sama
dengan dinar.”
Malik berkata,
“Jika, ketika memperseimbangkan
emas dengan emas atau perak dengan perak, terjadi perbedaan berat, maka satu
pihak jangan memberikan kepada pihak yang lain perbedaan nilai itu dalam bentuk
perak atau benda lain. Transaksi semacam itu jelek dan mengakibatkan riba. Sebab,
jika salah satu pihak diperbolehkan untuk mengambil perbedaan tersebut dengan
harga yang terpisah, seakan-akan ia telah membelinya secara terpisah sehingga
itu diperbolehkan. Kemudian ia mungkin meminta perbedaan nilai itu beberapa
kali dengan maksud menjadikan transaksi antara kedua belah pihak diperbolehkan.
Malik berkata,
“Jika ia benar-benar telah
menjual perbedaan tersebut tanpa ada sesuatu apapun menyertainya, ia tidak akan
mengambil perbedaan itu untuk 1/10 bagian dari harga, yang mana jika ia ambil
maka bisa menciptakan efek transaksi
legal yang semu. Ini akan membawa kepada menghalalkan yang haram. (Padahal)
hukum sebenarnya adalah haram.”
Malik berkata bahwa
tidak baik memperseimbangkan koin emas yang tua lagi baik dan mencampurkannya
dengan emas yang belum dibentuk untuk ditukarkan dengan emas Kufic (dalam
bentuk potongan-potongan), yang tidak disukai, dan kemudian memberlakukan
pertukaran tersebut (sebagai pertukaran yang) sebanding.
Malik berkata,
“Penjelasan tentang mengapa
itu tidak dibenarkan adalah karena pemilik emas yang bagus menggunakan
kebagusan uang emasnya sebagai alasan untuk mengikutsertakan emas yang belum
dibentuk. Jika saja bukan karena kualitas emasnya yang lebih baik dari emas
pihak yang lain, pihak yang lain tidak akan menukarkan emas yang belum dibentuk
itu dengan emas Kufic-nya, dan kesepakatan (pertukaran dengan cara
memperseimbangkan) itu akan ditolak.
“Ini
seperti seorang laki-laki yang ingin membeli 3 sa’ kurma kering ajwa untuk kurma kabis sebanyak 2 sa’ 1 mud, dan karena dikatakan bahwa itu tidak
baik, kemudian menawarkan 2 sa’ kabis
dan 1 sa’ kurma jelek dengan maksud memungkinkan penjualan itu terjadi. Itu
tidak baik karena pemilik ajwa tidak
boleh memberikan kepadanya 1 sa’ ajwa
untuk 1 sa’ kurma jelek. Ia boleh memberikannya hanya karena kualitas yang
tinggi dari kurma kabis.[10]
“Atau
itu seperti seorang laki-laki yang meminta seseorang untuk menjual kepadanya 3
sa’ tepung gandum putih dengan (tukaran) 2,5 sa’ tepung gandum Syria, dan ia
diberitahu bahwa itu tidak baik kecuali jika sebanding, maka ia menawarkan 2 sa’
tepung gandum dan 1 sa’ biji gandum, untuk memungkinkan jual-beli di antara
mereka. Itu tidak baik karena tidak seorangpun yang akan memberikan 1 sa’ biji
gandum untuk 1 sa’ tepung gandum putih jika saja jumlah sa’ itu hanya terdiri
dari jenis itu saja. Pertukaran itu hanya terjadi karena karena kualitas tepung
gandum Syria yang lebih baik daripada tepung gandum putih. ini tidak baik. ini sama
halnya dengan kasus emas yang belum dibentuk.”
Malik berkata,
“Karena emas, perak dan
makanan hanya boleh dijual jika sebanding, maka sesuatu yang tidak disukai dan
berkualitas rendah tidak boleh dicampur dengan yang bagus dan disukai dengan
tujuan memungkinkan penjualan, dan untuk menghalalkan sesuatu yang tidak baik. Jika
sesuatu yang disukai dicampur dengan sesuatu yang berkualitas rendah dan ini
dimasukkan hanya agar yang berkualitas tinggi diperhatikan, sebab yang berkualitas
rendah jika dijual sendirian tidak akan diperhatikan oleh pembeli, maka itu
hanya diterima (dibeli) oleh pembeli karena kualitas (barang yang bagus) melebihi
kualitas barang si pembeli. Transaksi-transaksi yang melibatkan emas, perak
ataupun makanan tidak boleh dimasuki oleh unsur-unsur ini. Jika pemilik barang
yang berkualitas rendah mau menjual barangnya, maka ia harus menjual mereka
secara terpisah, dan tidak mencampurkan sesuatu (yang berkualitas tinggi)
kedalamnya. Jika seperti ini, maka tidak ada larangan.”
Bab 31.19. Membeli dengan Cara Penundaan dan Menjual Kembali Lebih Murah dengan Cara Langsung.
41. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
“Seseorang yang membeli makanan tidak boleh menjualnya kembali sampai ia
menerima seluruh makanan (yang dibeli) nya.”
42. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Abdullah ibn Dinar, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
“Seseorang yang membeli makanan tidak boleh menjualnya sampai ia
mengambil alih pemilikannya.”
43. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Nafi’ bahwa Abdullah ibn Umar berkata,
“Pada masa Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, kami biasa membeli makanan. Ia memerintahkan kami
untuk memindahkan barang-barang yang kami beli dari tempat kami membelinya ke tempat
lain sebelum kami menjualnya kembali.”
44. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik,
dari Nafi’ bahwa Hakim ibn Hizam telah membeli beberapa makanan yang sebelumnya
telah diperintahkan oleh Umar ibn al-Khattab untuk disimpan oleh orang-orang,
dan kemudian (Hakim ibn Hizam) menjualnya kembali kepada orang-orang. Umar ibn al-Khattab
mendengar tentang itu dan ia membatalkan penjualan serta berkata,
“Jangan menjual makanan
yang telah engkau beli sampai engkau menerima makanan itu.”
45. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik,
ia telah mendengar bahwa di masa Marwan ibn al-Hakam, telah diberikan kepada
orang-orang Sukuk (bukti pembelian /kuitansi
/Surat berharga) atas barang-barang di pasar al-Jar. Orang-orang membeli dan menjual
bukti pembelian tersebut diantara mereka sendiri sebelum mereka menerima kiriman
barangnya. Zayd ibn Tsabit dan salah satu Sahabat Rasulullah, salallahu ‘alayhi
wa salam, pergi kepada Marwan ibn al-Hakam dan berkata,
“Marwan!
Apakah engkau menghalalkan riba?”
Ia (Marwan)
berkata,
“Aku
memohon perlindungan Allah! Apakah itu?”
Ia berkata,
“Sukuk yang diperjual-belikan oleh
orang-orang sebelum mereka menerima kiriman barangnya.”
Marwan kemudian
mengirim pengawal untuk mengikuti dan mengambil bukti-bukti pembelian itu dari
tangan orang-orang serta mengembalikan-nya kepada pemiliknya semula.
46. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik
bahwa ia telah mendengar bahwa seorang laki-laki mau membeli makanan dari
seseorang dengan pembayaran-dimuka. Orang yang mau menjual makanan kepadanya
pergi bersamanya ke pasar, dan mulai menunjuk kepada tumpukan-tumpukan (makanan)
serta berkata,
“Mana
yang engkau mau aku belikan untukmu?”
Si
pembeli berkata,
“Apakah
engkau menjual kepadaku apa yang engkau tidak miliki?”
Maka
mereka pergi kepada Abdullah ibn Umar dan menceritakan hal itu kepadanya. Abdullah
ibn Umar berkata kepada si pembeli:
“Jangan
beli darinya apa yang tidak ia miliki.”
Ia berkata
kepada si penjual:
“Jangan menjual apa yang tidak
engkau miliki.”
47. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik
bahwa Yahya ibn Sa’id mendengar Jamil ibn Abd ar-Rahman, sang mu’adzin, berkata kepada Sa’id ibn al-Musayyab:
“Aku
adalah orang yang membeli apa pun yang di-rizki-kan Allah yang ada di dalam Sukuk-Sukuk yang ditawarkan oleh orang-orang di al-Jar, Aku mau mengambil
bayaran untuk barang-barang yang aku jamin akan dikirimkan kemudian.”
Sa’id berkata
kepadanya,
“Apakah
engkau bermaksud untuk berurusan dengan Sukuk-Sukuk dan yang telah engkau beli?
Ia berkata,
“Ya.”
Maka ia (Sa’id)
melarang hal itu.
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di
antara kami, yang tidak ada perdebatan di dalamnya mengenai pembelian makanan –
baik tepung gandum, biji gandum, jagung-jagungan, padi-padian, atau kacang-kacangan
– yang atas barang-barang ini diwajibkan zakat, atau rempah-rempah seperti
minyak samin, madu, kayu manis, keju, minyak wijen, susu dan lain sebagainya,
adalah si pembeli tidak boleh menjual kembali yang manapun dari barang-barang
ini sampai ia telah mengambil alih kepemilikan dan menyelesaikan pengirimannya.”
Bab 31.20. Apa yang Tidak dibenarkan dalam Menjual Makanan dengan Penangguhan Pembayaran ataupun Pengiriman
48. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa Abu’z-Zinad mendengar Sa’id ibn al-Musayyab
dan Sulayman ibn Yasar melarang seorang laki-laki untuk menjual tepung gandum dengan
bayaran emas secara tunda dan kemudian membeli kurma kering dengan emas itu sebelum
ia sendiri menerima emasnya.
49. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, bahwa Kathir ibn Farqad bertanya kepada Abu
Bakr ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm mengenai seorang laki-laki yang menjual
makanan yang akan dikirimkan kemudian kepada seseorang dengan bayaran emas, dan
kemudian dengan emas tersebut ia membeli kurma sebelum ia sendiri menerima
kiriman emas itu. Ia tidak membenarkan hal itu dan melarangnya.
Yahya menyampaikan hal yang sama
kepadaku, dari Malik, dari Ibn Shihab.
Malik berkata,
“Sa’id ibn al-Musayyab,
Sulayman ibn Yasar, Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm, dan Ibn Shihab melarang
seorang laki-laki yang menjual tepung gandum dengan bayaran emas dan kemudian
membeli kurma dengan emas itu, sementara ia sendiri belum menerima emas tersebut
dari hasil transaksi penjualan tepung gandumnya. Tidak ada larangan bagi
seseorang untuk membeli kurma secara tunda – berbekal emas yang telah dijanjikan
kepadanya atas penjualan tepung
gandum – dari orang lain, yang bukan ia
jualkan kepadanya tepung gandumnya tersebut,
sebelum ia mengambil alih pemilikan
emas (hasil penjualan tepung gandum) tersebut, dan menunjuk orang yang ia beli kurma darinya kepada orang yang
berhutang kepadanya yang telah membeli
tepung gandum darinya, untuk emas
yang ia janjikan atas kurma
tersebut.”
Malik berkata, Aku
bertanya kepada lebih dari satu para ulama mengenai masalah ini dan mereka
tidak melihat adanya larangan dalam hal ini.”
Bab 31.21. Pembayaran di Muka untuk Makanan
50. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’ bahwa Abdullah Ibn Umar berkata
bahwa tidak ada larangan bagi seseorang untuk memberikan pembayaran di muka
kepada orang lain untuk pembelian makanan, dengan gambaran dan harga tertentu,
sepanjang itu tidak mengenai tanaman atau kurma yang belum matang.
Malik berkata,
“Kesepakatan kita mengenai
seseorang yang memberikan pembayaran di muka untuk makanan dengan harga yang
telah diketahui dan waktu yang telah ditentukan, dan ketika kurma tersebut
sampai dan si pembeli menemukan bahwa apa yang dijual oleh penjual tidak cukup
untuk memenuhi pesanannya, maka ia membatalkan jual-beli itu, adalah pembeli
harus langsung mengambil kembali perak, emas ataupun harga yang telah ia bayar.
Ia tidak membeli sesuatu yang lain dari orang tersebut dengan harga yang sama
sampai ia menerima kembali apa yang telah ia bayar. Itu karena jika ia mengambil
sesuatu yang lain disamping harga yang telah ia bayarkan kepadanya atau
menukarkannya dengan barang selain barang yang telah ia beli darinya, itu akan
seperti menjual makanan sebelum menerima kiriman barangnya.”
Malik berkata,
“Rasulullah, salallahu ‘alayhi
wa salam, melarang menjual makanan sebelum
menerima kiriman barangnya.”
Malik
berkata bahwa tidak baik jika pembeli menyesali pembeliannya dan meminta kepada
penjual untuk membatalkan penjualannya untuk (kepentingan) pembeli, sedangkan
pembeli tidak langsung menekannya berdasarkan apa yang telah ia bayarkan.[11]
Para ulama melarang hal itu. itu karena jika makanan telah disiapkan oleh
penjual bagi si pembeli, pembeli menunda haknya atas si penjual dengan tujuan
agar penjual memberi kemungkinan pembatalan penjualannya. Itu adalah menjual
makanan secara tunda sebelum menerima kiriman makanan itu.
