Monday, December 2, 2013

Panduan berbisnis bagi umat muslim se bumi - dari Imam Malik Ibn Anas (Imamnya para Imam)

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim

red. catatan kaki ada dibagian bawah page ini.
Insya Awlloh semua isinya benar...
Maka, tidak ada alasan lagi bagi Muslim untuk tidak tahu bahwa perdagangan sehari-hari itu di atur oleh Awlloh melalui syariat Nya. Kecuali hati nya sudah dikunci rapat oleh Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.

Kitab 31. Transaksi Bisnis

Bab 31.1.     Setoran yang Tidak Dapat Kembali (transaksi ‘urban)
Bab 31.2.     Kekayaan Para Budak
Bab 31.3.     Pertanggung-jawaban yang Termasuk dalam Kesepakatan
Bab 31.4.     Kekurangan (Cacat) pada Budak
Bab 31.5.     Pembelian Budak Wanita dengan Persyaratan Terlampir
Bab 31.6.     Larangan untuk Melakukan Hubungan Seksual dengan Budak Wanita Berstatus Menikah
Bab 31.7.     Pemilikan atas Buah yang Pohonnya Dijual

Bab 31.8.     Larangan Menjual Buah Sampai ia Mulai Matang
Bab 31.9.     Penjualan Ariya
Bab 31.10.   Efek dari Gagal-Panen di Penjualan Hasil-Tani
Bab 31.11.   Menahan Sebagian dari Buah-buahan
Bab 31.12.   yang Makruh dalam Penjualan Kurma
Bab 31.13.   Muzabana dan Muhaqala
Bab 31.14.   Catatan Umum tentang Menjual Suatu Hasil di Sumbernya
Bab 31.15.   Penjualan Buah-buahan
Bab 31.16.   Menjual Emas untuk Perak (Yang Sudah Dicetak dengan Yang Belum Dicetak)
Bab 31.17.   Menukar Uang
Bab 31.18.   Menjual Emas untuk Emas dan Perak untuk Perak, dengan Menggunakan Timbangan
Bab 31.19.   Membeli dengan Cara Penundaan dan Menjual Kembali Lebih Murah dengan Cara Langsung.
Bab 31.20.   Apa yang Tidak dibenarkan dalam Menjual Makanan dengan Penangguhan Pembayaran ataupun Pengiriman
Bab 31.21.   Pembayaran di Muka untuk Makanan
Bab 31.22.   Menukar Makanan dengan Makanan Tanpa Penambahan Diantaranya
Bab 31.23.   Penjualan Makanan Secara Umum
Bab 31.24.   Menimbun dan Menaikkan Harga dengan Cara Penimbunan Barang
Bab 31.25.   Yang diperbolehkan dalam Barter Hewan dengan Hewan Lainnya dan Pembayaran di Muka untuk Jual-Beli Hewan
Bab 31.26.   Yang Tidak Diperbolehkan dalam Penjualan Hewan
Bab 31.27.   Menukarkan Hewan dengan Daging
Bab 31.28.   Menjual Daging dengan Daging
Bab 31.29.   Penjualan Anjing
Bab 31.30.   Pembayaran-dimuka dan Penjualan Beberapa Barang untuk Barang Lainnya
Bab 31.31.   Pembayaran-dimuka untuk (Pembelian) Barang
Bab 31.32.   Menjual Barang yang Dapat Ditimbang Seperti Tembaga, Besi dan yang Sejenis
Bab 31.33.   Larangan untuk Melakukan Dua Penjualan Dalam Satu Penjualan
Bab 31.34.   Transaksi yang di Dalamnya Terdapat Ketidak-pastian
Bab 31.35.   Al-Mulamasa dan al-Munabaza
Bab 31.36.   Transaksi Murabaha (Kerja Sama antara Pemilik-modal dan Peminjam dalam Berbagi Keuntungan dalam Penjualan-Kembali)
Bab 31.37.   Penjualan Berdasarkan Katalog
Bab 31.38.   Hak untuk Mengundurkan Diri (Khiyar)
Bab 31.39.   Riba dalam Hutang
Bab 31.40.   Hutang dan Pengalihan Hutang Secara Umum
Bab 31.41.   Partnership, Pengalihan Tanggung-Jawab kepada Seorang Wakil, dan Pembatalan Jual-Beli
Bab 31.42.   Jika Orang yang Berhutang Bangkrut
Bab 31.43.   Apa Yang Diperbolehkan dalam Pinjaman
Bab 31.44.   Apa Yang Tidak Diperbolehkan dalam Pinjaman
Bab 31.45.   Apa Yang Dilarang dalam Tawar-Menawar dan Transaksi Serupanya.
Bab 31.46.   Transaksi Bisnis Secara Umum

Bab 31.1. Setoran[1] yang Tidak Dapat Kembali (transaksi ‘urban)
1. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari sebuah sumber yang dapat dipercaya, dari Amr ibn Shu’ayb, dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang transaksi di mana setoran atau depoit yang dibayarkan di dalamnya tak dapat kembali.
Malik berkata,
“Menurut pendapat kami, tapi Allah Maha Mengetahui, contoh dari masalah di atas adalah seorang laki-laki yang membeli seorang budak laki-laki, atau budak perempuan, atau menyewa seekor hewan, dan kemudian berkata kepada orang yang menjual budak ataupun menyewakan hewan itu:
‘Aku akan memberikan kepadamu 1 dinar atau 1 dirham atau apa saja, dengan syarat jika aku benar-benar mengambil barang atau menggunakan apa yang aku sewa darimu, maka apa yang telah aku berikan kepadamu merupakan pembayaran barang ataupun sewa hewan itu. Jika aku tidak membeli barang ataupun menyewa hewan tersebut, maka apa yang telah aku berikan kepadamu adalah milikmu tanpa tanggung-jawab apapun dari pihakmu.”
Malik berkata,
“Menurut amal yang kami lakukan, tidak ada salahnya membarter (menukar) seorang budak yang berbahasa Arab dengan budak Abyssinia atau tipe lain yang tidak sebanding dengannya, dalam konteks kelancaran berbicaranya, berdagang, ketajaman pikiran, dan pengetahuan. Tidak ada salahnya dalam melakukan barter satu orang budak semacam ini dengan dua atau lebih budak lain jika ia jelas berbeda. Jika tidak ada perbedaan yang patut dihargai antara budak-budak tersebut, dua budak tidak dapat dibarter dengan satu budak dengan penundaan waktu meskipun jenis rasnya berbeda.’
Malik berkata,
“Tidak ada salahnya menjual apa yang telah engkau beli dalam transaksi seperti ini, sebelum engkau bayar penuh[2] sepanjang engkau menerima bayarannya dari seseorang selain dari pemilik asalnya.”
Malik berkata,
Tambahan harga tidak boleh diberlakukan bagi janin yang masih  ada dalam kandungan ibunya ketika ibunya dijual karena itu adalah gharar (transaksi yang tidak pasti). Tidak diketahui apakah anak akan lahir tersebut laki-laki atau perempuan, tampan atau jelek, normal atau cacat, hidup atau mati. Kesemuanya ini akan mempengaruhi harga.”
Malik berkata bahwa dalam sebuah transaksi di mana seorang budak laki-laki atau budak perempuan dijual seharga 100 dinar dengan masa cicilan yang telah ditentukan, jika si penjual menyesal terhadap penjualannya, tidak ada salahnya baginya untuk meminta si pembeli agar membatalkan pembeliannya untuk 10 dinar, dengan itu ia (si penjual) menghapus hak 100 dinarnya.
Malik berkata,
“Akan tetapi, jika si pembeli menyesal dan meminta si penjual untuk membatalkan penjualan seorang budak atau seorang budak wanita dengan konsekuensi ia akan membayar ekstra 10 dinar secara langsung ataupun menambahkan masa cicilannya, itu tidak boleh dilakukan. Ini tidak dibenarkan karena ini seolah-olah seperti, misalnya; si penjual membeli 100 dinar yang mana masih belum genap 1 tahun masa cicilannya sebelum berakhirnya tahun perjanjian untuk seorang budak wanita, dan 10 dinar harus segera dibayarkan, atau masa cicilannya menjadi lebih lama dari tahun itu. Ini termasuk dalam kategori penjualan emas ketika perpanjangan waktu masuk ke dalamnya.”
Malik berkata bahwa tidak baik bagi seorang laki-laki untuk menjual seorang budak wanita kepada laki-laki lain untuk 100 dinar dengan cicilan, dan kemudian membelinya kembali dengan harga lebih tinggi dari harga semula atau dengan masa cicilan yang lebih panjang dari masa ia menjualnya. Untuk memahami mengapa tidak dibenarkan, contoh yang dapat dilihat adalah pada seorang laki-laki yang menjual seorang budak wanita dengan cara cicilan dan membelinya kembali dengan masa cicilan yang lebih panjang. Ia mungkin telah menjualnya seharga 30 dinar dengan masa pembayaran satu bulan dan kemudian ia membelinya kembali seharga 60 dinar dengan masa pembayaran selama satu ataupun setengah tahun. Akibatnya adalah, barang (yang dijualnya) pasti akan dikembalikan kepadanya sebagaimana asalnya, dan pihak yang lain yang telah memberinya 30 dinar dalam masa cicilan satu bulan, memperoleh 60 dinar darinya dengan masa cicilan satu atau setengah tahun. Itu tidak boleh dilakukan.[3]

Bab 31.2.  Kekayaan Para Budak

2. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dan Abdullah ibn Umar bahwa Umar ibn al-Khattab berkata,
“Jika seorang budak yang memiliki harta dijual, harta itu menjadi milik si penjual kecuali si pembeli mensyaratkannya.”
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di antara kami adalah jika si pembeli mensyaratkan harta si budak, baik itu tunai, uang yang dimilikinya, atau barang-barang yang nilainya diketahui ataupun tidak diketahui, maka itu menjadi milik si pembeli, meskipun si budak memiliki harta yang lebih banyak dari harga pembelian dirinya, baik si budak dibeli secara tunai, sebagai pembayaran hutang, ataupun tukar-menukar barang. Ini dimungkinkan karena seorang tuan tidak diminta untuk membayar zakat atas harta budaknya. Jika seorang budak memiliki seorang budak wanita, halal baginya (si budak) untuk melakukan hubungan seksual dengannya (budak wanita) berdasarkan hak kepemilikannya. Jika seorang budak dibebaskan atau berada dalam perjanjian (kitaba) untuk membeli kebebasannya, maka hartanya menjadi miliknya (si budak). Jika ia bangkrut, kreditornya mengambil alih hartanya dan tuannya tidak bertanggung-jawab atas hutangnya.