Malik berkata,
“Penjelasan untuk itu
adalah ketika kurma yang dikirimkan tiba dan pembeli tidak menyukainya, penjual
mengambil (kembali) barang itu dan uang (yang sudah dibayarkan) akan dibayarkan
kembali kemudian, maka ini bukanlah pembatalan, Dalam pembatalan, tidak ada
penambahan (nilai) baik dari pihak pembeli maupun penjual. Jika ada penambahan melalui
penundaan pembayaran dalam jangka waktu tertentu, atau melalui sesuatu yang
menambahkan salah satu di antara mereka atas yang lain, atau sesuatu yang
memberikan keuntungan kepada salah satu diantara mereka, maka itu bukanlah pembatalan.
Jika salah satu diantara keduanya melakukan itu, pembatalan berubah mejadi jual-beli.
Dalam pembatalan terdapat keikutsertaan,
partnership (persekutuan), dan transfer (pemindahan), sepanjang tidak dimasukkan
penambahan, pengurangan, ataupun penundaan di dalamnya. Jika ada penambahan,
pengurangan atau penundaan di dalamnya, maka itu menjadi jual-beli. Apapun yang halal dalam jual-beli adalah
halal baginya, dan apa pun yang haram dalam jual-beli adalah haram baginya.”
Malik berkata,
“Jika seseorang membayar di
muka untuk tepung gandum Syria, tidak ada larangan jika ia mengambilnya setelah
waktu yang dijanjikan tiba.”
Malik berkata,
“Itu sama halnya dengan
siapapun yang melakukan pembayaran di muka untuk jenis barang apapun. Tidak ada
larangan baginya untuk mengambil yang lebih baik dari apapun yang telah ia
bayar dimuka, ataupun lebih jelek, setelah tanggal yang disepakati. Penjelasannya
adalah jika, misalnya, seseorang memberikan pembayaran di muka untuk tepung
gandum dengan berat tertentu, tidak ada larangan baginya jika ia memutuskan
untuk mengambil biji gandum ataupun tepung gandum Syria. Jika ia telah membayar
di muka untuk kurma yang baik, tidak ada larangan baginya jika ia memutuskan
untuk mengambil kurma yang berkualitas jelek. Jika ia membayar di muka untuk
kismis berwarna merah, tidak ada larangan jika ia mengambil yang berwarna hitam
jika itu terjadi setelah waktu perjanjian yang disepakati, dan jika ia mengambilnya
sesuai dengan apa yang telah ia bayarkan dimuka.”
Bab 31.22. Menukar Makanan dengan Makanan Tanpa Penambahan Diantaranya
51. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar Sulayman ibn Yasar berkata,
“Makanan keledai Sa’d ibn Abi
Waqqas hilang, maka ia menyuruh budaknya untuk mengambil tepung gandum keluarga
guna membeli biji gandum dalam jumlah yang sama.”
52. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Nafi’ bahwa Sulayman ibn Yasar memberitahunya bahwa suatu waktu
makanan hewan-hewan Abd ar-Rahman ibn al-Aswad ibn Abd Yaghuth habis, maka ia
berkata kepada budaknya:
“Ambillah tepung gandum keluargamu dan belilah
biji gandum dengannya, ambillah hanya dalam jumlah yang sama.”
53. Yahya menyampaikan
kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar hal yang sama dengan itu dari al-Qasim
ibn Muhammad, dari Ibn Mu’ayqib ad-Dawsi.
Malik berkata,
“Inilah
cara Yang kami lakukan di antara kami.”
Malik berkata,
“Yang umumnya disepakati diantara
kami adalah tepung gandum tidak dijual dengan bayaran tepung gandum, kurma
dengan kurma, tepung gandum dengan kurma, kurma dengan kismis, tepung gandum
dengan kismis, tidak juga jenis apapun dari makanan yang dijual dengan (bayaran)
makanan, kecuali secara tunai. Jika ada bentuk penundaan apapun dalam
transaksi, maka itu tidak baik. Itu haram. Rempah-rempah tidak dijual kecuali
secara tunai.”
Malik berkata,
“Makanan dan rempah-rempah
tidak dibarter jika mereka dari jenis yang sama, dua dari jenis yang satu untuk
satu dari jenis yang lainnya. 1 mud tepung gandum tidak dijual untuk 2 mud tepung gandum, 1 mud kurma untuk 2 mud kurma, 1 mud kismis
untuk 2 mud kismis, tidak satupun
dari jenis-jenis di atas dibarter dengan biji-bijian dan rempah-rempah jika
mereka sejenis, meskipun itu secara tunai.
“Hal
ini sama dengan perak dibarter perak, emas dengan emas. Tidak ada penambahan
yang halal dalam transaksi ini, hanya yang sebanding (seimbang), dari tangan ke
tangan (tunai) yang halal.”
Malik berkata,
“Jika ada perbedaan yang
jelas dalam makanan yang diukur dan ditimbang, tidak ada larangan untuk
mengambil dua dari jenis yang satu dan satu dari jenis yang lain, secara tunai,
Tidak ada larangan untuk 1 sa’ kurma
untuk 2 sa’ kisimis, 1 sa’ tepung gandum untuk 2 sa’ kismis, 1 sa’ tepung gandum untuk 2 sa’
samin. Jika dua macam benda yang diperdagangkan (di barter) berbeda, tidak
ada larangan, dua untuk satu atau lebih dari itu, secara tunai. Jika ada
penundaan dalam penjualan, maka itu tidak halal.”
Malik berkata,
“Tidak halal untuk memperdagangkan
(secara barter) satu tumpukan tepung
gandum dengan satu tumpukan tepung
gandum.[12]
Tidak ada larangan dalam satu tumpukan tepung gandum dengan satu tumpukan
kurma, secara tunai. Itu karena tidak ada larangan dalam membeli tepung gandum
dengan kurma tanpa ukuran yang pasti.[13]”
“Untuk jenis makanan dan
rempah-rempah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan perbedaannya
jelas, tidak ada larangan untuk menukarkan (membarter) satu dengan yang lainnya
secara tunai, tanpa ukuran (timbangan). Jika dalam penjualan (barter) tersebut
terdapat penundaan, maka tidak ada kebaikan di dalamnya.[14]
Melakukan tukar-menukar benda-benda semacam ini tanpa ukuran yang tepat seperti
membelinya dengan emas dan perak tanpa mengukurnya (menimbangnya) dengan tepat.[15]”
Malik berkata,
“Itu karena engkau membeli
tepung gandum dengan perak tanpa mengukur dengan seksama[16],
dan kurma dengan emas tanpa mengukur secara tepat,
adalah halal. Tidak ada larangan di dalamnya.”
Malik berkata,
“Tidak baik bagi seseorang
untuk membuat satu tumpukan makanan yang ukuran (jumlah) nya diketahui dan
kemudian menjualnya seakan-akan belum diukur, ia menutupi (merahasiakan)
ukurannya kepada si pembeli. Jika si pembeli ingin mengembalikan makanan
tersebut kepada penjual, ia dapat (mengembalikannya), karena penjual
menyembunyikan ukurannya dan ini adalah sebuah transaksi yang tidak jelas.[17]
Hal ini diterapkan pada jenis makanan apa pun atau barang-barang lain yang
ukuran dan Jumlahnya diketahui oleh penjual, dan yang kemudian ia jual tanpa (memberitahukan)
ukurannya dan si pembeli (juga) tidak mengetahuinya. Jika pembeli ingin mengembalikannya
kepada penjual, ia dapat mengembalikannya. Para ulama tetap melarang transaksi
semacam ini.”
Malik berkata,
“Tidak baik menjual satu keping
roti bundar untuk dua, tidak juga ukuran besar maupun kecil, ketika sebagian lebih
besar dari yang lainnya. Jika (setelah) diperhatikan secara teliti ternyata
roti-roti ini sebanding, tidak ada larangan untuk penjualan (barter) ini,
meskipun mereka tidak ditimbang.”
Malik berkata,
“Tidak baik menjual 1 mud mentega dan 1 mud susu dengan (bayaran) 2 mud
mentega. Ini seperti apa yang kita gambarkan dengan menjual kurma, ketika 2 sa’ kabis dan 2 sa’ kurma berkualitas rendah dijual (secara barter) dengan 3 sa’ kurma ’ajwa setelah pembeli berkata kepada penjual, “2 sa’ kurma kabis untuk 3 sa’ kurma ajwa,’” tidak baik, dan
kemudian ia melakukan hal itu (menambahkan 1 sa’ kurma berkualitas rendah) untuk memungkinkan penjualan. Pemilik
susu menggabungkan susu dengan menteganya, dengan demikian ia dapat menggunakan
keistimewaan menteganya atas mentega pihak lain untuk mengikut-sertakan susunya
dalam penjualan tersebut.”
Malik berkata,
“Tepung untuk (dibarter
dengan) tepung gandum adalah sebanding, dan dalam hal ini tidak ada larangan. (Tapi)
itu sepanjang ia tidak mencampurkan sesuatu dengan tepung tersebut dan
menjualnya (secara barter) dengan tepung gandum, secara sebanding. Jika ia
menggabungkan ½ mud tepung dan ½ mud tepung gandum, dan kemudian menjualnya
untuk dibarter dengan 1 mud tepung
gandum, itu akan seperti apa yang kita gambarkan sebelumnya, dan itu tidak baik,
karena ia ingin menggunakan keistimewaan tepungnya yang baik untuk
mengikutsertakan tepung gandumnya, Transaksi semacam ini tidak baik.”
Bab 31.23. Penjualan Makanan Secara Umum
54. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik
bahwa Muhammad ibn Abdullah ibn Abi Maryam meminta nasihat kepada Sa’id ibn al-Musayyab.
“Aku adalah
orang…”
ia berkata,
“…yang
membeli makanan dengan sukukun (bukti pembelian) dari al-Jar. Suatu ketika,
mungkin saja Aku akan membeli sesuatu (seharga) 1 dinar ½ dirham, sedangkan ½ setengah
dirhamnya aku akan berikan dalam bentuk makanan.”
Sa’id berkata,
“Tidak, Kamu beri 1 dirham
dan ambil sisanya dalam (bentuk) makanan.”[18]
55. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik
bahwa ia telah mendengar bahwa Muhammad ibn Sirin berkata,
“Jangan menjual biji-bijian
pada tangkainya sampai ia memutih.”[19]
Malik berkata,
“Jika
seseorang membeli makanan dengan
harga yang diketahui untuk diantarkan pada waktu yang telah ditentukan, dan
ketika waktunya tiba, orang yang berhutang (si penjual) makanan berkata,
‘Aku
tidak punya makanan. Juallah makanan, yang
aku berhutang kepada mu, dengan penangguhan waktu.’
Pemilik
makanan (si pembeli) berkata,
‘Ini
tidak baik karena Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang penjualan
makanan sampai transaksi telah sempurna.’
Orang
yang berhutang makanan itu (si penjual)
berkata kepada orang yang membelinya secara cicilan (si pembeli),
‘Juallah
sedikit makanan kepadaku dengan tenggat waktu tertentu sampai aku menyelesaikan hutangku kepadamu[20].’
Ini tidak baik, karena si penjual memberi si pembeli makanan dan kemudian si
pembeli mengembalikannya (lagi) kepada si
penjual. Emas yang diberikan si pembeli
kepada si penjual, yang menjadi harga
makanan yang semula milik si penjual,
harus dikembalikan lagi kepada si pembeli,
dan kemudian makanan berikan oleh si
pembeli kepada si penjual sebagai
penghalal transaksi di antara mereka. Jika mereka melakukan itu, maka itu
merupakan penjualan makanan sebelum kesepakatan yang ada terpenuhi.”
Malik
berbicara tentang seorang laki-laki (si A) yang berhutang makanan yang telah ia terima[21]
dari seseorang (si B) yang juga berhutang makanan yang sama dari
seseorang lainnya (si C). Orang yang berhutang makanan (si B)
berkata kepada orang yang memberinya hutang (si C):
“Aku
akan memberitahukan prihal mu kepada orang yang berhutang makanan kepadaku (yaitu,
si A), dalam jumlah yang sama dengan hutangku kepadamu, dengan demikian engkau
dapat memperoleh makanan yang menjadi hutangku kepadamu.”
Malik berkata,
“Jika orang itu, yaitu orang yang harus mengirimkan makanan[22], pergi[23]
dan pembelian makanan tersebut[24]
(hanya) untuk melunasi hutangnya (saja) kepada orang yang memberinya hutang[25],
maka itu tidak baik. Itu adalah menjual makanan sebelum memilikinya. Jika
makanan tersebut berstatus pinjaman
yang memiliki tengggat waktu tertentu, maka tidak ada larangan untuk melunasi
hutangnya (dengan cara tersebut) kepada orang
yang memberinya hutang dengan makanan itu, karena itu bukanlah penjualan. Tidak halal untuk menjual makanan
sebelum menerimanya sepenuhnya, sebab Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam,
melarang hal itu. Akan tetapi, para ulama setuju bahwa tidak ada larangan untuk
syirkah (kongsi), tauliah (menguasakan) dan iqalah (pembatalan kontrak) makanan
ataupun barang-barang lainnya.”
Malik berkata,
“Hal yang demikian[26]
karena para ulama menganggap-nya
(pelunasan hutang dengan cara tersebut) sebagai pemberian atau hadiah sukarela.
Mereka tidak menganggap-nya sebagai
penjualan. Hal itu seperti seseorang yang meminjamkan dirham yang tipis, kemudian
Ia dapati kembali dirham yang ia hutangkan tersebut berbobot penuh, dengan demikian
ia menerima lebih banyak dari yang ia pinjamkan. Itu halal baginya dan
dibolehkan. Jika seseorang membeli beberapa dirham yang cacat darinya sebagai dirham
yang berbobot penuh, yang demikian tidak halal. Jika sudah ada perjanjian bahwa
ia meminjamkan beberapa dirham yang berbobot penuh, dan pelunasannya dengan
dirham yang cacat, maka itu tidak halal.”
56. Malik berkata,
“Contoh lain tentang itu
adalah Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang jual-beli yang disebut
dengan muzabana dan memberikan kemurahan (kebolehan) dalam ‘ariya. Perbedaan
antara mereka adalah, jual-beli muzabana
didasari oleh kelicikan dan perdagangan, sedangkan ‘ariya didasari oleh keuntungan yang diberikan sebagai kebaikan dan
tidak ada keIicikan di dalamnya.”
Malik berkata,
“Seorang laki-laki tidak
boleh membeli makanan dengan (harga) 1/4 dirham,
1/3 dirham, atau sepersekian dirham[27]
dengan maksud ia memperoleh makanan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Tidak
ada larangan bagi seseorang untuk membeli makanan dengan (harga) sepersekian dirham dalam jangka waktu
tertentu, dan kemudian ia membayarnya dengan koin 1 dirham dan mengambil
barang-barang lain sebagai kembalian atau sisa dari koin 1 dirham yang telah
dibayarnya, karena ia telah membayar hutangnya dengan koin 1 dirham, dan
mengambil barang-barang lain untuk mencukupkan sisa dirhamnya. Tidak ada
larangan dalam transaksi semacam ini.”
Malik berkata,
“Tidak
ada larangan bagi seseorang untuk menyimpan satu dirham kepada orang lain dan
kemudian mengambil dari orang tersebut barang-barang yang disepakati senilai 1/4
dirham, 1/3 dirham, atau sepersekian
dirham. Jika tidak ada kesepakatan harga barang dan orang tersebut berkata,
‘Aku
akan mengambil barang-barang tersebut dari engkau dengan harga (yang berlaku)
setiap hari,’
maka itu tidak halal karena
ada ketidak-jelasan. Harganya bisa lebih murah pada satu waktu dan lebih mahal
pada waktu yang lain, dan harga-harga barang-barang tersebut bukan termasuk
dalam kesepakatan jual-beli.”
Malik berkata,
“Jika seseorang menjual beberapa
makanan tanpa mengukur secara tepat[28] dan tidak menyisihkan[29] sebagian makanan yang ia jual itu, dan
kemudian Ia terpikir olehnya untuk membeli sebagian dari makanan itu, tidak
baik baginya untuk membeli sebagian darinya kecuali dalam jumlah yang akan
dibolehkan bagi dia untuk menyisihkan-nya
yakni 1/3 atau kurang. Jika lebih dari 1/3,
maka itu menjadi muzabana dan tidak
dibenarkan, Ia hanya boleh membeli apa yang diperbolehkan baginya untuk disisihkan, dan ia hanya diperbolehkan
untuk menyisihkan 1/3 atau kurang dari itu. Ini adalah cara
penyelesaiannya, yang di dalamnya tidak ada bantahan diantara kami.”
Bab 31.24. Menimbun[30] dan Menaikkan Harga dengan Cara Penimbunan Barang
57. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik
bahwa ia telah mendengar bahwa Umar ibn al-Khattab berkata,
“Tidak ada penimbunan di pasar
kita, dan orang-orang yang memiliki kelebihan emas di tangan mereka hendaknya
tidak menghahiskan rezeki Allah yang telah Ia turunkan ke halaman kita dan
kemudian menimbunkan-nya untuk kita. Seseorang yang membawa barang-barang impor
dengan susah payah, baik di musim panas maupun di musim dingin, maka orang
semacam ini adalah tamunya Umar, Biarkanlah ia menjual apa yang Allah inginkan
dan menahan apa yang Allah inginkan.”
58. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Yunus ibn Yusuf, dari Sa’id ibn al-Musayyab bahwa Umar ibn al-Khattab
melewati Hatab ibn Abi Baltha’a yang sedang meng-obral[31]
anggur keringnya di pasar. Umar ibn al-Khattab berkata kepadanya,
“Naikkan harga atau
tinggalkan pasar kami.”
59. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa Usman ibn Affan
melarang penimbunan barang (hukra).
Bab 31.25. Yang diperbolehkan dalam Barter Hewan dengan Hewan Lainnya dan Pembayaran di Muka untuk Jual-Beli Hewan
60. Yahya menyampaikan
kepadaku dari Malik, dari Salih ibn Kaysan, dari Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abi Talib bahwa Ali ibn Abi Talib menjual salah satu untanya yang dinamai ‘Usayfir
untuk 20 ekor unta yang akan dikirimkan kemudian.
61. Yahya menyampaikan
kepadaku dari Malik, dari Nafi’ bahwa Abdullah ibn Umar membeli se-ekor unta tunggang betina dengan 4 ekor unta, serta menjaminnya untuk
mengirim keempat-empatnya kepada pembeli di ar-Rabadha.
62. Yahya menyampaikan kepadaku bahwa
Malik bertanya kepada Ibn Shihab tentang penjualan hewan, 2:1 ekor dengan tenggat
waktu pembayaran tertentu. Ia berkata,
“Tidak ada larangan dalam
hal itu.”
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati
di antara kami adalah tidak ada larangan untuk membarter se-ekor unta dengan se-ekor
unta semacamnya dan menambahkan beberapa dirham dalam penukaran itu, secara tunai,
Tidak ada larangan dalam membarter se-ekor unta dengan se-ekor unta dan
menambahkan beberapa dirham dalam penukarannya, unta dipertukarkan dari tangan
ke tangan (tunai), dan dirhamnya dibayarkan dalam jangka waktu tertentu.”
Ia berkata,
“Tidak
baik membarter seekor unta dengan seekor unta ditambah beberapa dirham, (jika)
dirhamnya dibayarkan langsung sementara untanya dikirimkan kemudian. Jika
keduanya, unta dan dirhamnya ditunda kedua-duanya juga tidak baik.”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan dalam membeli
se-ekor unta tunggang dengan dua atau lebih unta-beban yang kualitasnya tidak
baik. Tidak ada larangan untuk membarter dua dengan satu yang diberikan dengan tenggat
waktu tertentu jika (kualitas) mereka
berbeda dan perbedaannya jelas. Jika mereka mirip satu sama lainnya, se-jenis
ataupun berbeda jenis, dua tidak dapat diambil untuk satu dengan tenggat waktu
rertentu.”
Malik berkata,
“Penjelasan tentang apa
yang tidak dibenarkan di atas adalah se-ekor unta tidak boleh dibeli dengan dua
ekor unta jika tidak ada perbedaan (kualitas) di antara mereka, baik dalam
kecepatan maupun daya tahan. Jika ini seperti yang aku gambarkan kepadamu, lalu
kemudian seseorang tidak membeli dua untuk satu dengan tenggat waktu tertentu. Tidak
ada larangan untuk menjual sebagian dari unta-unta yang telah engkau beli, sebelum
engkau melengkapi perjanjiannya, kepada seseorang selain orang yang engkau bawa
darinya unta-unta tersebut jika engkau mengambil bayarannya secara tunai.”
Malik berkata,
“Dibolehkan bagi seseorang untuk
memberikan sesuatu dimuka atas hewan-hewan dalam waktu tertentu dan menerangkan
jumlahnya serta membayar harganya secara tunai. Apa pun yang telah disepakati
oleh pembeli dan penjual diwajibkan atas mereka. Perbuatan tersebut masih
diperbolehkan untuk dilakukan oleh orang-orang, dan juga yang dilakukan oleh para
ulama di negri[32]
kami.
Bab 31.26. Yang Tidak Diperbolehkan dalam Penjualan Hewan
63. Yahya menyampaikan
kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, melarang transaksi yang disebut dengan habal al-babala.
itu adalah sebuah transaksi yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyya,
dimana seseorang membeli bayi yang belum dilahirkan dari bayi yang belum
dilahirkan dari seekor unta betina.
64. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Ibn Shihab bahwa Sa’id ibn al-Musayyab berkata,
“Tidak ada riba dalam hewan-hewan.
Ada tiga hal yang dilarang dalam (jual-beli) hewan: al-madamin, al-malaqih dan
babal al-babala. al-madamin adalah menjual apa yang ada dalam rahim unta-unta
betina. al-malaqih adalah penjualan kualitas-keturunan unta.” (maksudnya:
karena bibitnya atau induknya)
Malik berkata,
“Tidak seorangpun yang boleh membeli hewan
tertentu jika itu tidak kelihatan olehnya atau berada di tempat lain, meskipun
jika ia sudah pernah melihatnya kemarin ataupun ia sudah beberapa lama tidak
melihatnya dan ia cukup senang sehingga ia mau membayar harganya secara tunai.”
Malik berkata,
“Itu tidak dibenarkan
karena penjual (dapat) memanfaatkan harganya sementara tidak diketahui apakah
barang-barang tersebut akan seperti yang telah dilihat oleh pembeli atau tidak.
Untuk alasan itu, hal ini tidak dibenarkan. Tidak ada larangan dalam hal ini
jika dijelaskan dan diberikan jaminan.”
Bab 31.27. Menukarkan Hewan dengan Daging
65. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Zayd ibn Aslam, dari Sa’id ibn al-Musayyab
bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang membarter hewan hidup
dengan daging.
66. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Da’ud ibn al-Husayn bahwa ia mendengar Sa’id ibn al-Musayyab berkata,
“Bagian dari judi
orang-orang Jahiliyya adalah membarter hewan hidup dengan daging dari hewan
yang telah disembelih, misalnya: satu ekor domba hidup untuk dua ekor domba yang
sudah disembelih.”
67. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik,
dari Abu’z-Zinad bahwa Sa’id ibn al-Musayyab berkata,
“Membarter
hewan-hewan hidup untuk daging adalah dilarang.”
Abu’z-Zinad
berkata,
“Aku
berkata kepada Sa’id ibn al-Musayyab:
‘Bagaimana
menurutmu tentang seseorang yang membeli seekor unta tua dengan sepuluh domba?’
Sa’id berkata,
“Jika ia membelinya untuk
menyembelihnya, tidak ada kebaikan di dalamnya.”
Abu’z-Zinad menambahkan,
“Semua orang (maksudnya: para
sahabat) yang telah aku temui melarang membarter hewan hidup dengan daging.”
Abu’z-Zinad berkata,
“Ini tertulis dalam surat
penunjukan gubernur pada masa Aban ibn Usman dan Hisyam ibn Isma’il.”
Bab 31.28. Menjual Daging dengan Daging
68. Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di
antara kami adalah daging unta, sapi, biri-biri dan lain-lain tidak boleh
dibarter satu banding satu, kecuali yang sebanding, berat dengan berat, dari
tangan ke tangan. Tidak ada larangan dalam hal itu. Jika tidak ditimbang, maka
diperkirakan agar sebanding, dari tangan ketangan.
Malik berkata,
“Tidak ada larangan untuk membarter
daging ikan dengan daging unta, sapi, biri-biri, dan lain-lain, dua banding
satu, secara tunai, Akan tetapi, jika pembayaran yang dilakukan dalam jangka
waktu tertentu masuk ke dalam transaksi, maka tidak ada kebaikan di dalamnya.”
Malik berkata,
“Aku pikir unggas berbeda
dari daging sapi dan ikan. Menurutku, tidak ada larangan untuk menjual sebagian
dari jenis tertentu untuk sebagian dari jenis yang lain, sebagian lebih banyak
dari yang lainnya, secara tunai. Tidak satupun dari itu yang boleh dijual
secara tunda.”
Bab 31.29. Penjualan Anjing
69. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Ibn Shihab, dari Abu Bakr ibn Abd
ar-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam, dari Abu Mas’ud al-Ansari bahwa Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, mengharamkan penjualan anjing, upah pelacuran dan upah
peramal-keberuntungan.
Yang dimaksudkan dengan upah pelacuran
olehnya adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang wanita karena zina. Hasil
dari peramal keberuntungan adalah sesuatu yang diberikan kepadanya agar ia
meramalkan keberuntungan.
Malik berkata,
“Aku tidak membenarkan penjualan
anjing, baik itu anjing untuk berburu ataupun bukan. Karena Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, melarang penjualan anjing.”