Bab 31.3. Pertanggung-jawaban yang Termasuk dalam Kesepakatan

3. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abdullah ibn Abi Bakr ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm bahwa Aban ibn Usman dan Hisyam ibn Isma’il dahulu menyebutkan dalam khutbah mereka pertanggung-jawaban yang termasuk dalam kesepakatan penjualan para budak, meliputi masa tiga hari dan ketentuan yang sama meliputi satu tahun.
Malik menjelaskan,
“Kerusakan/cacat yang ditemukan pada seorang budak laki-laki ataupun budak wanita merupakan tanggung-jawab penjual sejak hari mereka dibeli sampai tiga hari. Kesepakatan satu tahun adalah untuk masalah; gila, lepra atau kusta, kehilangan anggota badan karena wabah. Setelah satu tahun, penjual bebas dari segala pertanggungjawaban.”
Malik berkata,
“Seorang pewaris atau seorang lainnya yang menjual seorang budak laki-laki ataupun budak perempuan tanpa garansi semacam ini tidak bertanggung-jawab atas kesalahan atau kekurangan apa pun pada si budak, dan tidak ada kesepakatan pertangung-jawaban apapun yang diberikan kepadanya kecuali ia mengetahui akan kesalahan atau kekurangan tersebut dan menutupinya. Jika ia mengetahui kesalahan atau kekurangan itu, kurangnya (perjanjian) garansi tidak melindunginya – pembelian dikembalikan atau dibatalkan. Menurut pandangan kami, pertanggung-jawaban yang termasuk dalam kesepakatan hanya diterapkan dalam pembelian budak.”

Bab 31.4.  Kekurangan (Cacat) pada Budak

4. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Yahya ibn Sa’id, dari Salim ibn Abdullah bahwa Abdullah ibn Umar menjual salah satu budaknya seharga 800 dirham dengan ketetapan ia tidak bertangung jawab atas cacat. Orang yang membeli budak tersebut menuntut Abdullah ibn Umar, mengenai penyakit yang dimiliki oleh si budak, yang ia tidak diberitahu (sebelumnya). Mereka berbantah dan pergi kepada Usman ibn Affan untuk meminta keputusan. Orang itu berkata,
“Ia menjual kepadaku seorang budak yang memiliki penyakit, yang tidak diberitahukannya kepadaku.”
Abdullah berkata,
“Aku menjual kepadanya dengan ketetapan bahwa aku tidak bertanggung-jawab.”
Usman ibn Affan memutuskan agar Abdullah ibn Umar bersumpah bahwa ia telah menjual budak tersebut tanpa mengetahui bahwa ia memiliki penyakit apa pun. Abdullah ibn Umar menolak untuk bersumpah, maka si budak dikembalikan kepadanya dan kembali sehat di tangannya, Abdullah menjualnya setelah itu seharga 1.500 dirham.
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di antara kami mengenai seorang laki-laki yang membeli seorang budak wanita dan ia (kemudian) hamil, atau seseorang yang membeli budak dan kemudian membebaskannya, atau jika ada hal semacam ini yang sudah terjadi (pada sesuatu yang dibeli), maka ia (si pembeli) tidak dapat mengembalikan pembeliannya, dan satu bukti nyata harus diberikan bahwa cacat atau kekurangan telah ada ketika itu (masih) berada di tangan penjual, atau cacat itu diakui oleh penjual atau oleh seseorang lainnya, adalah budak laki-laki ataupun budak wanita itu ditaksir dengan harga yang telah dikurangi cacat yang ditemukan pada hari pembelian, dan kepada pembeli dibayarkan kembali selisih antara harga budak ketika ia dijual dan harganya dengan cacat tersebut, dari harga yang sudah ia bayarkan.”
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di antara kami, mengenai seorang laki-laki yang membeli seorang budak laki-laki dan kemudian menemukan bahwa budak tersebut memiliki cacat sehingga dapat dikembalikan dan di saat yang sama cacat lain telah terjadi pada budak tersebut ketika ia berada dalam kepemilikan laki-laki di atas, adalah jika cacat yang muncul pada budak itu ketika ia dalam kepemilikannya membahayakan si budak, seperti kehilangan anggota badan, kehilangan mata, atau sesuatu yang seperti ini, maka ia memiliki pilihan. Jika ia mau, ia dapat menerima harga budak setelah dikurangi cacat (pada saat ia membeli) berdasarkan harga pada hari ia membelinya, atau jika ia mau, ia dapat membayar ganti rugi untuk cacat yang diderita budak ketika ia dalam kepemilikannya, dan mengembalikannya (kepada si penjual). Pilihan terserah padanya.Jika si budak meninggal dalam kepemilikannya, budak itu dinilai dengan cacat yang telah ia miliki pada hari pembeliannya. Dilihat berapa harganya sebenarnya. Jika harga budak tanpa cacat adalah 100 dinar, dan harga dengan cacat pada hari pembelian adalah 80 dinar, maka harganya dikurangi berdasarkan selisih yang ada. Harga-harga ini ditaksir menurut harga pasar pada hari si budak dibeli.”
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di antara kami, jika seorang laki-laki mengembalikan seorang budak wanita yang ditemukan memiliki cacat, sementara si laki-laki telah melakukan hubungan seksual dengannya, maka ia harus membayar apa yang telah ia kurangkan dari si budak wanita jika ia masih perawan. Jika ia bukan perawan, tidak ada yang harus ia pertanggung-jawabkan karena hubungan seksual yang ia lakukan dengannya berdasarkan hak yang ia miliki atasnya.”
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di antara kami, mengenai seseorang, baik ia pewaris atau bukan, yang menjual seorang budak laki-laki, budak wanita atau hewan, tanpa kesepakatan pertanggung-jawaban, adalah bahwa ia tidak bertanggung-jawab atas apa yang ia jual kecuali ia mengetahui cacat tersebut dan menutupinya. Jika ia tahu bahwa ada cacat dan ia menutupinya, pernyataannya bahwa ia bebas dari tanggung-jawab tidak membebaskannya, dan apa yang ia jual (harus) dikembalikan kepada-nya.”
Malik berbicara mengenai sebuah situasi di mana seorang budak-wanita ditukar dengan dua orang budak wanita lain dan kemudian salah satu budak wanita ditemukan memiliki cacat sehingga ia dapat dikembalikan. Ia (Malik) berkata,
·   Budak wanita yang bernilai dua budak wanita lain itu dinilai harganya.
·  Kemudian, dua budak wanita lain itu dinilai, dengan mengenyam-pingkan cacat salah satu diantara mereka.
·  Kemudian harga budak wanita yang dijual senilai dengan dua budak wanita itu dibagi di antara mereka menurut harga mereka sehingga proporsi harga masing-masing dari mereka sampai pada harga tertingginya, dan kepada yang satu (yang tidak memiliki cacat) menurut harganya.
· Kemudian, seseorang melihat kepada budak yang memiliki cacat, dan si pembeli dibayar kembali menurut bagian jumlahnya yang diakibatkan oleh cacatnya, sedikit ataupun banyak.
Harga dua orang budak wanita itu didasarkan pada harga pasar pada hari mereka dibeli.”
Malik berbicara tentang seorang laki-laki yang membeli seorang budak laki-laki dan menyewakannya dalam waktu panjang ataupun dalam waktu pendek, dan kemudian ditemukan bahwa si budak memiliki cacat yang membutuhkan pengembaliannya. Ia berkata bahwa jika orang tersebut mengembalikan si budak karena cacat, ia tetap memiliki uang sewa dan penghasilannya.
“Inilah cara yang dilakukan di kota kami. Itu karena jika orang yang membeli budak yang kemudian membangun rumah untuknya, dan harga rumah berlipat-lipat dari harga si budak, dan ia kemudian menemukan bahwa si budak memiliki cacat yang mengakibatkannya dapat dikembali-kan, ia tidak harus membayar kerja yang telah dilakukan oleh si budak untuknya. Sama halnya, ia akan tetap memiliki pendapatan apa pun dari menyewakannya karena ia memiliki hak atasnya. Inilah cara yang diamalkan di antara kami.”
Malik berkata,
“Amal-an di antara kami ketika seseorang membeli beberapa budak dalam satu paket dan kemudian menemukan bahwa salah seorang di antara mereka telah dicuri, ataupun memiliki cacat, adalah ia melihat kepada yang ia temukan dicuri, atau yang ia temukan memiliki cacat.Jika ia adalah yang terbaik dari budak-budak itu, ataupun yang paling mahal, ataupun karenanya dia membeli mereka, atau ia adalah yang paling unggul menurut orang-orang, maka keseluruhan pembelian dikembalikan. Jika yang ternyata dicuri ataupun memiliki cacat bukanlah yang terbaik, dan ia tidak membeli paket budak-budak itu karena ada dia di dalamnya, dan tidak ada kelebihan khusus yang dilihat orang-orang padanya, budak yang ditemukan memiliki cacat ataupun dicuri dikembalikan sebagaimana adanya, dan (kepada) pembeli dibayarkan kembali bagian si budak dari total harga.”

Bab 31.5. Pembelian Budak Wanita dengan Persyaratan Terlampir

5. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Ibn Shihab bahwa Ubaydullah ibn Abdullah ibn Utba ibn Mas’ud memberitahunya bahwa Abdullah ibn Mas’ud membeli seorang budak wanita dari isterinya, Zaynab ath-Thaqafiyya, Si isteri membuat persyaratan baginya bahwa jika ia membeli si budak, si isteri selalu dapat membelinya kembali seharga yang ia bayarkan. Abdullah ibn Mas’ud bertanya kepada Umar ibn al-Khattab mengenai hal itu dan Umar ibn al-Khattab berkata,
“Jangan mendekatinya ketika seseorang memiliki syarat tertentu mengenainya atas kamu.”
6. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’ bahwa Abdullah ibn Umar akan berkata,
“Seorang laki-laki hendaknya tidak melakukan hubungan seksual dengan seorang budak wanita kecuali seseorang yang, jika ia mau, dapat ia jual, dan jika ia mau, ia dapat memberikannya (kepada orang lain), dan jika ia mau, ia dapat tetap memilikinya, dan jika ia mau, ia dapat melakukan apa yang ia mau terhadapnya.”
Malik berkata bahwa seseorang yang membeli seorang budak wanita dengan syarat bahwa ia tidak menjualnya, memberikannya kepada orang lain, atau melakukan sesuatu yang biasanya, tidak boleh melakukan hubungan seksual dengannya, Itu karena ia tidak dibolehkan untuk menjualnya atau memberikannya (kepada orang lain); maka jika ia tidak berhak untuk itu terhadap si budak, ia tidak memiliki kepemilikan penuh atasnya sebab pengecualian telah dibuat mengenainya oleh tangan seseorang lainnya. Jika syarat semacam itu masuk, maka itu adalah situasi yang salah, maka penjualan semacam ini dibenci orang-orang.

Bab 31.6. Larangan untuk Melakukan Hubungan Seksual dengan Budak Wanita Berstatus Menikah

7. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Ibn Shihab bahwa Abdullah ibn Amir memberi Usman ibn Affan seorang budak wanita yang telah bersuami, yang ia beli di Basra. Usman berkata,
“Aku tidak akan mendekatinya sampai suaminya berpisah (bercerai) darinya.”
Ibn Amir memberi ganti rugi kepada si suami dan ia-pun bercerai dari budak wanita itu.
8. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Ibn Shihab, dari Abu Salama ibn Abd ar-Rahman ibn Awf bahwa Abd ar-Rahman ibn Awf membeli seorang budak wanita dan menemukan bahwa ia memiliki suami, maka ia mengembalikan budak wanita itu.

Bab 31.7.  Pemilikan atas Buah yang Pohonnya Dijual

9. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Jika pohon-pohon palem dijual setelah penyerbukan, buahnya menjadi milik si penjual kecuali pembeli menetapkan bahwa itu termasuk di dalamnya (penjualan).”

Bab 31.8.  Larangan Menjual Buah Sampai ia Mulai Matang

10. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang untuk menjual buah sampai ia mulai matang. Ia melarang transaksi ini baik kepada pembeli ataupun kepada penjual.
11. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Humayd at-Tawil, dari Anas ibn Malik bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang untuk menjual buah sampai ia menjadi matang, Ia ditanya:
“Rasulullah, apa maksud anda ya rasul, dengan ‘menjadi matang’?”
Rasul menjawab:
Ketika ia menjadi berwarna merah.
Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, menambahkan,
Allah mungkin menghalangi matangnya, lantas, atas dasar apa sebahagian kalian mengambil harta saudaranya?”
12. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abu’r-Rijal Muhammad ibn Abd ar-Rahman ibn Haritsa, dari ibunya, Amra bint Abd ar-Rahman, bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang menjual buah sampai jelas ia (buah tersebut) bersih dari penyakit.
      Malik berkata,
“Menjual buah sebelum ia matang adalah sebuah transaksi yang tidak pasti (gharar) .”
13. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abu’z-Zinad, dari Kharija ibn Zayd ibn Tsabit bahwa Zayd ibn Tsabit tidak menjual buah sampai pleaides[4] kelihatan (di awal musim panas).
Malik berkata,
“Yang kami lakukan di antara kami dalam hal menjual melon, ketimun, semangka, dan wortel adalah halal untuk dijual ketika jelas bahwa mereka telah mulai matang, Kemudian si pembeli memiliki apa yang tumbuh sampai musim (buah) berakhir. Tidak ada waktu khusus yang ditentukan, karena waktu matangnya sudah sama-sama diketahui oleh orang-orang, dan bisa saja tumbuh-tumbuhan tersebut akan terserang penyakit, sehingga tidak ada yang matang sampai akhir musim. Jika penyakit menyerang dan sepertiga atau lebih dari tanaman itu rusak, bayaran nya dikurangi dari harga pembelian.”

Bab 31.9.  Penjualan Ariya[5] 

14. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar, dari Zayd ibn Tsabit bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, membolehkan pemilik ‘ariya untuk membarter kurma di atas pohon dengan sejumlah kurma kering yang diperkirakan akan dihasilkan oleh pohon tersebut.
Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Da’ud ibn al-Husayn, dari Abu Sufyan, mawla Ibn Abi Ahmad, dari Abu Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, membolehkan hasil ‘ariya untuk dibarter dengan memperkirakan berapa yang akan dihasilkannya ketika buah-buah itu kurang dari 5 awsuq atau sama dengan 5 awsuq, Da’ud tidak yakin apakah ia (Rasul) mengatakan lima awsuq atau kurang dari lima.
Malik berkata,
“Ariya dapat dijual dengan memperkirakan berapa jumlah kurma kering yang akan dihasilkan. Buah itu dinilai dan diperkirakan ketika ia masih berada di atas pohon. Ini dibolehkan karena termasuk kategori penyerahan tanggung-jawab, pemberian hak, dan melibatkan seorang mitra, Jika saja hal ini seperti penjualan biasa, maka tidak seorangpun yang mau bermitra dalam produksi sampai buah itu matang, juga tidak akan ada yang mau bersusah-payah mengurusi hal semacam ini ataupun menugaskan seseorang atasnya sampai si pembeli mengambil alih kepemilikannya.”

Bab 31.10.   Efek dari Gagal-Panen di Penjualan Hasil-Tani

15. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa Abu’r-Rijal Muhammad ibn Abd ar-Rahman mendengar ibunya, Amra bint Abd ar-Rahman berkata,
“Seorang laki-laki membeli buah dalam sebuah kebun yang terbuka pada masa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, dan ia menginginkannya ketika buah tersebut masih dikebun. Ketika jelas baginya bahwa akan ada kerugian, Ia meminta kepada pemilik kebun untuk mengurangi harga baginya ataupun membatalkan penjualan, tapi si pemilik bersumpah untuk tidak melakukannya. Ibu si pembeli pergi kepada Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, dan memberitahukan kepadanya tentang itu. Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Dengan sumpah ini, ia telah bersumpah untuk tidak melakukan kebaikan.’
Si pemilik kebun mendengar tentang itu dan pergi kepada Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, dan berkata,
‘Rasulullah, pilihan ada padanya.”[6]
16. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa Umar ibn Abd al-Aziz memutuskan dalam kasus tertentu untuk mengurangi (harga) buah-buahan yang rusak.
Malik berkata,
“Ini yang kami lakukan dalam situasi ini.”
Malik menambahkan:
“Kerusakan buah adalah apa pun yang mengakibatkan kehilangan 1/3 atau lebih pada si pembeli. Yang kurang dari itu tidak dihitung sebagai kerusakan buah.”

Bab 31.11.   Menahan Sebagian dari Buah-buahan

17. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Rabi’a ibn Abd ar-Rahman bahwa al-Qasim ibn Muhammad akan menjual hasil kebunnya dan menyimpan sebagian.
18. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abdullah ibn Abi Bakr bahwa kakeknya, Muhammad ibn Amr ibn Hazm menjual hasil kebunnya yang disebut al-Afraq seharga 4.000 dirham, dan ia menyimpan kurma kering senilai 800 dirham.
19. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abu’r-Rijal Muhammad ibn Abd ar-Rahman ibn Haritsa bahwa ibunya, Amra bint Abd ar-Rahman, menjual buahnya dan menyimpan sebagian.
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di antara kami adalah ketika seorang laki-laki menjual buah hasil kebunnya, ia dapat menyimpan sampai dengan 1/3 dari buah tersebut, dan tidak lebih. Tidak ada larangan terhadap apa yang kurang dari 1/3.”
Malik menambahkan bahwa ia pikir tidak ada larangan bagi seseorang untuk menjual buah hasil kebunnya dan menyimpan hanya buah dari satu ataupun beberapa pohon tertentu yang telah ia pilih, dan yang jumlahnya telah ia tentukan, karena si pemilik hanya menyimpan buah-buah tertentu dari kebunnya sendiri sementara yang lainnya ia jual.

Bab 31.12.   yang Makruh[7] dalam Penjualan Kurma

20. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Zayd ibn Aslam bahwa Atha ibn Yasar berkata,
“Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Kurma kering dengan kurma kering harus dipertukarkan sebanding.’
Dikatakan kepadanya,
‘Agen Anda di Khaybar mengambil satu sa’ untuk dua.’
Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Panggil ia kepadaku.’
Maka ia dipanggil. Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, bertanya:
Apakah engkau mengambil satu sa’ untuk dua?
Ia menjawab,
‘Rasulullah! Bagaimana mungkin mereka menjual kepadaku kurma yang bagus untuk kurma yang berkualitas rendah, satu sa’ untuk satu sa.’
Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Juallah yang berkualitas rendah seharga beberapa dirham, dan belilah yang bagus dengan dirham-dirham tersebut.’
21. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abd al-Hamid ibn Suhayl ibn Abd ar-Rahman ibn Awf, dari Sa’id ibn al-Musayyab, dari Abu Sa’id al-Khudri dan dari Abu Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, menunjuk seorang laki-laki sebagai agen-nya di Khaybar, dan ia membawakannya kurma-kurma yang bagus. Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata kepadanya,
Apakah semua kurma di Khaybar seperti ini?”
Ia berkata,
“Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah! Kami memperoleh satu sa’ kurma jenis ini dengan menukar dua sa’ atau dua sa’ dengan tiga sa’.”
Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Jangan lakukan itu. Juallah yang jelek beberapa dirham dan kemudian belilah yang baik dengan dirham-dirham tersebut.’”
22. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abdullah ibn Yazid bahwa Zayd ibn Ayyash memberitahunya bahwa ia suatu ketika bertanya kepada Sa’d ibn Abi Waqqas mengenai menjual gandum putih untuk sejenis gandum yang bagus. Sa’d bertanya kepadanya mana yang lebih baik dan ketika ia memberitahunya bahwa (yang lebih baik adalah) gandum putih, ia melarang transaksi itu, Sa’d berkata,
“Aku mendengar Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, ditanya tentang menjual kurma kering untuk kurma segar (basah), dan Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Apakah kurma-kurma mengecil ukurannya ketika mengering?’
Ketika ia diberitahu bahwa kurma-kurma itu mengecil, ia melarang hal itu.”