Bab 31.30. Pembayaran-dimuka dan Penjualan Beberapa Barang
untuk Barang Lainnya
70. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar Rasulullah, salallahu
‘alayhi wa salam, melarang ‘penjualan beserta peminjaman’.
Malik berkata,
“Penjelasan
tentang apa maksudnya adalah jika seseorang berkata kepada orang lain,
‘Aku
akan mengambil barang-barangmu seharga ini-dan-ini jika kamu meminjamkan
kepadaku ini-dan-ini,’
Jika mereka setuju terhadap
transaksi semacam ini, maka ini tidak diperbolehkan. Jika seseorang yang
mengusulkan pinjaman itu menghilangkan usulnya (persyaratannya), maka penjualan
tersebut diperbolehkan.”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan untuk
mempertukarkan kain linen dari Shata dengan pakaian dari Itribi atau Qass atau
Ziq, atau kain dari Herat atau Marv dengan jubah dan selendang/syal dari Yaman,
dan (barang-barang) yang seperti ini dengan satu banding dua atau tiga, dari
tangan ke tangan ataupun secara tunda (dalam jangka waktu tertentu). Jika
barang-barangnya berasal dari jenis yang sama, dan penundaan masuk dalam
transaksi maka Tidak ada kebaikan di dalamnya.”
Malik berkata,
“Ini tidak baik kecuali
jika mereka (barang-barang tersebut) berbeda, dan perbedaan mereka jelas. Jika
mereka digabungkan menjadi satu, meskipun namanya berbeda, jangan mengambil dua
untuk satu, misalnya dua pakaian dari Herat untuk satu dari Marv atau satu Quhy
dengan pembayaran tertunda, atau dua pakaian dari Furqub untuk satu dari Shata,
Kesemuanya ini sama, maka jangan membeli dua banding satu secara tunda.”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan untuk
menjual apa yang engkau beli dari benda-benda semacam ini, sebelum engkau
memenuhi seluruh kesepakatan, kepada seseorang selain orang yang engkau beli
barang-barang itu darinya jika harganya dibayar secara tunai.”
Bab 31.31. Pembayaran-dimuka untuk (Pembelian) Barang
71. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Yahya ibn Sa’id bahwa al-Qasim ibn Muhammad berkata,
“Aku
mendengar Abdullah ibn Abbas berkata kepada seseorang yang bertanya kepadanya
tentang pembayaran-dimuka untuk pakaian dan kemudian ingin menjualnya kembali
sebelum mengambil alih pemilikan barang tersebut sepenuhnya,
‘Itu seperti
pertukaran perak untuk perak,’
dan ia tidak membenarkan hal
itu.”
Malik berkata,
“Pendapat
kami – dan Allah Maha Mengetahui – itu karena ia ingin menjual barang-barang
tersebut kepada orang yang ia telah beli barang-barang itu darinya dengan harga
yang lebih tinggi dari harga (sewaktu) ia membeli mereka. Namun, jika ia menjualnya
kepada seseorang selain yang ia beli barang-barang itu darinya,
maka tidak akan ada larangan di dalamnya.”
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati
di antara kami mengenai pembayaran-dimuka untuk budak, biri-biri atau barang-barang
adalah bahwa ketika semua yang akan ia jual dideskripsikan dan diberlakukan pembayaran-dimuka
untuk tanggal tertentu, dan tanggal yang telah disepakati tiba, pembeli tidak
boleh menjual yang manapun dari apa yang ia beli kepada orang yang telah menjual
barang-barang itu kepadanya dengan harga yang lebih tinggi yang mana ia sudah melakukan
pembayaran-dimuka, sebelum ia mengambil alih kepemilikan sepenuhnya terhadap
apa-apa yang telah ia bayarkan dimuka. Jika
ia lakukan, maka itu adalah riba. Jika si pembeli memberikan dinar atau
dirham kepada si penjual dan ia memperoleh keuntungan, maka ketika barang
tersebut datang kepada pembeli dan ia tidak menjadikannya sebagai barang
miliknya namun menjualnya kembali kepada pemilik asalnya (penjual) dengan harga
lebih tinggi dari apa yang telah ia berikan sebagai pembayaran-dimuka untuk
barang-barang tersebut, hasilnya adalah apa
yang telah ia berikan sebagai pembayaran-dimuka telah kembali kepadanya dan
bertambah untuknya.[33]”
Malik berkata,
“Jika seseorang memberi
pembayaran-dimuka berupa emas atau perak untuk hewan atau barang-barang yang akan
dikirimkan sebelum tanggal yang telah ditentukan, dan tanggal tersebut tiba,
atau sebelum atau setelah tanggal tersebut, tidak ada larangan bagi si pembeli
untuk menjual barang-barang tersebut kepada si penjual untuk barang-barang lainnya
yang akan langsung ia diambil tanpa penundaan, tidak peduli berapapun banyaknya
barang-barang tersebut, kecuali dalam kasus makanan karena tidak halal untuk
menjual makanan sebelum ia memiliki kepemilikan-nya sepenuhnya. Pembeli dapat
menjual barang-barang tersebut kepada seseorang selain orang yang ia bayarkan kepadanya
emas, perak, atau barang lain (yang berfungsi sebagai uang atau alat barter). Ia mengambil alih pemilikan dan tidak
menundanya, karena jika ia menundanya maka penundaan tersebut menjadi hal yang
buruk dan masuk ke dalam transaksi yang tidak dibenarkan – penundaan terhadap
hal yang tertunda. Maksud dari ‘penundaan terhadap hal yang tertunda’ adalah ‘menjual hutang kepada seseorang untuk sebuah
hutang yang ada pada orang lainnya.’[34]
Malik berkata,
“Jika seseorang memberikan pembayaran-dimuka
untuk barang-barang yang akan dikirimkan setelah waktu tertentu, dan
barang-barang tersebut bukan sesuatu untuk dimakan ataupun diminum, ia dapat
menjualnya kepada siapapun yang ia kehendaki secara tunai[35]
atau untuk barang-barang[36],
sebelum ia terima kirimannya, kepada seseorang selain orang yang ia beli
barang-barang itu darinya. Ia tidak boleh menjualnya kepada orang yang menjual
barang tersebut kepadanya kecuali untuk barang-barang yang langsung ia ambil
alih pemilikannya, tanpa menundanya.”
Malik berkata,
“Jika tanggal pengiriman
untuk barang-barang tersebut belum tiba, tidak ada larangan untuk menjualnya
kepada pemilik sebelumnya untuk (dibarter dengan) barang-barang yang jelas berbeda
dan yang langsung ia ambil alih pemilikannya, tanpa menunda.”
Malik berbicara tentang kasus seseorang yang memberikan pembayaran-dimuka
dalam bentuk dinar atau dirham untuk 4 potong kain tertentu, untuk dikirimkan
sebelum waktu tertentu, dan ketika waktu tersebut tiba, ia menagih pengiriman tersebut
dari si penjual namun si penjual tidak memilikinya. Kemudian ia temukan si penjual
memiliki kain yang kualitasnya lebih rendah, dan penjual berkata bahwa ia akan
memberikan kepadanya delapan potong kain tersebut (sebagai ganti). Malik berkata,
“Tidak ada larangan dalam hal
itu jika ia mengambil kain yang ditawarkan sebelum mereka berpisah. Tidak baik
jika penundaan masuk dalam transaksi tersebut. Juga tidak baik jika itu
dilakukan sebelum akhir dari waktu yang telah ditentukan, kecuali ia menjual
kepadanya kain yang bukan se-tipe atau se-jenis yang telah mereka sepakati
untuk harga pada pembayaran-dimuka sebelumnya.
Bab 31.32. Menjual Barang yang Dapat Ditimbang Seperti Tembaga, Besi dan yang Sejenis
72. Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di
antara kami mengenai apa pun yang dapat ditimbang selain emas dan perak, misalnya
tembaga, kuningan, timah, timah hitam, besi, tumbuhan, buah ara, kapas, dan
barang-barang lain semacam ini yang ditimbang, adalah tidak ada larangan untuk
membarter semua jenis barang-barang ini 2:1, secara tunai. Tidak ada larangan
untuk mengambil 1 ritl[37]
besi untuk 2 ritl besi, dan 1 ritl kuningan untuk 2 ritl kuningan.”
Malik berkata,
“Tidak ada kebaikan dalam 2:1
untuk barang yang sama jenisnya jika disertai dengan penundaan. Tidak ada
larangan untuk mengambil 2 dari jenis tertentu untuk (dibarter) dengan 1 dari
jenis yang lain dengan penundaan, jika kedua jenis barang tersebut jelas
berbeda. Jika kedua jenis itu digabungkan satu sama lainnya (bercampur) namun
namanya berbeda, seperti timah dan timah hitam, kuningan dan kuningan yang
berwarna kuning, aku tidak membenarkan untuk mengambil 2 dari jenis yang satu
untuk ditukar dengan 1 dari jenis yang lain dengan cara penundaan.”
Malik berkata,
“Ketika membeli sesuatu
dari benda-benda di atas, tidak ada larangan untuk menjualnya lagi sebelum
mengambil alih pemilikan benda-benda tersebut kepada seseorang selain orang yang
benda-benda itu dibeli darinya, dengan syarat pembayarannya langsung diambil
dan barang-barang tersebut ditimbang atau diukur. Jika barang-barang tersebut
dibeli tanpa diukur, maka ia harus dijual kepada seseorang selain orang yang
benda-benda itu dibeli darinya, baik secara tunai maupun secara tunda. Itu
karena barang-barang tersebut harus diberi garansi ketika ia dijual berdasarkan
beratnya sampai proses penimbangan dan kesepakatan dilengkapi. Ini pendapat terbaik,
sepanjang yang telah aku dengar mengenai hal-hal ini, dan terus dilakukan oleh masyarakat
di antara kami.”
Malik berkata,
“Cara yang berlaku di
masyarakat kami terhadap sesuatu yang diukur dan ditimbang, yang tidak dimakan
ataupun diminum, seperti biji kurma, dedaunan makanan hewan, cat nila dan
benda-benda semacam ini adalah tidak ada larangan untuk membarter semua yang
semacam ini 2:1, secara tunai. Jangan mengambil dua untuk satu dari jenis yang sama
secara tunda. Jika jenisnya jelas berbeda, tidak ada larangan untuk mengambil
dua dari satu jenis untuk satu dari jenis yang lain secara tunda, Tidak ada
larangan untuk menjual apapun yang dibeli dari jenis ini, sebelum menerima
kiriman barangnya, jika harganya diambil dari seseorang selain orang yang
barang-barang itu dibeli darinya.”
Malik berkata,
“Segala sesuatu dari jenis manapun
yang menguntungkan manusia, seperti batu kerikil dan gypsum, dengan
berbandingan kuantitas 1:2 dari jenis yang sama dengan penundaan pembayaran,
adalah Riba. Atau dengan perbandingan kuantitas yang sama (1:1) dari keduanya ditambah
dengan beberapa penambahan lagi dan disertai penundaan pembayaran, adalah Riba.”
Bab 31.33. Larangan untuk Melakukan Dua Penjualan Dalam Satu Penjualan
73. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, melarang Dua Penjualan Dalam Satu Penjualan.
74. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik
bahwa ia telah mendengar seseorang berkata kepada yang lain,
“Beli unta ini secepatnya untukku sehingga
aku bisa membelinya darimu secara cicilan.”[38]
Abdullah
ibn Umar ditanya tentang itu dan ia tidak membenarkannya serta melarangnya.
75. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa al-Qasim ibn
Muhammad ditanya tentang seseorang yang membeli barang-barang seharga 10 dinar
secara tunai atau 15 dinar secara cicilan. Ia tidak membenarkannya dan
melarangnya.
Malik
berkata bahwa jika seseorang membeli barang dari seseorang lainnya untuk salah
satu dari dua pilihan harga, yaitu 10 dinar ataupun 15 dinar secara cicilan,
kemudian salah satu dari kedua pilihan harga ini diwajibkan kepada si pembeli.
Hal semacam ini hendaknya tidak dilakukan, sebab jika ia menolak membayar yang
10 dinar, maka ia harus membayar 15 dinar secara cicilan, dan jika ia membayar yang
10 dinar, maka ia telah membeli sesuatu yang senilai 15 dinar yang harus dibayar
secara cicilan.
Malik
berkata bahwa tidak dibenarkan bagi seseorang untuk membeli barang-barang dari
seseorang untuk salah satu dari dua pilihan berikut; satu dinar secara tunai atau seekor
domba secara cicilan, dan salah satu dari kedua harga itu diwajibkan
atasnya. Hal tersebut jangan dilakukan, karena Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa
salam, melarang dua penjualan dalam satu penjualan, dan yang demikian itu
termasuk dalam jenis dua penjualan dalam satu.