Bab 31.13.   Muzabana dan Muhaqala

23. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang muzabana. Muzabana adalah menjual kurma segar (basah) untuk kurma kering dengan timbangan, dan menjual anggur segar untuk anggur kering dengan timbangan.
24. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Da’ud ibn al-Husayn, dari Abu Sufyan, mawla Ibn Abi Ahmad, dan Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang muzabana dan Muhaqala. Muzabana adalah menjual kurma segar (basah) dengan kurma kering ketika mereka masih di atas pohon. Muhaqala adalah menyewakan tanah untuk ditukarkan dengan gandum.
25. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Ibn Shihab, dan Sa’id ibn al-Musayyab bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang muzabana dan Muhaqala. Muzabana adalah menjual kurma segar dengan kurma kering, Muhaqala adalah membeli gandum yang belum dipanen dengan gandum yang sudah digiling, dan atau menyewakan tanah untuk ditukarkan dengan gandum.
Ibn Shihab menambahkan bahwa ia telah bertanya kepada Sa’id ibn al-Musayyab mengenai menyewakan tanah dengan (bayaran) emas dan perak. Ia berkata,
“Tidak ada larangan di dalamnya.”
Malik berkata,
“Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang muzabana. Penjelasan muzabana adalah membeli sesuatu yang jumlahnya, berat ataupun ukurannya, tidak diketahui dengan sesuatu yang jumlahnya, berat ataupun ukurannya, diketahui,
‘Misalnya, jika seorang laki-laki memiliki setumpuk makanan yang timbangannya tidak diketahuinya; entah itu gandum atau kurma, atau makanan apa pun, atau orang tersebut memiliki barang-barang yang terdiri dari gandum, biji kurma, tumbuhan, kapas, rami, sutera, dan ia tidak tahu baik ukurannya atau beratnya atau jumlahnya, dan kemudian seorang pembeli mendatanginya dan mengusulkan agar si pembeli menimbang atau mengukur atau menghitung barang-barang tersebut, namun sebelum ia melakukannya, ia menyebutkan berat, ukuran atau jumlah tertentu dan menjamin untuk membayar jumlah tersebut, dengan kesepakatan bahwa jika (ternyata setelah dihitung) kurang maka itu adalah resikonya, dan jika lebih maka itu adalah keuntungannya. Ini bukanlah jual-beli. Ini adalah mengambil resiko dan transaksi yang tidak pasti. Dan termasuk dalam kategori judi, karena ia tidak membeli sesuatu darinya yang pasti untuk dibayar. Segala sesuatu yang mirip dengan ini juga dilarang.’”
Malik berkata bahwa contoh lain dari itu adalah,
Misalnya, seorang laki-laki mengajukan kepada seseorang lainnya,
“Engkau punya kain. Aku menjamin dari kain mu ini akan jadi jubah berkerudung yang jumlahnya sangat banyak, ukuran setiap jubah akan seperti ini dan ini (menyebutkan ukurannya). Kekurangan apa pun (dari jumlah yang sudah disebutkan) yang mungkin terjadi merupakan resikoku dan aku akan memberikan kepadamu jumlah yang sudah disebutkan. (Sebaliknya) Kelebihan apa pun yang mungkin terjadi merupakan milikku.”
Atau mungkin orang tersebut mengusulkan,
“Aku menjamin untukmu, dari kain milikmu ini akan jadi sejumlah pakaian, ukuran setiap pakaian adalah ini dan ini, jika jumlahnya kurang dari ini, maka itu merupakan resikoku dan aku akan memmberikan jumlah yang sudah disebutkan. Jika lebih, maka kelebihannya menjadi milikku.”
Atau mungkin seorang laki-laki menawarkan kepada seseorang yang memiliki kulit domba ataupun kulit unta,
“Aku akan memotong kulit mu ini menjadi sandal dengan bentuk atau pola yang akan kutunjukkan kepadamu. Aku akan mengganti jika jumlahnya kurang dari 100 pasang. Tapi jika lebih, maka kelebihannya menjadi milikku karena aku memberikan jaminan kepadamu.”
Contoh yang lain adalah seorang laki-laki yang berkata kepada seseorang yang memiliki biji kacang,
“Aku akan memeras (dengan menekan) biji-biji mu ini. Aku akan mengganti dengan beberapa pound jika jumlah beratnya kurang dari ini dan ini. Jika lebih dari itu, maka (kelebihannya) milikku.”
Malik berkata bahwa semuanya ini dan yang mirip seperti ini ada dalam kategori muzabana, dan jual-beli seperti ini tidak baik dan tidak dibolehkan. Sama halnya dengan seseorang yang berkata kepada seseorang yang memiliki daun-daunan untuk makanan hewan, biji kurma, kapas, rami, tumbuhan atau widuri:
“Aku akan membeli daun-daunan ini dari engkau dengan tukaran (barter) satu sa’ ini dan ini, (menunjuk pada daun-daun yang sudah ditumbuk seperti daun miliknya)… atau biji-biji kurma ini dengan satu sa’ ini dan ini, dan yang seperti itu dalam kasus widuri, kapas, rami dan tumbuhan.”
Malik berkata,
“Kesemuanya ini termasuk dalam apa yang kita uraikan sebagai muzabana.”

Bab 31.14. Catatan Umum tentang Menjual Suatu Hasil di Sumbernya

26.  Malik berkata,
“Tidak ada larangan dalam membeli kurma dari pohon-pohon tertentu atau kebun tertentu, atau membeli susu dari domba-domba tertentu jika si pembeli langsung mengambilnya setelah ia membayar harganya. Itu seperti membeli minyak dari sebuah tempat (minyak), Seseorang membeli sebagian darinya seharga 1 atau 2 dinar, dan memberikan emasnya dan menetapkan agar minyak itu ditimbang dan dikeluarkan untuknya. Tidak ada larangan dalam hal itu, Jika tempat minyak itu rusak dan minyaknya tumpah, maka si pembeli memperoleh kembali emasnya, dan tidak ada transaksi diantara mereka (batal) .”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan dalam hal dimana sesuatu itu langsung diambil seperti ini, seperti susu segar, kurma segar yang baru dipetik, dimana pembeli dapat mengambilnya dari hari ke hari. Jika penghasilannya (domba ataupun pohon kurma) habis sebelum si pembeli memperoleh seluruh yang sudah ia bayar, penjual mengembalikan bagian emas yang sudah diberikan kepadanya, atau pembeli mengambil barang lain dari penjual yang sebanding dengan kekurangannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Pembeli tetap tinggal bersama si penjual sampai ia telah mengambilnya. Tidak dibenarkan bagi si penjual untuk pergi karena transaksi itu dapat masuk ke dalam karegori terlarang, yakni hutang untuk (dibayar dengan) hutang. Jika periode waktu yang telah ditetapkan untuk pembayaran ataupun pengiriman masuk ke dalam transaksi, maka ini juga tidak dibenarkan. Penundaan dan penangguhan tidak dibenarkan di dalamnya, dan hanya diterima jika ini praktek standard untuk barang-barang tertentu yang dijanjikan oleh penjual kepada pembeli, tapi ini tidak boleh dari kebun tertentu ataupun domba tertentu .”
Malik ditanya mengenai seorang laki-laki yang membeli sebuah kebun dari orang lain, di dalamnya terdapat berbagai jenis pohon kurma – pohon ‘ajwa yang sangat baik, pohon kabis yang baik, pohon ‘adhq dan jenis-jenis lain. Penjual menyisihkan hasil dari beberapa pohon tertentu yang ia pilih dari penjualan. Malik berkata,
“Itu tidak baik karena jika ia melakukan hal itu dan menyisihkan nya, misalnya, kurma jenis ‘ajwa yang hasilnya akan 15 sa’ dan ia mengambil kurma jenis kabis sebagai gantinya, dan hasil kurmanya adalah 10 sa’, atau ia mengambil ‘ajwa yang hasilnya 15 sa’ dan meninggalkan kabis yang hasilnya 10 sa’, ini seperti seakan-akan ia membeli ‘ajwa dengan kabis, memberikan pembayaran berdasarkan perbedaan kualitas mereka. Ini sama dengan seseorang yang berurusan (jual-beli) dengan seseorang lainnya yang memiliki tumpukan kurma dihadapannya – 1 tumpuk yang terdiri dari 15 sa’ ‘ajwa, 1 tumpuk dari 10 sa’ kabis, 1 tumpuk dari 12 sa’ ‘adhq – Orang pertama memberikan kepada si pemilik kurma 1 dinar agar ia dapat memilih dan mengambil tumpukan manapun yang ia inginkan.
Malik berkata,
“Itu tidak baik.”
Malik ditanya apa hak seseorang yang membeli kurma segar dari pemilik sebuah kebun, dan ia telah membayar dimuka 1 dinar, jika buah tersebut habis? Malik berkata,
“Pembeli membuat perhitungan dengan pemilik kebun dan mengambil apa yang menjadi miliknya berdasarkan dinar (yang sudah dibayarkannya). Jika pembeli telah mengambil kurma yang senilai dengan 2/3 dinar, ia memperoleh kembali 1/3 dinar miliknya. Jika si pembeli telah mengambil kurma senilai dengan 3/4 dinar, maka ia memperoleh kembali 1/4 miliknya, atau mereka memperoleh kesepakatan dan pembeli mengambil dinarnya dari si pemilik kebun dalam bentuk sesuatu yang ia pilih. Jika, misalnya, ia memilih untuk mengambil kurma kering atau barang lainnya, ia mengambil mereka sesuai dengan kekurangannya (1/4 dinar). Jika ia mengambil kurma kering atau barang lainnya, ia hendaknya tinggal bersama si pemilik kebun sampai ia selesai dibayar.”
Malik berkata,
“Ini sama halnya dengan menyewakan unta tunggangan tertentu ataupun menyewakan budak penjahit, tukang kayu, atau budak pekerja lainnya, atau menyewakan rumah dan mengambil pembayaran-dimuka untuk sewa budak, rumah atau unta. Kemudian terjadi sebuah musibah yang mengakibatkan kematian atau lainnya. Pemilik unta, budak ataupun rumah mengembalikan sisa sewa unta, sewa budak, ataupun sewa rumah kepada orang yang memberikan pembayaran-dimuka itu, dan si pemilik menghitung berapa jumlah keseluruhannya, Jika, misalnya, ia telah menyediakan setengah dari yang telah dibayar oleh orang itu, ia mengembalikan setengah dari sisa yang telah dibayarkan dimuka, ataupun sesuai dengan jumlah yang seharusnya.”
Malik berkata,
“Pembayaran-dimuka untuk sesuatu yang di tangan hanya bagus jika pembeli mengambil alih pemilikan begitu ia menyerahkan emas (sebagai bayaran), baik itu untuk seorang budak, unta, atau rumah, atau dalam kasus kurma, ia memetiknya begitu ia menyerahkan uang. Tidak baik jika ada penundaan ataupun cicilan dalam transaksi semacam ini.”
Malik berkata,
“Sebuah contoh yang dapat mengilustrasikan apa yang tidak dibenarkan dalam situasi ini adalah, misalnya, seorang laki-laki dapat berkata bahwa ia akan membayar seseorang dimuka untuk penggunaan untanya dalam haji, sedangkan haji masih beberapa waktu lagi, atau ia dapat mengatakan sesuatu yang seperti itu mengenai budak ataupun rumah. Jika ia melakukan itu, ia hanya membayar uang dimuka dengan pengertian bahwa jika ia temukan unta tersebut dapat dipakai pada saat waktu sewa tiba, ia mengambilnya berdasarkan apa yang sudah ia bayarkan. Jika terjadi kecelakaan, atau kematian, atau sesuatu terhadap unta tersebut, maka ia memperoleh uangnya kembali, dan uang yang telah ia bayarkan dimuka dianggap sebagai sebuah pinjaman”
Malik berkata,
“Ini tidak sama dengan seseorang yang langsung mengambil alih hak atas apa yang ia sewakan atau apa yang ia sewa, sehingga tidak termasuk dalam kategori ‘ketidakpastian’ atau juga tidak termasuk dalam kategori pembayaran-dimuka yang tidak dibenarkan. Maka hal semacam itu adalah sebuah praktek yang umum. Sebagai contoh adalah seorang laki-laki membeli seorang budak, atau seorang budak perempuan, dan mengambil hak milik mereka dan membayar harganya. Jika terjadi sesuatu terhadap mereka selama dalam masa perjanjian ganti rugi, ia mengambil kembali emasnya (uangnya) dari mereka yang telah ia lakukan transaksi. Tidak ada larangan tentang ini. Ini dapat dijadikan contoh sunnah dalam masalah penjualan budak.”
Malik berkata,
“Seseorang yang menyewa seorang budak tertentu, atau menyewakan seekor unta tertentu, dan telah melewati waktu yang ditentukan, kemudian mengambil hak atas unta atau budak tersebut, adalah tindakan yang tepat karena ia tidak mengambil hak milik atas apa yang ingin ia sewakan atau yang ingin ia sewa, juga tidak memberi uang muka berbentuk uang sebagai pinjaman yang akan dipertanggungjawabkan oleh orang lain sampai orang pertama mengambilnya kembali.”

Bab 31.15.   Penjualan Buah-buahan

27.  Malik berkata,
“Yang umumnya disepakati dan yang biasa dilakukan di antara kami adalah bahwa seseorang yang membeli buah-buahan, baik segar ataupun kering, tidak boleh menjualnya kembali sampai ia memperoleh haknya (atas buah-buahan tersebut) secara penuh. Ia tidak boleh menukar sesuatu yang sejenis, kecuali dari tangan ke tangan (kontan). Apa pun yang dapat dibuat menjadi buah kering untuk disimpan dan dimakan tidak boleh ditukar untuk barang yang sejenis, kecuali secara kontan dan sebanding, jika itu buah yang jenisnya sama. Dalam kasus dua jenis buah yang berbeda, tidak ada larangan untuk menukar dua dengan satu, kontan ditempat itu juga. Tidak baik untuk menunda pembayaran. Untuk hasil yang tidak dikeringkan dan disimpan, namun dimakan dalam kondisi segar seperti semangka, ketimun, wortel, jeruk, pisang, delima dan lain-lain, yang ketika dikeringkan tidak lagi dianggap sebagai buah, dan bukan sesuatu yang disimpan sebagai buah, aku pikir cukup tepat untuk menukar barang-barang semacam ini dua banding satu dari jenis yang sama, secara kontan. jika tidak ada penundaan dalam pembayarannya, tidak ada larangan di dalamnya.”

Bab 31.16. Menjual Emas untuk Perak (Yang Sudah Dicetak dengan Yang Belum Dicetak)

28. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa Yahya ibn Sa’id berkata,
“Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, menyuruh dua Sa’d untuk menjual rampasan perang berupa sebuah bejana yang entah terbuat dari emas atau perak. Mereka menjualnya dengan takaran, setiap 3 satuan berat untuk koin seberat 4 satuan, atau setiap 4 satuan berat untuk  4 koin. Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata kepada mereka:
Engkau telah melakukan riba,’
maka mereka mengembalikannya.”
29. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Musa ibn Abi Tamim, dari Abu‘l-Hubab Sa’id ibn Yasar, dari Abu Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
1 dinar untuk 1 dinar, 1 dirham untuk 1 dirham, tidak boleh lebih diantara kedua (hal tersebut).
30. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Jangan jual emas untuk emas kecuali serupa dengan serupa (sebanding) dan jangan menambah satu bagian terhadap bagian yang lainnya. Jangan jual perak untuk perak, kecuali serupa dengan serupa (sebanding) dan jangan menambah satu bagian terhadap bagian yang lainnya. Jangan jual sebagian yang tidak ada di sana untuk sebagian yang ada.
31. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Humayd ibn Qays al-Makki bahwa Mujahid berkata,
“Aku sedang bersama Abdullah ibn Umar ketika seorang seniman (pandai emas) datang kepadanya dan berkata,
‘Wahai Abu Abd ar-Rahman, aku membentuk emas (menjadi karya seni) dan kemudian menjual apa yang telah aku buat lebih (mahal) dari berat (emas)-nya. Aku mengambil harga yang sebanding dengan karya tanganku.’
Abdullah melarangnya untuk melakukan itu, maka si seniman mengulangi pertanyaannya, dan Abdullah terus melarangnya sampai ia berada di pintu masjid atau di dekat hewan yang akan ia tunggangi, Kemudian Abdullah ibn Umar berkata,
‘1 dinar untuk 1 dinar, dan 1 dirham untuk 1 dirham. Tidak ada kelebihan di antara mereka. Ini adalah perintah dari Nabi kita dan nasihat kami untuk mu.’”
32. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar dari kakeknya, Malik ibn Abi Amir bahwa Usman ibn Affan berkata,
“Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata kepadaku,
Jangan jual 1 dinar untuk 2 dinar, jangan jual 1 dirham untuk 2 dirham.’”
33. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Zayd ibn Aslam, dari Atha ibn Yasar bahwa Mu’awiya ibn Abi Sufyan menjual tempat minum yang terbuat dari emas atau perak dengan harga yang lebih (banyak) dari beratnya. Abu‘d-Darda berkata,
“Aku mendengar Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang penjualan semacam ini kecuali yang sebanding.’
Mu’awiya berkata kepadanya,
“Aku tidak melihat adanya larangan di dalamnya.”
Abu‘d-Darda berkata kepadanya,
“Siapa yang akan membantu ku dari Mu’awiya? Aku memberitahunya sesuatu yang berasal dari Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, dan ia memberiku pendapatnya sendiri! Aku tidakakan hidup di bumi yang sama denganmu!”
Kemudian Abu‘d-Darda pergi kepada Umar ibn al-Khattab dan menceritakannya. Oleh karena itu, Umar ibn al-Khattab menulis kepada Mu’awiya,
‘Jangan menjualnya kecuali sebanding, berat dengan berat.’”
34. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Umar ibn al-Khattab berkata,
“Jangan menjual emas dengan emas kecuali sebanding, dan jangan meninggikan harga sebagian darinya atas bagian yang lain. Jangan menjual perak dengan perak kecuali sebanding, dan jangan meninggikan yang satu atas yang lainnya. Jangan menjual perak dengan emas, yang satu ada di tangan (pada saat jual-beli) dan yang lain diberikan kemudian. Jika seseorang memintamu untuk menunggu pembayaran sampai ia tiba di rumahnya, jangan tinggalkan dia. Aku takut rama’ atas dirimu.”
Rama’ adalah riba.
35. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abdullah ibn Dinar, dari Abdullah ibn Umar bahwa Umar ibn al-Khattab berkata,
‘Jangan menjual emas dengan emas kecuali yang sebanding. Jangan meninggikan harga sebagian darinya atas bagian yang lain. Jangan menjual perak dengan perak kecuali yang sebanding, dan jangan meninggikan sebagian atas bagian yang lain. jangan menjual sebagian yang ada di tempat dengan sebagian yang tidak ada. Jika seseorang memintamu untuk menunggu pembayaran sampai ia tiba di rumahnya, jangan tinggalkan dia. Aku khawatir rama’ atas dirimu.”
Rama’ adalah riba.
36. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar al-Qasim ibn Muhammad berkata,
“Umar ibn al-Khattab berkata,
‘1 dinar dengan 1 dinar, dan 1 dirham dengan 1 dirham, dan 1 sa’ dengan 1 sa’. Sesuatu yang diharapkan untuk dikumpulkan kemudian, tidak boleh dijual dengan sesuatu yang ada di tangan.’”
37. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa Abu’z-Zinad mendengar Sa’id ibn al-Musayyab berkata,
“Riba hanya ada pada emas dan perak, atau sesuatu yang ditimbang atau diukur dari sesuatu yang bisa dimakan atau diminum.’
38. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa Yahya ibn Sa’id mendengar Sa’id ibn al-Musayyab berkata,
“Memotong emas dan perak adalah bagian dari prilaku merusak bumi.”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan dalam membeli emas dengan perak atau perak dengan emas tanpa mengukur[8]nya jika itu tidak dibentuk ataupun sebentuk perhiasan yang telah dibuat. Dirham dan dinar yang telah dihitung tidak boleh dibeli tanpa dihitung, sehingga mereka (jumlahnya) diketahui dan dihitung. Menghilangkan jumlah dan membeli mereka secara acak hanyalah spekulasi (untung-untungan). Itu bukan bagian dari transaksi bisnis ummat Islam. Sedangkan untuk barang dan perhiasan yang belum dibentuk namun telah ditimbang, tidak ada larangan untuk membeli benda semacam ini tanpa mengukur. Membeli mereka tanpa mengukur adalah seperti membeli gandum, kurma kering, dan makanan-makanan lain, yang dijual tanpa diukur, meskipun barang-barang (lain) semacam mereka diukur.”
Malik berbicara tentang membeli mushaf (al-Qur’an), pedang atau cincin yang mengandung emas atau perak, dengan dinar dan dirham. Ia berkata,
“Nilai barang yang mengandung emas, yang dibeli dengan dinar, harus dilihat. Jika nilai emasnya sampai 1/3 dari harga, diperbolehkan dan tidak ada larangan di dalamnya jika penjualan dari tangan ke tangan dan tidak ada penundaan di dalamnya. Jika sesuatu yang mengandung perak dibeli dengan perak, nilainya harus dilihat. Jika nilai peraknya adalah 1/3, maka itu diperbolehkan dan tidak ada larangan di dalamnya jika penjualan dilakukan dari tangan ketangan, Itu masih merupakan Amal-an di antara kami.”

Bab 31.17. Menukar Uang

39. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Ibn Shihab, dari Malik ibn Aws ibn al-Hadathan an-Nasri bahwa suatu waktu ia meminta untuk menukar 100 dinar. Ia berkata,
“Talha ibn Ubaydullah memanggilku dan kami membuat kesepakatan bahwa ia akan melakukan penukaran denganku Ia mengambil emas itu (dinar tersebut) dan memindahkannya ke tangannya kemudian berkata,
‘Aku tidak dapat melakukannya sampai bendaharaku membawakan aku uang dari al-Ghaba.’
Umar ibn al-Khattab mendengar dan Umar berkata,
‘Demi Allah! jangan tinggalkan dia sampai engkau mengambilnya dari dia!’
Kemudian ia berkata,
‘Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
‘Emas untuk emas adalah riba kecuali dari tangan ke tangan. Tepung gandum untuk tepung gandum adalah riba kecuali dari tangan ke tangan. Kurma untuk kurma adalah riba kecuali dari tangan ke tangan. Barley untuk barley adalah riba kecuali dari tangan ke tangan.’
Malik berkata,
“Jika seseorang mempertukarkan dirham dengan dinar, dan kemudian menemukan dirham yang jelek di antara mereka dan ingin mengembalikannya, maka penukaran dinar tersebut batal, dan ia mengembalikan perak tersebut dan mengambil kembali dinar-dinarnya. Penjelasan tentang apa yang tidak dibenarkan di sini adalah Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
‘Emas dengan perak adalah riba kecuali dari tangan ke tangan,’
dan Umar ibn al-Khattab berkata,
‘Jika seseorang memintamu menunggu untuk dibayar sampai ia kembali ke rumahnya, jangan tinggalkan dia.’
Jika ia mengembalikan 1 dirham kepadanya dari pertukaran itu dan kemudian meninggalkannya, itu seperti hutang atau sesuatu yang ditunda. Berdasarkan alasan itu, hal ini tidak dibenarkan, dan pertukaran batal, Umar ibn al-Khattab ingin semua emas, perak, dan makanan untuk tidak dijual dengan (bayaran) barang-barang yang diberikan kemudian. Ia tidak mau ada penundaan atau penangguhan dalam penjualan semacam ini, apakah itu melibatkan satu komoditas atau berbagai komoditas (perdagangan ).”