Malik
berbicara tentang seseorang yang berkata kepada lainnya,
“Aku
akan membeli dari engkau salah satu dari dua pilihan berikut; 15 sa’ kurma ‘ajwa, atau 10 sa’ kurma sayhani, atau aku akan membeli
15 sa’ tepung gandum berkualitas
rendah, atau 10 sa’ tepung gandum
Syria, seharga 1 dinar, dan salah satu dari barang-barang yang disebutkan tadi
diwajibkan atas ku.”
Malik
berkata bahwa itu tidak dibenarkan dan tidak halal. Yang demikian itu karena ia
mengharuskan untuknya 10 sa’ kurma sayhani,
dan kemudian ia tinggalkan serta mengambil 15 sa’ kurma ‘ajwa, atau ia mengharuskan 15 sa’ tepung gandum yang berkualitas rendah dan kemudian ia
tinggalkan serta mengambil 10 sa’
tepung gandum Syria. Ini juga tidak dibenarkan dan tidak halal. Ini mirip
dengan apa yang dilarang dalam praktik dua penjualan dalam satu penjualan. Ini
juga termasuk dalam larangan membeli dua
untuk satu dari jenis makanan yang sama.
Bab 31.34. Transaksi yang di Dalamnya Terdapat Ketidak-pastian
76. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abu Hazim ibn Dinar, dari Sa’id ibn al-Musayyab
bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang jual-beli yang
mengandung ketidakpastian di dalamnya.
Malik berkata,
“Satu
contoh dari sejenis ketidakpastian transaksi dan resiko adalah seorang
laki-laki yang menyatakan bahwa harga dari hewan ataupun budak yang kabur
adalah 50 dinar. Seseorang berkata,
‘Aku
akan mengambilnya darimu dengan harga 20 dinar.’
Jika pembeli menemukannya,
si penjual kehilangan 30 dinar, dan jika ia tidak menemukannya, penjual
mengambil 20 dinar dari pembeli.”
Malik berkata,
“Ada kesalahan lain di
dalamnya. Jika hewan yang tersesat ditemukan, tidak diketahui apakah nilainya
akan bertambah atau berkurang, atau apakah ada cacat yang menimpanya. Transaksi
ini penuh dengan ketidakpastian dan risiko.”
Malik berkata,
“Menurut amal yang kami
lakukan, selah satu jenis ketidakpastian dan resiko di dalam transaksi adalah
menjual apa yang masih di dalam rahim – baik itu rahim wanita ataupun hewan
betina – karena tidak diketahui apakah janin tersebut akan keluar atau tidak,
tidak diketahui apakah akan cantik atau jelek, normal atau cacat, jantan atau
betina. Kesemuanya itu berbeda. Jika ia begini, maka harganya adalah
ini-dan-ini, dan jika ia begitu, maka harganya adalah ini-dan-ini.”
Malik berkata,
“Betina
tidak boleh dijual dengan persyaratan – apa yang dikeluarkan dari kandungannya.
Misalnya, seseorang berkata kepada orang lainnya:
‘Harga
dombaku yang memiliki banyak air-susu itu berharga 3 dinar. Ia akan menjadi
milikmu dengan harga 2 dinar, tapi aku akan memiliki bayinya nanti.’
Ini tidak dibenarkan, karena
ini adalah transaksi yang tidak pasti dan memiliki resiko.”
Malik berkata,
“Tidak halal untuk menjual zaitun untuk minyak zaitun, wijen
untuk minyak wijen, atau mentega untuk minyak samin karena transaksi muzabana
masuk ke dalamnya, sebab orang yang membeli bahan mentah untuk sesuatu yang dihasilkan
olehnya (bahan jadi) tidak tahu apakah bahan mentah itu akan menghasilkan lebih
banyak atau lebih sedikit, maka ini adalah transaksi yang mengandung
ketidakpastian dan memiliki resiko.”
Malik berkata,
“Kasusnya sama seperti membarter
biji-ban[39]
untuk minyak-ban. Yang demikian adalah transaksi yang
mengandung ketidakpastian karena hasil dari biji-ban adalah minyak-ban.
Tidak ada larangan untuk menjual biji-ban
dengan minyak-ban yang sudah di beri parfum,
karena minyak-ban sudah diberi parfum
telah mengalami pencampuran, dan pererubahan dari keadaan awalnya, yakni ‘minyak
biji-ban mentah’.
Malik, berbicara tentang seseorang yang menjual barang kepada orang lain
dengan ketentuan, tidak boleh ada kerugian bagi si pembeli,[40]
“Transaksi ini tidak diperbolehkan
dan ini adalah termasuk bagian dari resiko. Penjelasan mengapa demikian adalah,
seakan-akan penjual menyewa atau mempekerjakan si pembeli untuk memperoleh
untung jika barang tersebut menghasilkan untung. Jika ia menjual barang-barang
itu dengan adanya kerugian, maka ia tidak memperoleh apa-apa, dan usahanya tersebut
tidak memperoleh ganti-rugi. Ini tidak baik. Dalam transaksi semacam ini, pembeli
harus memperoleh upah sesuai dengan kontribusi yang telah ia berikan. Apa pun
yang terjadi, kerugian ataupun keuntungan pada barang itu adalah resiko dan
tanggungan penjual. Ini hanya berlaku jika barang tersebut habis dan terjual.
Jika tidak, transaksi diantara mereka batal.”
Malik berkata,
“Bagi
seseorang yang membeli barang dari seseorang dan pembeli menyesal serta minta
agar harganya dikurangi sementara penjual menolak serta berkata,
‘Juallah
barang itu dan aku akan mengganti kerugiannmu,’
tidak ada larangan dalam
hal ini karena tidak ada resiko. Ini adalah sesuatu yang ia usulkan untuknya,
dan transaksi mereka tidak didasarkan atas itu. Itulah yang diamalkan di antara
kami.’
Bab 31.35. Al-Mulamasa dan al-Munabaza
77. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Muhammad ibn Yahya ibn Habban dan dari Abu’z-Zinad,
dari al-A’raj, dari Abu Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang
mulamasa dan munabaza.
“Mulamasa adalah jika seseorang dapat
meraba sebuah pakaian namun tidak diperbolehkan untuk membukanya dan menguji
apa yang ada di dalamnya.[41]
Munabaza adalah seseorang yang melemparkan
pakaiannya kepada orang lain, dan orang tersebut melemparkan pakaiannya tanpa
satupun diantara mereka yang meneliti. Kedua-duanya berkata,
‘Ini
untuk ini.’
Inilah yang dilarang diantara
mulamasa dan munabaza.”
Malik berkata bahwa
menjual (barang) dalam buntalan (tempat barang) dengan daftar isinya berbeda
dengan menjual jubah yang tertutup dalam sebuah tasataupun pakaian yang dilipat
atau yang semacamnya. Yang membuatnya berbeda adalah orang-orang terbiasa
dengan praktek ini, dan telah diLakukan oleh orang-orang di masa lalu, dan itu
masih merupakan transaksi dan perdagangan yang diperbolehkan, di mana mereka
melihat bahwa di dalamnya tidak ada bahaya, karena penjualan buntalan dengan
daftar isi tanpa membukanya tidak dimaksudkan untuk transaksi yang mengandung
ketidakpastian, dan itutidak termasuk mil/amasa.
Bab 31.36. Transaksi Murabaha (Kerja Sama antara Pemilik-modal dan Peminjam dalam Berbagi Keuntungan dalam Penjualan-Kembali)
78. Yahya menyampaikan kepadaku bahwa
Malik mengatakan,
“Yang biasanya disepakati di antara kami
tentang seseorang yang membeli pakaian di sebuah kota dan kemudian membawanya
ke kota lain untuk menjualnya sebagai murabaha
adalah ia tidak diperhitungkan untuk memperoleh upah sebagai pengelola-modal
ataupun upah untuk menyetrika, melipat, meluruskan, biaya-biaya, ataupun sewa
rumah. Mengenai biaya angkut bahan-kain tersebut, termasuk dalam harga dasar dan
tidak ada bagian keuntungan yang dialokasikan untuk itu kecuali si
pengelola-modal membicarakan hal itu kepada pemilik-modal. Jika mereka sepakat untuk
berbagi keuntungan berdasarkan apa yang mereka ketahui itu, maka tidak ada
larangan untuk itu.”
Malik melanjutkan:
“Sedangkan pemutihan,
penjahitan, pewarnaan, dan yang semacamnya diperlakukan sama sebagaimana
bahan-kain. Keuntungan dihitung sebagaimana dalam perhitungan barang-barang
yang berbahan-kain. Oleh karena itu, jika
ia menjual barang yang berbahan-kain tanpa menjelaskan apa yang kita sebut sebagai
‘tidak mendapat keuntungan’, dan barang berbahan-kain itu sendiri sudah
tidak ada, maka ongkos angkut harus dihitung, namun tidak boleh ada keuntungan
yang diberikan. Jika barang-barang yang berbahan-kain tersebut belum hilang, maka
transaksi di antara mereka batal, kecuali mereka membuat kesepakatan baru
bersama, tentang apa yang akan diperbolehkan di antara mereka.
Malik berbicara mengenai seorang pengelola-modal
yang membeli barang-barang dengan pembayaran emas atau perak, dan nilai tukar
pada hari pembelian adalah 10 dirham untuk 1 dinar. Ia membawa barang-barang
tersebut ke sebuah kota untuk menjualnya sebagai murabaha, ataupun menjual
barang-barang tersebut di tempat dimana ia membelinya menurut nilai tukar pada
hari ia menjualnya. Jika ia membeli dengan dirham dan menjual dengan dinar,
atau ia membeli dengan dinar dan menjual dengan dirham, dan barang-barang
tersebut tidak hilang, maka ia dapat memilih. jika ia mau, ia dapat menerima
untuk menjual barang-barang tersebut, dan jika ia mau, ia dapat meninggalkan
mereka. Jika barang-barang tersebut sudah terjual, ia memperoleh harga senilai
yang dibeli oleh penjual (salesman) tersebut, dan salesman dipertimbangkan
untuk memperoleh keuntungan dari pembelian barang-barang itu, atas keuntungan
yang diperoleh oleh pemilik-modal.
Malik berkata,
“Jika
seseorang menjual barang-barang senilai 100 dinar (modal) dengan 110 dinar
(harga jual), dan ia mendengar setelah itu bahwa barang-barang tersebut
bernilai 90 dinar, dan barang-barang itu sudah hilang, penjual memiliki
pilihan. Jika ia suka, ia memperoleh harga barang-barang itu senilai hari mereka
diambil darinya kecuali harga tersebut lebih dari harga yang diharuskan atasnya
untuk menjualnya, dan ia tidak memiliki lebih dari itu, yakni 110 dinar. Jika
ia suka, ini dapat dihitung sebagai keuntungan atas 90 kecuali harga yang
dicapai barang itu kurang dari harga itu (90 dinar). Ia diberi pilihan antara
harga barang itu diambil dan modal ditambah keuntungan, yakni 99 dinar.”
Malik berkata,
“Jika
seseorang menjual barang-barang secara murabaha dan ia berkata,
‘Ini dijual
kepadaku senilai 100 dinar.’
Kemudian ia mendengar setelah
itu bahwa barang itu senilai 120 dinar, pembeli[42]
diberi pilihan. Jika ia suka, ia memberi kepada salesman nilai barang senilai pada
hari ia mengambil barang itu, dan jika ia suka, ia memberikan harga untuk
barang-barang yang ia beli sesuai dengan perhitungan keuntungan yang ia berikan
kepadanya, sebesar apapun itu, kecuali harganya kurang dari harga ia membelinya,
hendaknya ia tidak memberi pemilik barang kerugian dari harga ia membelinya
sebab ia sudah puas dengan harga itu. Pemilik barang datang untuk mencari kelebihan
(keuntungan), sehingga pembeli tidak punya argument terhadap salesman untuk
mengurangi harga dasar yang ia beli menurut daftar harga barang.”
Bab 31.37. Penjualan Berdasarkan Katalog
79. Malik berbicara tentang apa yang telah
dilakukan di antara mereka dalam kasus sekelompok orang yang membeli
barang-barang, bahan-kain milik budak, atau seseorang mendengar tentang itu dan
berkata kepada salah satu anggota kelompok tersebut:
“Aku mendengar
gambaran dan keadaan dari bahan-kain yang engkau beli dari ini dan-ini,
dapatkah aku berikan kepadamu keuntungan sejumlah ini-dan-ini untuk mengambil alih
bagian yang engkau miliki?”
Orang ini setuju, dan orang
tadi memberikan kepadanya keuntungan dan menggantikan posisinya sebagai
rekanan. Kemudian, ketika ia melihat kepada barang yang dibeli, ia melihat
bahwa ternyata itu jelek dan terlalu mahal.
Malik
berkata,
“Itu resiko yang harus
ditanggungnya dan tidak ada pilihan baginya jika ia membeli berdasarkan daftar
isi dan gambarannya dengan baik diketahui.”