Bab 31.18. Menjual Emas untuk Emas dan Perak untuk Perak, dengan Menggunakan Timbangan

40. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa Yazid ibn Abdullah ibn Qusayt melihat Sa’id ibn al-Musayyab menjual emas, menukarnya dengan emas. Ia meletakkan emasnya ke atas satu panci timbangan dan orang yang menjadi mitra tukarnya meletakkan emasnya di atas panci timbangan yang lain, dan ketika sumbu (jarum) timbangan seimbang, mereka mengambil dan memberikan (emas masing-masing).
Malik berkata,
“Menurut amal yang kami lakukan di antara kami, tidak ada larangan untuk menjual emas dengan emas, perak dengan perak dengan cara memperseimbangkan timbangan, meskipun 11 dinar diambil untuk 10 dinar[9] dari tangan ke tangan, jika berat emas tersebut sama, meskipun jumlah koin-koin yang bertukar berbeda. Dirham dalam masalah ini diperlakukan dengan cara yang sama dengan dinar.”
Malik berkata,
“Jika, ketika memperseimbangkan emas dengan emas atau perak dengan perak, terjadi perbedaan berat, maka satu pihak jangan memberikan kepada pihak yang lain perbedaan nilai itu dalam bentuk perak atau benda lain. Transaksi semacam itu jelek dan mengakibatkan riba. Sebab, jika salah satu pihak diperbolehkan untuk mengambil perbedaan tersebut dengan harga yang terpisah, seakan-akan ia telah membelinya secara terpisah sehingga itu diperbolehkan. Kemudian ia mungkin meminta perbedaan nilai itu beberapa kali dengan maksud menjadikan transaksi antara kedua belah pihak diperbolehkan.
Malik berkata,
“Jika ia benar-benar telah menjual perbedaan tersebut tanpa ada sesuatu apapun menyertainya, ia tidak akan mengambil perbedaan itu untuk 1/10 bagian dari harga, yang mana jika ia ambil maka bisa menciptakan efek transaksi legal yang semu. Ini akan membawa kepada menghalalkan yang haram. (Padahal) hukum sebenarnya adalah haram.”
Malik berkata bahwa tidak baik memperseimbangkan koin emas yang tua lagi baik dan mencampurkannya dengan emas yang belum dibentuk untuk ditukarkan dengan emas Kufic (dalam bentuk potongan-potongan), yang tidak disukai, dan kemudian memberlakukan pertukaran tersebut (sebagai pertukaran yang) sebanding.
Malik berkata,
“Penjelasan tentang mengapa itu tidak dibenarkan adalah karena pemilik emas yang bagus menggunakan kebagusan uang emasnya sebagai alasan untuk mengikutsertakan emas yang belum dibentuk. Jika saja bukan karena kualitas emasnya yang lebih baik dari emas pihak yang lain, pihak yang lain tidak akan menukarkan emas yang belum dibentuk itu dengan emas Kufic-nya, dan kesepakatan (pertukaran dengan cara memperseimbangkan) itu akan ditolak.
“Ini seperti seorang laki-laki yang ingin membeli 3 sa’ kurma kering ajwa untuk kurma kabis sebanyak 2 sa’ 1 mud, dan karena dikatakan bahwa itu tidak baik, kemudian menawarkan 2 sa’ kabis dan 1 sa’ kurma jelek dengan maksud memungkinkan penjualan itu terjadi. Itu tidak baik karena pemilik ajwa tidak boleh memberikan kepadanya 1 sa’ ajwa untuk 1 sa’ kurma jelek. Ia boleh memberikannya hanya karena kualitas yang tinggi dari kurma kabis.[10]
“Atau itu seperti seorang laki-laki yang meminta seseorang untuk menjual kepadanya 3 sa’ tepung gandum putih dengan (tukaran) 2,5 sa’ tepung gandum Syria, dan ia diberitahu bahwa itu tidak baik kecuali jika sebanding, maka ia menawarkan 2 sa’ tepung gandum dan 1 sa’ biji gandum, untuk memungkinkan jual-beli di antara mereka. Itu tidak baik karena tidak seorangpun yang akan memberikan 1 sa’ biji gandum untuk 1 sa’ tepung gandum putih jika saja jumlah sa’ itu hanya terdiri dari jenis itu saja. Pertukaran itu hanya terjadi karena karena kualitas tepung gandum Syria yang lebih baik daripada tepung gandum putih. ini tidak baik. ini sama halnya dengan kasus emas yang belum dibentuk.”
Malik berkata,
“Karena emas, perak dan makanan hanya boleh dijual jika sebanding, maka sesuatu yang tidak disukai dan berkualitas rendah tidak boleh dicampur dengan yang bagus dan disukai dengan tujuan memungkinkan penjualan, dan untuk menghalalkan sesuatu yang tidak baik. Jika sesuatu yang disukai dicampur dengan sesuatu yang berkualitas rendah dan ini dimasukkan hanya agar yang berkualitas tinggi diperhatikan, sebab yang berkualitas rendah jika dijual sendirian tidak akan diperhatikan oleh pembeli, maka itu hanya diterima (dibeli) oleh pembeli karena kualitas (barang yang bagus) melebihi kualitas barang si pembeli. Transaksi-transaksi yang melibatkan emas, perak ataupun makanan tidak boleh dimasuki oleh unsur-unsur ini. Jika pemilik barang yang berkualitas rendah mau menjual barangnya, maka ia harus menjual mereka secara terpisah, dan tidak mencampurkan sesuatu (yang berkualitas tinggi) kedalamnya. Jika seperti ini, maka tidak ada larangan.”

Bab 31.19. Membeli dengan Cara Penundaan dan Menjual Kembali Lebih Murah dengan Cara Langsung.

41. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Seseorang yang membeli makanan tidak boleh menjualnya kembali sampai ia menerima seluruh makanan (yang dibeli) nya.”
42. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abdullah ibn Dinar, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Seseorang yang membeli makanan tidak boleh menjualnya sampai ia mengambil alih pemilikannya.”
43. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’ bahwa Abdullah ibn Umar berkata,
“Pada masa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, kami biasa membeli makanan. Ia memerintahkan kami untuk memindahkan barang-barang yang kami beli dari tempat kami membelinya ke tempat lain sebelum kami menjualnya kembali.”
44. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’ bahwa Hakim ibn Hizam telah membeli beberapa makanan yang sebelumnya telah diperintahkan oleh Umar ibn al-Khattab untuk disimpan oleh orang-orang, dan kemudian (Hakim ibn Hizam) menjualnya kembali kepada orang-orang. Umar ibn al-Khattab mendengar tentang itu dan ia membatalkan penjualan serta berkata,
“Jangan menjual makanan yang telah engkau beli sampai engkau menerima makanan itu.”
45. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, ia telah mendengar bahwa di masa Marwan ibn al-Hakam, telah diberikan kepada orang-orang Sukuk (bukti pembelian /kuitansi /Surat berharga) atas barang-barang di pasar al-Jar. Orang-orang membeli dan menjual bukti pembelian tersebut diantara mereka sendiri sebelum mereka menerima kiriman barangnya. Zayd ibn Tsabit dan salah satu Sahabat Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, pergi kepada Marwan ibn al-Hakam dan berkata,
“Marwan! Apakah engkau menghalalkan riba?”
Ia (Marwan) berkata,
“Aku memohon perlindungan Allah! Apakah itu?”
Ia berkata,
Sukuk yang diperjual-belikan oleh orang-orang sebelum mereka menerima kiriman barangnya.”
Marwan kemudian mengirim pengawal untuk mengikuti dan mengambil bukti-bukti pembelian itu dari tangan orang-orang serta mengembalikan-nya kepada pemiliknya semula.
46. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa seorang laki-laki mau membeli makanan dari seseorang dengan pembayaran-dimuka. Orang yang mau menjual makanan kepadanya pergi bersamanya ke pasar, dan mulai menunjuk kepada tumpukan-tumpukan (makanan) serta berkata,
“Mana yang engkau mau aku belikan untukmu?”
Si pembeli berkata,
“Apakah engkau menjual kepadaku apa yang engkau tidak miliki?”
Maka mereka pergi kepada Abdullah ibn Umar dan menceritakan hal itu kepadanya. Abdullah ibn Umar berkata kepada si pembeli:
“Jangan beli darinya apa yang tidak ia miliki.”
Ia berkata kepada si penjual:
“Jangan menjual apa yang tidak engkau miliki.”
47. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa Yahya ibn Sa’id mendengar Jamil ibn Abd ar-Rahman, sang mu’adzin, berkata kepada Sa’id ibn al-Musayyab:
“Aku adalah orang yang membeli apa pun yang di-rizki-kan Allah yang ada di dalam Sukuk-Sukuk yang ditawarkan oleh orang-orang di al-Jar, Aku mau mengambil bayaran untuk barang-barang yang aku jamin akan dikirimkan kemudian.”
Sa’id berkata kepadanya,
“Apakah engkau bermaksud untuk berurusan dengan Sukuk-Sukuk dan yang telah engkau beli?
Ia berkata,
“Ya.”
Maka ia (Sa’id) melarang hal itu.
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di antara kami, yang tidak ada perdebatan di dalamnya mengenai pembelian makanan – baik tepung gandum, biji gandum, jagung-jagungan, padi-padian, atau kacang-kacangan – yang atas barang-barang ini diwajibkan zakat, atau rempah-rempah seperti minyak samin, madu, kayu manis, keju, minyak wijen, susu dan lain sebagainya, adalah si pembeli tidak boleh menjual kembali yang manapun dari barang-barang ini sampai ia telah mengambil alih kepemilikan dan menyelesaikan pengirimannya.”