Malik
berbicara tentang seseorang yang telah menerima kiriman bahan-kain, dan para
penjual datang kepadanya, ia membacakan kepada mereka daftar isinya dan berkata,
“Dalam setiap kantong
terdapat satu bungkusan ini-dan-ini dari Basra dan satu bungkusan kecil
ini-dan-ini dari Sabir. Ukuran mereka adalah ini-dan-ini,”
dan ia
menyebutkan jenis-jenis bahan-kain tersebut dan berkata,
“Belilah
dariku menurut gambaran ini.”
Mereka
membeli kantong-kantong itu sesuai dengan gambaran yang ia berikan kepada
mereka, dan kemudian setelah membeli, mereka menemukan bahwa itu terlalu mahal
dan menyesalinya. Malik berkata,
“Penjualan mengikat mereka
jika barang-barang sesuai dengan daftar isi yang ia jual kepada mereka.”
Malik berkata,
“Inilah yang diamalkan di
antara kami sampai hari ini. Mereka membolehkan penjualan dengan menyebutkan
barang-barang jika barang-barang tersebut sesuai dengan daftar isi serta tidak
berbeda darinya.”
Bab 31.38. Hak untuk Mengundurkan Diri (Khiyar)
80. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik,
dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam,
berkata,
“Kedua belah pihak dalam transaksi bisnis berhak untuk mengundurkan diri
sepanjang mereka belum berpisah, kecuali hal itu adalah penjualan yang tunduk
kepada sebuah pilihan.”
Malik berkata,
“Tidak ada batas tertentu dan
keadaan tertentu yang diterapkan dalam kasus ini menurut kami.”
81. Malik menyampaikan kepadaku bahwa ia
telah mendengar bahwa Abdullah ibn Mas’ud dahulu biasa menyampaikan bahwa Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
“Jika dua pihak berselisih mengenai sebuah transaksi bisnis, maka kata-kata
penjual yang menjadi acuan, atau mereka setuju untuk membatalkan jual-beli.”
Malik berbicara
tentang seseorang yang menjual barang kepada seorang laki-laki dan berkata
ketika jual-beli tersebut sudah disepakati,
“Aku
akan menjual kepadamu jika aku sudah berkonsultasi kepada ini-dan-ini. Jika ia ridho,
jual-beli tersebut diperbolehkan. Jika ia tidak menyukainya, tidak ada jual-beli
di antara kita.”
Mereka melakukan transaksi
berdasarkan hal ini dan kemudian pembeli menyesali transaksi itu sebelum si
penjual mengkonsultasikan nya kepada orang tersebut.
Malik berkata,
“Jual-beli mengikat mereka
sesuai dengan yang telah mereka gambarkan. Pembeli tidak punya hak untuk
mengundurkan diri, dan jual-beli mengikat atas dirinya jika orang yang telah ditetapkan
oleh penjual memperbolehkan jual-beli itu.”
Malik berkata,
“Amal-an
di antara kami tentang seseorang yang membeli barang dari orang lain dan mereka
berbeda (pendapat) mengenai harganya, dan si penjual berkata,
‘Aku
menjual mereka (barang-barang itu) kepadamu seharga 10 dinar,’
dan
pembeli berkata,
‘Aku
membeli mereka dari engkau seharga 5 dinar,’
Maka dikatakan
kepada penjual,
‘Jika
engkau suka, berikanlah barang-barang itu kepada pembeli seharga yang telah ia
sebutkan. Jika engkau suka, bersumpahlah demi Allah bahwa engkau hanya menjual
barang-barangrnu seharga yang telah engkau sebutkan.’
Jika ia
bersumpah, maka dikatakan kepada pembeli,
‘Engkau
dapat mengambil barang-barang tersebut seharga yang telah disebutkan penjual,
atau engkau bersumpah demi Allah bahwa engkau membeli barang-barang tersebut
seharga yang telah engkau sebutkan.’
Jika ia bersumpah, ia bebas
untuk mengembalikan barang itu, jika setiap orang dari mereka bersumpah atas
yang lain.”
Bab 31.39. Riba dalam Hutang
82. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Abu’z-Zinad, dari Busr ibn Sa’id, dari Ubayd Abu Salih, mawla as-Saffah, bahwa ia berkata,
“Aku
menjual beberapa bahan-kain kepada orang-orang Dar Nakhla secara cicilan.
Kemudian aku mau pergi ke Kufa, maka mereka mengusulkan agar aku mengurangi
harga untuk mereka dan mereka akan membayarku secara langsung. Aku bertanya
kepada Zayd ibn Tsabit tentang itu dan ia berkata,
‘Aku perintahkan kepadamu
untuk tidak menerima penambahan ataupun membolehkannya kepada siapa saja.’”[43]
83. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Usman ibn Hafs ibn Khalda, dari Ibn
Shihab, dari Salim ibn Abdullah bahwa Abdullah ibn Umar ditanya tentang
seseorang yang mengambil hutang kepada orang lain untuk waktu tertentu. Orang
yang memberi pinjaman mengurangi hutang tersebut dan orang yang berhutang membayarnya
secara langsung. Abdullah ibn Umar tidak menyukainya dan melarangnya.
84. Malik menyampaikan kepadaku bahwa Zayd
ibn Aslam berkata,
“Riba
di masa Jahiliyya adalah seseorang memberikan hutang kepada orang lain untuk
waktu tertentu, Ketika waktu tersebut tiba, ia berkata,
‘Apakah
engkau akan membayarnya atau meningkatkannya untuk ku[44]?’
Jika orang tersebut membayar,
maka ia mengambilnya. Jika tidak, maka ia meninggikan beban pembayaran hutang
tersebut dan memperpanjang waktu baginya.”
Malik berkata,
“Amal-an
yang tidak diperbolehkan di antara kami, dan tidak ada perselisihan di dalamnya,
adalah ketika seseorang memberikan hutang kepada orang lain untuk waktu tertentu,
dan kemudian penagih hutang mengurangi beban pembayaran hutang tersebut dan
orang yang berhutang membayar hutangnya lebih dahulu.[45]
Bagi kami, ini sama seperti seseorang yang menunda pembayaran hutangnya kepada pemberi-hutang
setelah waktunya tiba, dan si pemberi-hutang meninggikan beban pembayaran
hutangnya.”[46]
Malik berkata,
“Ini tidak lain adalah riba,
tidak ada keraguan mengenainya.”
Malik
berbicara tentang seseorang yang meminjamkan 100 dinar kepada orang lain dalam
dua jangka waktu. Ketika waktunya tiba, orang yang berhutang berkata,
“Juallah
kepadaku beberapa barang yang harga tunainya 100 dinar untuk harga 150 dinar dengan
cicilan.”
Malik berkata,
“Transaksi ini tidak baik, dan
para Ulama melarangnya.”
Malik berkata,
“Kasus
di atas tidak diperbolehkan, karena orang yang-memberi-pinjaman memberikan
orang-yang-berhutang harga seperti yang diterimanya, dan ia menunda pembayaran
100 dinar pada transaksi pertama untuk si penghutang untuk waktu yang
disebutkan baginya di transaksi kedua, dan orang yang berhutang menaikkan 50 dinar
karena penundaannya, Itu tidak dibenarkan dan tidak baik. Itu seperti hadits
yang diriwayatkan oleh Zayd ibn Aslam mengenai transaksi orang-orang Jahiliyya. Ketika pinjaman mereka
datang, mereka berkata kepada orang yang berhutang:
‘Engkau
membayar lunas atau meninggikannya.’
Jika mereka dibayar, mereka
mengambilnya. Jika tidak, mereka meninggikan beban pembayarab hutang orang yang
berhutang dan memperpanjang waktu bagi mereka.”
Bab 31.40. Hutang dan Pengalihan Hutang Secara Umum
85. Yahya
menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abu’z-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu
Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
“Menunda-nunda pembayaran hutang oleh orang kaya adalah ketidak-adilan,
tapi ketika salah seorang diantaramu ditunjuk untuk menyanggupi seseorang atas
pembayaran, maka terimalah penyerahan itu.”
86. Malik
menyampaikan kepadaku, dari Musa ibn Maysara bahwa ia mendengar seseorang
berkata kepada Sa’id ibn al-Musayyab,
“Aku
adalah orang yang berjualan dengan cara menghutangkan.”
Sa’id berkata,
“Jangan berjualan kecuali apa
yang engkau ambil (bawa) langsung dengan untamu.”
Malik berbicara tentang seseorang yang membeli barang dari seorang penyedia
barang, bahwa orang tersebut menyediakan baginya barang-barang itu pada tanggal
tertentu, baik di waktu pasar – yang ia harap, ia dapat menjual barang-barang
itu – ataupun untuk memenuhi kebutuhan untuk waktu yang ia perkirakan. Kemudian
si penjual gagal memenuhinya pada tenggat waktu yang disepakati, dan si pembeli
ingin mengembalikan barang-barang itu kepada si penjual. Malik berkata,
“Si pembeli tidak dapat
melakukan hal itu, karena transaksi penjualan masih mengikat mereka, Jika si penjual
membawa barang-barang itu sebelum waktu perjanjian selesai, pembeli tidak dapat
dipaksa untuk mengambilnya.”
Malik berbicara tentang seseorang yang membeli makanan, dan pembeli
tersebut menakarnya, Kemudian seseorang datang kepada si pembeli[47]
untuk membeli makanan tadi, dan ia berkata kepadanya bahwa ia telah menakarnya untuk
dirinya sendiri dan telah mengambilnya semua. Si pembeli-yang-baru ini kurang
mempercayainya dan dengan berat hati menerima pengukurannya. Malik berkata,
“Apa pun yang dijual dengan
cara ini, secara tunai, maka tidak ada larangan di dalamnya. Namun demikian,
apa pun yang dijual dengan cara ini, dengan cara tunda, maka tidak dibenarkan,
kecuali si pembeli-baru mengukurnya sendiri. Jual-beli dengan jangka waktu pembayaran
tertentu tidak dibenarkan karena transaksi semacam ini menggiring kepada Riba,
dan dikhawatirkan barang-barang tersebut bersirkulasi dengan cara ini tanpa
ditimbang ataupun ditakar. Jika pembayarannya ditunda maka ini tidak
dibenarkan, dan tidak ada perselisihan pendapat diantara kami mengenai masalah
ini.”
Malik berkata,
“Seseorang tidak boleh
membeli sebuah hutang yang dimiliki orang lain, baik orang tersebut ada ataupun
tidak ada di tempat, tanpa konfirmasi dari orang yang memiliki hutang tersebut,
seseorang juga tidak boleh membeli sebuah hutang yang dimiliki orang yang sudah
meninggal, meskipun ada seseorang yang tahu apa yang ditinggalkan oleh almarhum. Itu karena pembelian
ini adalah transaksi yang mengandung ketidakpastian, dan tidak yang tahu apakah
transaksi ini akan diselesaikan atau tidak.”
Ia berkata,
“Penjelasan tentang apa
yang tidak diperbolehkan, dalam membeli hutang yang dimiliki orang lain, yang
tidak ada di tempat ataupun orang yang sudah meninggal, adalah tidak
diketahuinya apa yang tidak diketahui oleh si penghutang, yang mungkin diklaim atas
orang yang meninggal tersebut. Jika orang yang sudah meninggal tersebut bertanggung-jawab
atas hutang yang lain, maka harga yang dibayar oleh si pembeli atas hutang
tersebut bisa menjadi tidak bernilai.
Malik berkata,
“Ada juga kesalahan lain
dalam hal itu. Ia membeli sesuatu yang tidak ada jaminan baginya, dan jika
demikian, maka kesepakatan tersebut tidak terselesaikan, maka apa yang telah ia
bayar menjadi tidak berguna. ini adalah transaksi yang mengandung
ketidakpastian dan ini tidak baik.”
Malik berkata,
“Satu
hal yang membedakan antara seseorang yang hanya menjual apa yang ia benar-benar
miliki dengan seseorang yang menerima pembayaran di muka untuk sesuatu yang
belum menjadi miliknya. Orang yang memberikan pembayaran-dimuka membawa emasnya
dengan maksud untuk membeli dengan emasnya itu. Penjual berkata,
‘Ini
10 dinar. Apa yang engkau ingin agar aku membelikannya untukmu dengan emas ini?’
Ini seakan-akan, ia menjual
(membarter) 10 dinar secara tunai dengan 15 dinar yang dibayarkan kemudian.
Oleh karena itu, ini tidak dibenarkan. ini adalah sesuatu yang menggiring
kepada riba dan penipuan.”
Bab 31.41. Partnership, Pengalihan Tanggung-Jawab kepada Seorang Wakil, dan Pembatalan Jual-Beli
87. Malik
berkata bahwa tidak ada larangan jika seseorang yang sedang menjual bahan-kain,
dan telah menyisihkan beberapa kain dengan cap yang mereka berikan, menetapkan
bahwa ia akan memilih kain yang memiliki cap itu. Jika ia tidak menetapkan
bahwa ia akan memilih barang-barang itu ketika ia menyisihkannya, menurutku ia
termasuk dari partnership dalam transaksi sejumlah kain-kain yang dibeli
darinya. Itu karena, bisa saja dua buah bahan-kain capnya sama namun harganya
jauh berbeda.
Malik berkata,
“Amal yang berlaku di antara
kami adalah tidak ada larangan untuk bepartnership, mengalihkan tanggung-jawab
kepada seorang wakil, dan pembatalan-transaksi yang berhubungan dengan makanan
dan barang-barang lain, baik kepemilikannya sudah diambil ataupun belum,
sepanjang transaksi dilakukan secara tunai, dan tidak ada keuntungan, kerugian,
ataupun penundaan atas harganya.[48]
Jika keuntungan, atau kerugian, atau penundaan
harga dari salah satu pihak masuk ke dalam transaksi-transaksi ini, maka yang
demikian menjadi transaksi-penjualan-biasa; yang mana wajib terkena hukum halal
seperti halnya kehalalan dalam transaksi jual-beli, dan terkena hukum haram seperti
halnya keharaman dalam transaksi jual-beli, dan yang demikian bukanlah sebuah
bentuk partnership, atau sebuah bentuk pengalihan tanggung-jawab kepada seorang
wakil, ataupun sebuah bentuk pembatalan-transaksi.”
Malik berbicara tentang seseorang (pihak I) yang membeli bahan-kain
ataupun budak,[49]
dan transaksi jual-beli pun telah selesai/ditutup[50],
kemudian seseorang yang lain meminta untuk menjadi partnernya[51],
dan ia setuju, dan partner baru itu membayar seluruh harga kepada penjual, dan
kemudian sesuatu terjadi pada barang-barang tersebut sehingga mengakibatkan hak
kepemilikan mereka dicabut. Malik berkata,
“Partner baru tersebut mengambil
harganya[52]
kembali darinya (pihak I), dan ia (pihak I) mengambil semua harganya[53]
kembali dari penjual, kecuali jika ada perjanjian antara ia (pihak I) dan
partner barunya tersebut selama transaksi jual-beli terjadi dan sebelum
transaksi jual-beli selesai/ditutup[54]
bahwa penjuallah yang bertanggung-jawab atasnya. Jika transaksi telah selesai[55]
dan penjual telah menghilang, prasyarat yang diajukan olehnya (pihak I) menjadi
batal, dan tanggung-jawab ada padanya (pihak I).”
Malik berbicara tentang seseorang yang meminta orang lain untuk membeli
barang-barang tertentu untuk dibagi di antara mereka, ia ingin orang lain membayar
untuknya dan ia akan menjual barang-barang tersebut untuk orang lain. Malik berkata,
“Itu
tidak baik. Ketika ia berkata,
‘Bayarlah
untuk ku, dan aku akan menjual barang ini untuk mu,’
maka dengan adanya
pernyataan ini, transaksi ini berubah menjadi sebuah peminjaman yang ia buat untuknya
dengan tujuan agar ia menjual barang itu untuknya dan jika barang-barang itu
rusak atau hilang, orang yang membayar harganya akan menuntut partnernya atas
apa yang telah ia modalkan untuknya. Yang demikan adalah dari bahagian
peminjaman yang mendatangkan keuntungan.”
Malik berkata,
“Jika
seseorang membeli barang-barang dan penjualannya telah selesai, dan kemudian
seseorang berkata kepadanya,
‘Bagilah
setengah dari barang-barang ini denganku dan aku akan menjual mereka semuanya
untukmu,’
Yang demikian itu halal dan
tidak ada larangan di dalamnya. Penjelasannya adalah bahwa transaksi tersebut
adalah transaksi penjualan yang baru dan ia menjual untuk si penjual setengah
dari barang-barang jika penjual menjual seluruh barang-barang tersebut.”
Bab 31.42. Jika Orang yang Berhutang Bangkrut
88. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Ibn Shihab, dari Abu Bakr ibn Abd ar-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
“Jika seseorang menjual barang dan kemudian pembeli jatuh bangkrut
sementara penjual belum menerima apa pun dari harganya, dan ia menemukan
sebagian barangnya ada pada pembeli, maka ia lebih berhak atas barang tersebut
daripada siapapun juga. Jika pembeli meninggal dunia, maka penjual dalam hal
ini adalah sama dengan para pemberi-hutang lainnya dengan pemberian-hormat
untuknya.”
89. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Yahya ibn Sa’id, dari Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm, dari Umar
ibn Abd al-Aziz, dari Abu Bakr ibn ‘Abd ar-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam,
dari Abu Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
“Jika seseorang jatuh bangkrut dan seorang laki-laki menemukan barang miliknya
ada pada orang yang bangkrut itu, maka ia lebih herhak atas barang itu daripada
siapapun juga.”
Malik berbicara tentang seseorang yang
menjual barang (secara hutang) milik orang-lain
(penjual-pertama), dan si pembeli jatuh bangkrut. Ia berkata,
“Penjual mengambil barang
miliknya yang tersisa, Jika pembeli telah menjual sebagian barangnya dan mendistribusikannya,
penjual-pertama lebih berhak daripada penjual-kedua (pemberi-hutang). Apapun
yang telah didistribusikan oleh si pembeli, tidak bisa menahan si penjual dari
mengambil apa yang ia temukan dari yang ia miliki. Yang demikian adalah hak si penjual
jika ia telah menerima sebagian dari harganya dari si pembeli dan ia ingin
mengembalikan harganya dengan mengambil barang miliknya yang ia temukan, dan
jika ia tidak menemukan apapun maka ia seperti para pemberi-hutang lainnya.”
Malik berbicara tentang seseorang yang membeli segulung kain wol ataupun
sebidang tanah (secara berhutang), dan kemudian melakukan beberapa pekerjaan di
atasnya, seperti membangun rumah di atas tanah tersebut atau menjahit kain wol
tersebut menjadi pakaian. Kemudian ia jatuh bangkrut setelah membelinya,
pemilik tanah berkata,
‘Aku
akan mengambil tanah dan bangunan apa pun yang ada di atasnya.’
Malik berkata,
“Bangunan tersebut bukanlah
milik si penjual tanah. Namun, bidang tanah dan bangunan yang telah diperbaiki
dan berdiri di atasnya, harus diberi penilaian harga. Kemudian, seseorang
menganalisa berapa harga perbaikan sebidang tanah tersebut, dan senilai berapakah
harga bangunan tersebut. Mereka menjadi pemilik-bersama. Pemilik tanah memiliki
bagian sebanyak bagiannya, dan orang yang memiliki bangunan atau orang memberi-hutang[56]
memiliki bagian senilai bangunannya.”
Malik berkata,
“Pejelasan untuk itu adalah
nilai kesemuanya itu (misalnya) 1.500 dirham. Nilai tanah 500 dirham dan nilai
bangunan 1.000 dirham. Dengan demikian, pemilik tanah memiliki 1/3 bagian,
sedangkan orang yang memiliki bangunan atau orang memberi-hutang memiliki 2/3 bagian.”
Malik berkata,
“Demikian pula halnya
dengan pemintalan dan hal-hal lain yang serupa ketika si pembeli memiliki
hutang yang tidak dapat ia bayar, Inilah yang biasa atau lazim dipraktikkan
dalam kasus-kasus semacam ini.”
Malik berkata,
“Sedangkan untuk barang-barang
yang sudah dijual dan yang pembeli tidak mampu meningkatkan hasil penjualannya
lagi, namun barang-barang itu terjual dengan baik dan harganya telah naik,
sehingga pemiliknya menginginkannya dan orang yang memberi-hutang pun
menginginkannya, maka orang yang memberi-hutang memilih antara memberikan
kepada pemilik barang harga senilai yang telah ia jual dan tidak memberikan
kepadanya kerugian apa pun, atau menyerahkan barang-barang kepada pemiliknya.”
“Jika
harga barang-barang itu telah turun, orang yang menjualnya punya pilihan. Jika
ia suka, ia dapat mengambil barang-barangnya dan kemudian dia tidak boleh
mengklaim apapun kepada orang yang berhutang kepadanya, dan itulah haknya. Jika
ia suka, ia dapat menjadi salah seorang pemberi-hutang dan mengambil bagiannya
dari haknya dan tidak mengambil barang-barangnya. Itu terserah padanya.”
Malik berkata mengenai seseorang yang membeli seorang budak wanita ataupun
hewan yang kemudian melahirkan ketika posisi kepemilikan berada ditangannya,
lantas pembeli tersebut jatuh bangkrut,
“Budak wanita atau hewan
tersebut beserta bayinya menjadi milik penjual kecuali orang yang
memberi-hutang menginginkannya. Dalam hal ini, mereka harus memberi haknya
secara sempurna dan mengambilnya.”
Bab 31.43. Apa Yang Diperbolehkan dalam Pinjaman
90. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Zayd ibn Aslam, dari Atha ibn Yasar bahwa Abu Rafi’, mawla Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam,
berkata,
“Rasulullah, salallahu ‘alayhi
wa salam, meminjam seekor unta muda dan kemudian unta-unta dari kumpulan zakat
didatangkan kepada beliau.”
Abu Rafi’
berkata,
“Ia
menyuruhku untuk membayar hutang unta mudanya kepada orang tersebut. Aku berkata,
‘Aku
hanya menemukan unta-unta bagus yang berusia 7 tahun di antara unta-unta itu.’
Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
‘Berikan unta itu
kepadanya. Orang yang terbaik adalah mereka yang melunasi hutangnya dengan cara
terbaik.’”
91. Malik
menyampaikan kepadaku dari Humayd ibn Qays al-Makki bahwa Mujahid berkata,
“Abdullah
ibn Umar meminjam beberapa dirham dari seseorang, kemudian ia membayar hutangnya
dengan dirham yang lebih baik. Orang tersebut berkata,
“Wahai
Abu Abd ar-Rahman, ini lebih baik dari dirham-dirham yang aku pinjamkan
kepadamu.’
Abdullah
ibn Umar berkata,
‘Aku tahu. Tapi aku senang
dengan itu.’”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan bagi Seseorang
yang meminjamkan emas, perak, makanan atau hewan untuk mengambil sesuatu yang lebih
baik dari apa yang telah ia pinjamkan jika itu bukan ketetapan atau syarat di
antara mereka dan juga bukan kebiasaan atau adat-istiadat, Jika itu karena
ketetapan atau syarat atau janji atau kebiasaan, maka itu tidak dibenarkan, dan
tidak ada kebaikan di dalamnya.”
Ia menjelaskan:
“Itu karena Rasulullah,
salallahu ‘alayhi wa salam, melunasi hutangnya dengan unta bagus yang berusia 7
tahun untuk membayar unta muda yang ia pinjam, dan Abdullah ibn Umar meminjam
beberapa dirham dan kemudian membayarnya dengan yang lebih baik. Jika itu
berasal dari kebaikan peminjam, dan itu bukan karena ketetapan, janji ataupun
kebiasaan, ia halal dan tidak ada larangan di dalamnya.”
Bab 31.44. Apa Yang Tidak Diperbolehkan dalam Pinjaman
92. Yahya menyampaikan kepadaku bahwa ia
telah mendengar Umar ibn al-Khattab berkata bahwa ia tidak membenarkan
seseorang yang meminjamkan orang lain makanan dengan ketetapan bahwa hutang itu
dikembalikan kepadanya di kota lain, Ia (Umar) berkata,
“Mana (ongkos)
transportasinya?”
93. Malik menyampaikan kepadaku bahwa ia telah
mendengar bahwa seseorang datang kepada Abdullah ibn Umar dan berkata,
“Abu’Abd
ar-Rahman, aku memberi pinjaman kepada seseorang dan aku tetapkan agar ia
memberikan kepadaku yang lebih baik dari yang aku pinjamkan kepadanya.”
Abdullah
ibn Umar berkata,
“Itu adalah riba.”
Abdullah berkata,
“Pinjaman
ada tiga macam. Pinjaman yang engkau berikan dengan mengharap ke-ridho-an Allah,
maka engkau akan memperoleh ke-ridho-an Allah, Pinjaman yang engkau berikan
dengan mengharap ke-ridho-an temanmu, maka engkau akan memperoleh ke-ridho-an
temanmu, dan pinjaman yang engkau berikan untuk mengambil tambahan dari apa yang
telah engkau berikan,[57]
maka itu adalah riba.”
Ia berkata,
“Apa yang
engkau perintahkan kepadaku untuk aku kerjakan wahai Abu Abd ar-Rahman?”
Ia berkata,
“Aku pikir, sebaiknya
engkau merobek perjanjian itu, Jika ia memberikan kepadamu kurang dari apa yang
engkau pinjamkan, ambillah dan engkau akan menerima pahala. Jika ia memberikan
kepadamu lebih baik dari apa yang engkau pinjamkan kepadanya karena niat baiknya
sendiri, maka itu adalah tanda terimakasihnya kepadamu dan engkau memperoleh imbalan
atas priode pengembalian peminjaman yang engkau berikan kepadanya.”
94. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Nafi’ bahwa ia mendengar Abdullah ibn Umar berkata,
“Jika seseorang meminjam
sesuatu, biarkan sebagaimana hutang itu adanya sampai pinjaman dilunasi.”