Bab 31.20. Apa yang Tidak dibenarkan dalam Menjual Makanan dengan Penangguhan Pembayaran ataupun Pengiriman

48. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa Abu’z-Zinad mendengar Sa’id ibn al-Musayyab dan Sulayman ibn Yasar melarang seorang laki-laki untuk menjual tepung gandum dengan bayaran emas secara tunda dan kemudian membeli kurma kering dengan emas itu sebelum ia sendiri menerima emasnya.
49. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, bahwa Kathir ibn Farqad bertanya kepada Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm mengenai seorang laki-laki yang menjual makanan yang akan dikirimkan kemudian kepada seseorang dengan bayaran emas, dan kemudian dengan emas tersebut ia membeli kurma sebelum ia sendiri menerima kiriman emas itu. Ia tidak membenarkan hal itu dan melarangnya.
Yahya menyampaikan hal yang sama kepadaku, dari Malik, dari Ibn Shihab.
Malik berkata,
“Sa’id ibn al-Musayyab, Sulayman ibn Yasar, Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm, dan Ibn Shihab melarang seorang laki-laki yang menjual tepung gandum dengan bayaran emas dan kemudian membeli kurma dengan emas itu, sementara ia sendiri belum menerima emas tersebut dari hasil transaksi penjualan tepung gandumnya. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk membeli kurma secara tunda – berbekal emas yang telah dijanjikan kepadanya atas penjualan tepung gandum – dari orang lain, yang bukan ia jualkan kepadanya tepung gandumnya tersebut, sebelum ia mengambil alih pemilikan emas (hasil penjualan tepung gandum) tersebut, dan menunjuk orang yang ia beli kurma darinya kepada orang yang berhutang kepadanya yang telah membeli tepung gandum darinya, untuk emas yang ia janjikan atas kurma tersebut.”
Malik berkata, Aku bertanya kepada lebih dari satu para ulama mengenai masalah ini dan mereka tidak melihat adanya larangan dalam hal ini.”

Bab 31.21. Pembayaran di Muka untuk Makanan

50. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’ bahwa Abdullah Ibn Umar berkata bahwa tidak ada larangan bagi seseorang untuk memberikan pembayaran di muka kepada orang lain untuk pembelian makanan, dengan gambaran dan harga tertentu, sepanjang itu tidak mengenai tanaman atau kurma yang belum matang.
Malik berkata,
“Kesepakatan kita mengenai seseorang yang memberikan pembayaran di muka untuk makanan dengan harga yang telah diketahui dan waktu yang telah ditentukan, dan ketika kurma tersebut sampai dan si pembeli menemukan bahwa apa yang dijual oleh penjual tidak cukup untuk memenuhi pesanannya, maka ia membatalkan jual-beli itu, adalah pembeli harus langsung mengambil kembali perak, emas ataupun harga yang telah ia bayar. Ia tidak membeli sesuatu yang lain dari orang tersebut dengan harga yang sama sampai ia menerima kembali apa yang telah ia bayar. Itu karena jika ia mengambil sesuatu yang lain disamping harga yang telah ia bayarkan kepadanya atau menukarkannya dengan barang selain barang yang telah ia beli darinya, itu akan seperti menjual makanan sebelum menerima kiriman barangnya.”
Malik berkata,
“Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang menjual makanan sebelum menerima kiriman barangnya.”
Malik berkata bahwa tidak baik jika pembeli menyesali pembeliannya dan meminta kepada penjual untuk membatalkan penjualannya untuk (kepentingan) pembeli, sedangkan pembeli tidak langsung menekannya berdasarkan apa yang telah ia bayarkan.[11] Para ulama melarang hal itu. itu karena jika makanan telah disiapkan oleh penjual bagi si pembeli, pembeli menunda haknya atas si penjual dengan tujuan agar penjual memberi kemungkinan pembatalan penjualannya. Itu adalah menjual makanan secara tunda sebelum menerima kiriman makanan itu.
Malik berkata,
“Penjelasan untuk itu adalah ketika kurma yang dikirimkan tiba dan pembeli tidak menyukainya, penjual mengambil (kembali) barang itu dan uang (yang sudah dibayarkan) akan dibayarkan kembali kemudian, maka ini bukanlah pembatalan, Dalam pembatalan, tidak ada penambahan (nilai) baik dari pihak pembeli maupun penjual. Jika ada penambahan melalui penundaan pembayaran dalam jangka waktu tertentu, atau melalui sesuatu yang menambahkan salah satu di antara mereka atas yang lain, atau sesuatu yang memberikan keuntungan kepada salah satu diantara mereka, maka itu bukanlah pembatalan. Jika salah satu diantara keduanya melakukan itu, pembatalan berubah mejadi jual-beli. Dalam pembatalan terdapat keikutsertaan, partnership (persekutuan), dan transfer (pemindahan), sepanjang tidak dimasukkan penambahan, pengurangan, ataupun penundaan di dalamnya. Jika ada penambahan, pengurangan atau penundaan di dalamnya, maka itu menjadi jual-beli. Apapun yang halal dalam jual-beli adalah halal baginya, dan apa pun yang haram dalam jual-beli adalah haram baginya.
Malik berkata,
“Jika seseorang membayar di muka untuk tepung gandum Syria, tidak ada larangan jika ia mengambilnya setelah waktu yang dijanjikan tiba.”
Malik berkata,
“Itu sama halnya dengan siapapun yang melakukan pembayaran di muka untuk jenis barang apapun. Tidak ada larangan baginya untuk mengambil yang lebih baik dari apapun yang telah ia bayar dimuka, ataupun lebih jelek, setelah tanggal yang disepakati. Penjelasannya adalah jika, misalnya, seseorang memberikan pembayaran di muka untuk tepung gandum dengan berat tertentu, tidak ada larangan baginya jika ia memutuskan untuk mengambil biji gandum ataupun tepung gandum Syria. Jika ia telah membayar di muka untuk kurma yang baik, tidak ada larangan baginya jika ia memutuskan untuk mengambil kurma yang berkualitas jelek. Jika ia membayar di muka untuk kismis berwarna merah, tidak ada larangan jika ia mengambil yang berwarna hitam jika itu terjadi setelah waktu perjanjian yang disepakati, dan jika ia mengambilnya sesuai dengan apa yang telah ia bayarkan dimuka.”

Bab 31.22. Menukar Makanan dengan Makanan Tanpa Penambahan Diantaranya

51. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar Sulayman ibn Yasar berkata,
“Makanan keledai Sa’d ibn Abi Waqqas hilang, maka ia menyuruh budaknya untuk mengambil tepung gandum keluarga guna membeli biji gandum dalam jumlah yang sama.”
52. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’ bahwa Sulayman ibn Yasar memberitahunya bahwa suatu waktu makanan hewan-hewan Abd ar-Rahman ibn al-Aswad ibn Abd Yaghuth habis, maka ia berkata kepada budaknya:
“Ambillah tepung gandum keluargamu dan belilah biji gandum dengannya, ambillah hanya dalam jumlah yang sama.”
53. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar hal yang sama dengan itu dari al-Qasim ibn Muhammad, dari Ibn Mu’ayqib ad-Dawsi.
Malik berkata,
“Inilah cara Yang kami lakukan di antara kami.”
Malik berkata,
“Yang umumnya disepakati diantara kami adalah tepung gandum tidak dijual dengan bayaran tepung gandum, kurma dengan kurma, tepung gandum dengan kurma, kurma dengan kismis, tepung gandum dengan kismis, tidak juga jenis apapun dari makanan yang dijual dengan (bayaran) makanan, kecuali secara tunai. Jika ada bentuk penundaan apapun dalam transaksi, maka itu tidak baik. Itu haram. Rempah-rempah tidak dijual kecuali secara tunai.”
Malik berkata,
“Makanan dan rempah-rempah tidak dibarter jika mereka dari jenis yang sama, dua dari jenis yang satu untuk satu dari jenis yang lainnya. 1 mud tepung gandum tidak dijual untuk 2 mud tepung gandum, 1 mud kurma untuk 2 mud kurma, 1 mud kismis untuk 2 mud kismis, tidak satupun dari jenis-jenis di atas dibarter dengan biji-bijian dan rempah-rempah jika mereka sejenis, meskipun itu secara tunai.
“Hal ini sama dengan perak dibarter perak, emas dengan emas. Tidak ada penambahan yang halal dalam transaksi ini, hanya yang sebanding (seimbang), dari tangan ke tangan (tunai) yang halal.”
Malik berkata,
“Jika ada perbedaan yang jelas dalam makanan yang diukur dan ditimbang, tidak ada larangan untuk mengambil dua dari jenis yang satu dan satu dari jenis yang lain, secara tunai, Tidak ada larangan untuk 1 sa’ kurma untuk 2 sa’ kisimis, 1 sa’ tepung gandum untuk 2 sa’ kismis, 1 sa’ tepung gandum untuk 2 sa’ samin. Jika dua macam benda yang diperdagangkan (di barter) berbeda, tidak ada larangan, dua untuk satu atau lebih dari itu, secara tunai. Jika ada penundaan dalam penjualan, maka itu tidak halal.”
Malik berkata,
“Tidak halal untuk memperdagangkan (secara barter) satu tumpukan tepung gandum dengan satu tumpukan tepung gandum.[12] Tidak ada larangan dalam satu tumpukan tepung gandum dengan satu tumpukan kurma, secara tunai. Itu karena tidak ada larangan dalam membeli tepung gandum dengan kurma tanpa ukuran yang pasti.[13]
 Malik berkata,
“Untuk jenis makanan dan rempah-rempah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan perbedaannya jelas, tidak ada larangan untuk menukarkan (membarter) satu dengan yang lainnya secara tunai, tanpa ukuran (timbangan). Jika dalam penjualan (barter) tersebut terdapat penundaan, maka tidak ada kebaikan di dalamnya.[14] Melakukan tukar-menukar benda-benda semacam ini tanpa ukuran yang tepat seperti membelinya dengan emas dan perak tanpa mengukurnya (menimbangnya) dengan tepat.[15]
Malik berkata,
“Itu karena engkau membeli tepung gandum dengan perak tanpa mengukur dengan seksama[16], dan kurma dengan emas tanpa mengukur secara tepat, adalah halal. Tidak ada larangan di dalamnya.”
Malik berkata,
“Tidak baik bagi seseorang untuk membuat satu tumpukan makanan yang ukuran (jumlah) nya diketahui dan kemudian menjualnya seakan-akan belum diukur, ia menutupi (merahasiakan) ukurannya kepada si pembeli. Jika si pembeli ingin mengembalikan makanan tersebut kepada penjual, ia dapat (mengembalikannya), karena penjual menyembunyikan ukurannya dan ini adalah sebuah transaksi yang tidak jelas.[17] Hal ini diterapkan pada jenis makanan apa pun atau barang-barang lain yang ukuran dan Jumlahnya diketahui oleh penjual, dan yang kemudian ia jual tanpa (memberitahukan) ukurannya dan si pembeli (juga) tidak mengetahuinya. Jika pembeli ingin mengembalikannya kepada penjual, ia dapat mengembalikannya. Para ulama tetap melarang transaksi semacam ini.”
Malik berkata,
“Tidak baik menjual satu keping roti bundar untuk dua, tidak juga ukuran besar maupun kecil, ketika sebagian lebih besar dari yang lainnya. Jika (setelah) diperhatikan secara teliti ternyata roti-roti ini sebanding, tidak ada larangan untuk penjualan (barter) ini, meskipun mereka tidak ditimbang.”  
Malik berkata,
“Tidak baik menjual 1 mud mentega dan 1 mud susu dengan (bayaran) 2 mud mentega. Ini seperti apa yang kita gambarkan dengan menjual kurma, ketika 2 sa’ kabis dan 2 sa’ kurma berkualitas rendah dijual (secara barter) dengan 3 sa’ kurma ’ajwa setelah pembeli berkata kepada penjual, “2 sa’ kurma kabis untuk 3 sa’ kurma ajwa, tidak baik, dan kemudian ia melakukan hal itu (menambahkan 1 sa’ kurma berkualitas rendah) untuk memungkinkan penjualan. Pemilik susu menggabungkan susu dengan menteganya, dengan demikian ia dapat menggunakan keistimewaan menteganya atas mentega pihak lain untuk mengikut-sertakan susunya dalam penjualan tersebut.”
Malik berkata,
“Tepung untuk (dibarter dengan) tepung gandum adalah sebanding, dan dalam hal ini tidak ada larangan. (Tapi) itu sepanjang ia tidak mencampurkan sesuatu dengan tepung tersebut dan menjualnya (secara barter) dengan tepung gandum, secara sebanding. Jika ia menggabungkan ½ mud tepung dan ½ mud tepung gandum, dan kemudian menjualnya untuk dibarter dengan 1 mud tepung gandum, itu akan seperti apa yang kita gambarkan sebelumnya, dan itu tidak baik, karena ia ingin menggunakan keistimewaan tepungnya yang baik untuk mengikutsertakan tepung gandumnya, Transaksi semacam ini tidak baik.”