95. Malik menyampaikan kepadaku bahwa ia
mendengar bahwa Abdullah ibn Mas’ud berkata,
“Jika seseorang mengadakan
pinjaman, mereka tidak boleh mensyaratkan lebih baik dari itu, Sekalipun itu
segenggam rumput, karena itu adalah riba.”
Malik berkata,
“Amal yang berlakukan di
antara kami adalah tidak ada larangan dalam meminjam beberapa hewan dengan serangkaian
deskripsi dan itemisasi, dan yang harus dikembalikan adalah yang sama seperti mereka.
Yang demikian tidak berlaku dalam kasus budak wanita. Jelas bahwa tindakan
seperti itu akan menggiring kepada ‘menghalalkan yang tidak halal’, sehingga
tindakan seperti itu tidak baik. Penjelasan tentang apa yang tidak dibenarkan dalam
hal ini adalah, seseorang yang meminjam budak wanita, dan setelah melakukan
hubungan seksual dengan budak itu sebagaimana ia rasa itu pantas baginya, kemudian
ia mengembalikan budak wanita itu kepada pemiliknya. Maka itu tidak baik dan
tidak halal. Para ulama masih melarangnya dan tidak memberi kesempatan bagi
siapapun melakukannya.”
Bab 31.45. Apa Yang Dilarang dalam Tawar-Menawar dan Transaksi Serupanya.
96. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi
wa salam, berkata,
“Tidak boleh satu-orang pun diantara kalian membuat penjualan di atas
penjualan saudaranya.”
97. Malik menyampaikan kepadaku dari Abu’z-Zinad,
dari al-A’raj, dari Abu Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
- Jangan pergi untuk menemui kafilah dan melakukan jual-beli,
- Jangan memberi tawaran untuk saling mengalahkan satu sama lainnya,
- Jangan memenangkan tender untuk meninggikan harga,
- Dan orang kota tidak boleh membeli atas nama orang dari desa,
- Dan jangan mengikat puting susu unta atau biri-biri sehingga mereka kelihatannya memiliki susu yang banyak, karena orang yang membelinya memiliki dua pilihan setelah ia memerahnya:
- Jika ia suka, ia dapat tetap mengambilnya, dan
- Jika ia suka, ia dapat mengembalikan mereka dengan menyertakan satu sa’ kurma.”
Malik berkata,
“Penjelasan
untuk pernyataan Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, menurut kami – dan Allah
Maha Mengetahui –
‘Jangan memberi tawaran untuk saling
mengalahkan satu sama lainnya.’
adalah, dilarang bagi seseorang
untuk memberi tawaran harga di atas harga yang telah diberikan saudaranya
ketika penjual telah cendrung kepada penawar dan membuat persyaratan berat emas
dan telah menyatakan bahwa dirinya tidak bertanggung-jawab atas kesalahan dan
yang semacam ini, yang diketahui bahwa penjual sudah akan melakukan transaksi
dengan penawar. Ini yang ia (Rasul) larang, dan Allah Maha Mengetahui.”
Malik berkata,
“Akan tetapi, tidak ada
larangan bagi beberapa orang untuk saling bersaing memberi tawaran untuk barang-barang
yang ditawarkan untuk dijual.’
Ia berkata,
“Seandainya orang-orang meninggalkan tawar-menawar ketika orang pertama mulai menawar, harga
yang belum pasti mungkin diambil, dan ke-makruh-an akan masuk ke dalam penjualan
barang-barang tersebut. Ini masih merupakan Amal-an di antara kami.”
98. Malik berkata, dari Nafi’, dari
Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang najsh.
Malik berkata,
“Najsh adalah
menawarkan barang kepada seseorang dengan harga yang lebih tinggi dari nilai
barang sebenarnya, sedangkan Anda sendiri tidak berminat membelinya, sehingga
orang lain pun terdorong untuk mengikuti Anda dalam tawar-menawar itu”
Bab 31.46. Transaksi Bisnis Secara Umum
99. Yahya menyampaikan kepadaku dari
Malik, dari Abdullah ibn Dinar, dari Abdullah ibn Umar bahwa seseorang
menceritakan kepada Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, bahwa ia selalu
ditipu dalam transaksi bisnis. Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
“Jika engkau masuk kedalam transaksi,
katakan:
‘Jangan ada penipuan.’ (La Khilabat)”
Maka
kapanpun orang itu masuk ke dalam transaksi, ia akan berkata,
‘Jangan ada penipuan.’ (La
Khilabat)
100. Malik menyampaikan kepadaku bahwa Yahya ibn Sa’id
mendengar Sa’id ibn al-Musayyab berkata,
“Jika kamu datang ke suatu negri,
dimana penduduknya memberikan takaran yang utuh dan timbangan yang utuh, maka menetaplah
di sana. Jika engkau datang ke suatu negri, dimana penduduknya mengurangi takaran
dan timbangan, maka janganlah engkau menetap di sana terlalu lama.”
Malik
menyampaikan kepadaku dari Yahya ibn Sa’id bahwa ia mendengar Muhammad ibn al-Munkadir
berkata,
“Allah mencintai hambanya
yang bermurah-hati ketika menjual dan bermurah-hati ketika membeli, bermurah-hati
pada saat membayar kewajibannya, dan murah hati ketika meminta haknya.”
Malik
berkata tentang seseorang yang membeli unta, atau kambing, atau barang-barang
kering, atau budak, atau barang apapun tanpa diukur secara tepat:
“Tidak ada pembelian tanpa pengukuran
yang tepat dalam sesuatu yang bisa dihitung.”
Malik
berbicara tentang seseorang yang memberikan barang-barang kepada orang lain dijualkan
untuknya dan menetapkan harganya dengan berkata,
‘Jika
engkau menjual barang-barang ini seharga seperti yang aku perintahkan kepadamu,
engkau akan memperoleh 1 dinar (atau memperoleh sesuatu yang telah dia tentukan
dan diridhoi oleh kedua belah pihak), jika engkau tidak menjualnya, engkau
tidak akan dapat apa-apa.’
Ia berkata,
“Tidak ada larangan dalam
hal itu jika ia menyebutkan harga penjualan barang-barang itu dan menyebutkan
komisinya dengan jelas. Jika ia menjual barang-barang itu, maka ia memperoleh
komisinya, dan jika ia tidak menjualnya, maka ia tidak memperoleh apa-apa.”
Malik
berkata,
“Ini seperti
mengatakan kepada seseorang:
‘Jika
engkau menangkap budakku yang melarikan diri atau untaku yang kabur, maka engkau
akan memperoleh ini-dan-ini.’
Yang demikian ini termasuk kategori
hadiah, dan bukan kategori pemberian upah. Namun jika yang demikian itu dimasukkan
ke dalam kategori pemberian upah, maka itu tidak baik.”
Malik berkata,
“Adapun bagi seseorang yang
diberi barang-barang dan dikatakan kepadanya bahwa jika ia menjual brang-barang
tersebut, maka ia akan menerima persentasi tertentu untuk setiap dinarnya, yang
demikian itu tidak baik, karena jika tiba-tiba ada sebuah dinar berkurang atau
menyusut dari harga barang tersebut, maka ia memengurangi hak yang telah
disebutkan untuknya. Ini adalah transaksi yang mengandung ketidakpastian. Ia tidak
tahu berapa banyak ia akan diberi.”
101. Malik
menyampaikan kepadaku bahwa ia bertanya kepada Ibn Shihab tentang seseorang
yang menyewa seekor hewan dan kemudian menyewakannya kembali lebih mahal daripada
ketika ia menyewanya. Ia berkata,
“Tidak ada larangan dalam
hal itu.”
[1] Deposit
[2] Artinya, sudah ada
pembayaran meskipun cuma sebahagian.
[3]
Pihak ke dua yang berdagang dengannya telah melakukan pembelian 30 dinar untuk 60 dinar dengan penundaan waktu, artinya terjadi 2 jenis
riba, yaitu, riba penambahan nilai (al-fadl)
dan riba penangguhan waktu (an-nasia)
[4] Bintang tujuh atau bintang
kartika
[5] Kurma basah atau anggur
yang masih berada di atas pohon
[6] Terserah si pembeli untuk
mengurangi harga atau membatalkan pembelian.
[7] Tidak disetujui
[8]
Mengukur, berarti berhubungan dengan ‘panjang’, ‘luas’, atau ‘volume’.
Sedangkan menimbang, berarti berhubungan dengan ‘berat’.
[9] Sudah dalam bentuk yang
sama, yaitu Dinar.
[10] Ajwa dan Kabis harus
sama-sama punya kualitas
[11]
misalnya, (pembeli menyesal dan berkata kepada
penjual, ‘Batalkan kontrak itu. Dan sebagai gantinya, akan ku tangguhkan
pembayaran uang yang telah kusetor kepadamu,’)
[12] tumpukan yang tidak di
timbang
[13]
Secara borongan, dan si penjual serta si pembeli benar-benar tidak tahu
ukurannya secara presisi. Ukuran yang
tidak pasti maksudnya tidak presisi.
[14] artinya, Haram.
[15]
di perbolehkan, dan halal. ‘tidak tepat’
Artinya tidak presisi, dan itu bukan
berarti tidak di timbang sama sekali atau bisa dikatakan si pembeli dan si
penjual sudah melihat barang-barang tersebut dan mereka telah menaksir barang
tersebut, ‘tidak presisi’ hanya
menunjukkan ketidak-tepatan anggka pengukuran. Karena tidak mungkin terjadi
pembelian 1 ton tepung untuk 1 dirham, itu berarti penipuan.
[16] presisi
[17] Penipuan.
[18] Kerena tidak ada mata
uang ½ dirham (nisfu dirham).
[19] Matang.
[20]
Sampai si pembeli menerima makanan
dari si penjual. Transaksi pertama menjadi sempurna ketika makanan sudah
berada ditangan si pembeli.
[21] Barang atau makanan yang
disebut sudah diterima oleh si A
[22] Dari paragraph
sebelumnya, maka orang yang dimaksud adalah si B.
[23] Melarikan diri karena
hanya ingin uangnya saja, tanpa membantu dalam pengiriman barang.
[24] Pembelian makanan yang
terjadi antara si B dan si A.
[25] Dari paragraph
sebelumnya, maka orang yang dimaksud adalah si C.
[26]
Seandainya yang demikian bukanlah transaksi ‘jua-beli’, melainkan ‘pinjam-meminjam’
antara si A, si B, dan si C.
[27] Dalam keping dirham yang
tidak utuh.
[28] Atau secara borongan.
[29] Mengeluarkannya sebagian.
[30]
Istilah arab-nya ‘hukra’, Biasanya
diterapkan kepada komoditas pokok seperti Makanan, BBM, dan lain-lain
[31] Menjualnya lebih murah dari pedagang lain.
[32] Negri tidak sama dengan
Negara. Yang dimaksudkan adalah kota Madina.
[33] Dan ini adalah riba
al-fadl yang terjadi di perdagangan
[34] Seperti perdagangan di
bursa-saham, forex, uang kertas, dan lainnya. Itu sema termasuk Riba an-Nasiah
[35] Dengan dinar atau dirham
sebagai alat tukar.
[36] Secara barter, dan
barang-barang tersebut berlaku sebagai alat tukar.
[37] ritl adalah satuan berat 1 ritl
≈ 1 pon ≈ 453,6 gr ≈ 0,454 Kg
[38] Mirip seperti yang
terjadi di perjanjian murabaha versi Bank
Islam.
[39] sejenis tanaman yang
diambil bijinya untuk dibuat minyak, bukan tanaman karet.
[40] yaitu dalam penjualan
ataupun pengembalian, dimana si pembeli membeli barang tersebut untuk dijual
lagi.
[41] atau ia membelinya di
malam hari dan tidak tahu apa yang ada di dalamnya.
[42] orang menjual
barang-barang tersebut secara murabaha di keterangan di atas.
[43] Maksudnya, penambahan
atau pengurangan dalam transaksi tersebut.
[44] Mem-bunga-kan beban
pembayaran hutang tersebut.
[45] Dari waktu yang telah
ditentukan.
[46] Sama seperti Riba
Jahiliyya.
[47] Yang sekarang menjadi
pihak penjual.
[48] Contohnya seperti;
harganya berubah akibat satu kurs berubah – biasanya terjadi pada uang kertas
dengan anggapan bahwa nilai uang kertas hari ini tidak sama dengan hari esok
(toeri ekonomi), padahal harga sudah di tetapkan di perjanjian.
[49] Dari seorang Penjual
[50] Transaksi pertama.
[51] Transaksi kedua.
[52] Atau uangnya.
[53] Atau uangnya.
[54] Transaksi pertama
[55] Jika yang terjadi adalah
partner yang baru mengadakan transaksi kedua setelah transaksi pertama ditutup.
[56] Bisa jadi biaya bangunan;
jasa pembuatan bangunan, atau material bangunan itu sendiri adalah hasil
hutangan juga atau masih belum lunas.
[57] Memberi pinjaman 1 dinar
dengan harapan memperoleh pengembalian pinjaman sebesar 1 dinar plus lain-lain.
No comments:
Post a Comment