Bab 31.23.   Penjualan Makanan Secara Umum

54. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa Muhammad ibn Abdullah ibn Abi Maryam meminta nasihat kepada Sa’id ibn al-Musayyab.
“Aku adalah orang…”
ia berkata,
“…yang membeli makanan dengan sukukun (bukti pembelian) dari al-Jar. Suatu ketika, mungkin saja Aku akan membeli sesuatu (seharga) 1 dinar ½ dirham, sedangkan ½ setengah dirhamnya aku akan berikan dalam bentuk makanan.”
Sa’id berkata,
“Tidak, Kamu beri 1 dirham dan ambil sisanya dalam (bentuk) makanan.”[18]
55. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa Muhammad ibn Sirin berkata,
“Jangan menjual biji-bijian pada tangkainya sampai ia memutih.”[19]
Malik berkata,
“Jika seseorang membeli makanan dengan harga yang diketahui untuk diantarkan pada waktu yang telah ditentukan, dan ketika waktunya tiba, orang yang berhutang (si penjual) makanan berkata,
‘Aku tidak punya makanan. Juallah makanan, yang aku berhutang kepada mu, dengan penangguhan waktu.’
Pemilik makanan (si pembeli) berkata,
‘Ini tidak baik karena Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang penjualan makanan sampai transaksi telah sempurna.’
Orang yang berhutang makanan itu (si penjual) berkata kepada orang yang membelinya secara cicilan (si pembeli),
‘Juallah sedikit makanan kepadaku dengan tenggat waktu tertentu sampai aku menyelesaikan hutangku kepadamu[20].
Ini tidak baik, karena si penjual memberi si pembeli makanan dan kemudian si pembeli mengembalikannya (lagi) kepada si penjual. Emas yang diberikan si pembeli kepada si penjual, yang menjadi harga makanan yang semula milik si penjual, harus dikembalikan lagi kepada si pembeli, dan kemudian makanan berikan oleh si pembeli kepada si penjual sebagai penghalal transaksi di antara mereka. Jika mereka melakukan itu, maka itu merupakan penjualan makanan sebelum kesepakatan yang ada terpenuhi.”
Malik berbicara tentang seorang laki-laki (si A) yang berhutang makanan yang telah ia terima[21] dari seseorang (si B) yang juga berhutang makanan yang sama dari seseorang lainnya (si C). Orang yang berhutang makanan (si B) berkata kepada orang yang memberinya hutang (si C):
“Aku akan memberitahukan prihal mu kepada orang yang berhutang makanan kepadaku (yaitu, si A), dalam jumlah yang sama dengan hutangku kepadamu, dengan demikian engkau dapat memperoleh makanan yang menjadi hutangku kepadamu.”
Malik berkata,
“Jika orang itu, yaitu orang yang harus mengirimkan makanan[22], pergi[23] dan pembelian makanan tersebut[24] (hanya) untuk melunasi hutangnya (saja) kepada orang yang memberinya hutang[25], maka itu tidak baik. Itu adalah menjual makanan sebelum memilikinya. Jika makanan tersebut berstatus pinjaman yang memiliki tengggat waktu tertentu, maka tidak ada larangan untuk melunasi hutangnya (dengan cara tersebut) kepada orang yang memberinya hutang dengan makanan itu, karena itu bukanlah penjualan. Tidak halal untuk menjual makanan sebelum menerimanya sepenuhnya, sebab Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang hal itu. Akan tetapi, para ulama setuju bahwa tidak ada larangan untuk syirkah (kongsi), tauliah (menguasakan) dan iqalah (pembatalan kontrak) makanan ataupun barang-barang lainnya.”
Malik berkata,
Hal yang demikian[26] karena para ulama menganggap-nya (pelunasan hutang dengan cara tersebut) sebagai pemberian atau hadiah sukarela. Mereka tidak menganggap-nya sebagai penjualan. Hal itu seperti seseorang yang meminjamkan dirham yang tipis, kemudian Ia dapati kembali dirham yang ia hutangkan tersebut berbobot penuh, dengan demikian ia menerima lebih banyak dari yang ia pinjamkan. Itu halal baginya dan dibolehkan. Jika seseorang membeli beberapa dirham yang cacat darinya sebagai dirham yang berbobot penuh, yang demikian tidak halal. Jika sudah ada perjanjian bahwa ia meminjamkan beberapa dirham yang berbobot penuh, dan pelunasannya dengan dirham yang cacat, maka itu tidak halal.”
56. Malik berkata,
“Contoh lain tentang itu adalah Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang jual-beli yang disebut dengan muzabana dan memberikan kemurahan (kebolehan) dalam ‘ariya. Perbedaan antara mereka adalah, jual-beli muzabana didasari oleh kelicikan dan perdagangan, sedangkan ‘ariya didasari oleh keuntungan yang diberikan sebagai kebaikan dan tidak ada keIicikan di dalamnya.”
Malik berkata,
“Seorang laki-laki tidak boleh membeli makanan dengan (harga) 1/4 dirham, 1/3 dirham, atau sepersekian dirham[27] dengan maksud ia memperoleh makanan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk membeli makanan dengan (harga) sepersekian dirham dalam jangka waktu tertentu, dan kemudian ia membayarnya dengan koin 1 dirham dan mengambil barang-barang lain sebagai kembalian atau sisa dari koin 1 dirham yang telah dibayarnya, karena ia telah membayar hutangnya dengan koin 1 dirham, dan mengambil barang-barang lain untuk mencukupkan sisa dirhamnya. Tidak ada larangan dalam transaksi semacam ini.”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan bagi seseorang untuk menyimpan satu dirham kepada orang lain dan kemudian mengambil dari orang tersebut barang-barang yang disepakati senilai 1/4 dirham, 1/3 dirham, atau sepersekian dirham. Jika tidak ada kesepakatan harga barang dan orang tersebut berkata,
‘Aku akan mengambil barang-barang tersebut dari engkau dengan harga (yang berlaku) setiap hari,’
maka itu tidak halal karena ada ketidak-jelasan. Harganya bisa lebih murah pada satu waktu dan lebih mahal pada waktu yang lain, dan harga-harga barang-barang tersebut bukan termasuk dalam kesepakatan jual-beli.”
Malik berkata,
“Jika seseorang menjual beberapa makanan tanpa mengukur secara tepat[28] dan tidak menyisihkan[29] sebagian makanan yang ia jual itu, dan kemudian Ia terpikir olehnya untuk membeli sebagian dari makanan itu, tidak baik baginya untuk membeli sebagian darinya kecuali dalam jumlah yang akan dibolehkan bagi dia untuk menyisihkan-nya yakni 1/3  atau kurang. Jika lebih dari 1/3, maka itu menjadi muzabana dan tidak dibenarkan, Ia hanya boleh membeli apa yang diperbolehkan baginya untuk disisihkan, dan ia hanya diperbolehkan untuk menyisihkan 1/3  atau kurang dari itu. Ini adalah cara penyelesaiannya, yang di dalamnya tidak ada bantahan diantara kami.”

Bab 31.24. Menimbun[30] dan Menaikkan Harga dengan Cara Penimbunan Barang

57. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa Umar ibn al-Khattab berkata,
“Tidak ada penimbunan di pasar kita, dan orang-orang yang memiliki kelebihan emas di tangan mereka hendaknya tidak menghahiskan rezeki Allah yang telah Ia turunkan ke halaman kita dan kemudian menimbunkan-nya untuk kita. Seseorang yang membawa barang-barang impor dengan susah payah, baik di musim panas maupun di musim dingin, maka orang semacam ini adalah tamunya Umar, Biarkanlah ia menjual apa yang Allah inginkan dan menahan apa yang Allah inginkan.”
58. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Yunus ibn Yusuf, dari Sa’id ibn al-Musayyab bahwa Umar ibn al-Khattab melewati Hatab ibn Abi Baltha’a yang sedang meng-obral[31] anggur keringnya di pasar. Umar ibn al-Khattab berkata kepadanya,
“Naikkan harga atau tinggalkan pasar kami.”
59. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa Usman ibn Affan melarang penimbunan barang (hukra).

Bab 31.25. Yang diperbolehkan dalam Barter Hewan dengan Hewan Lainnya dan Pembayaran di Muka untuk Jual-Beli Hewan

60. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Salih ibn Kaysan, dari Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Talib bahwa Ali ibn Abi Talib menjual salah satu untanya yang dinamai ‘Usayfir untuk 20 ekor unta yang akan dikirimkan kemudian.
61. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’ bahwa Abdullah ibn Umar membeli se-ekor unta tunggang betina dengan 4 ekor unta, serta menjaminnya untuk mengirim keempat-empatnya kepada pembeli di ar-Rabadha.
62. Yahya menyampaikan kepadaku bahwa Malik bertanya kepada Ibn Shihab tentang penjualan hewan, 2:1 ekor dengan tenggat waktu pembayaran tertentu. Ia berkata,
“Tidak ada larangan dalam hal itu.”
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di antara kami adalah tidak ada larangan untuk membarter se-ekor unta dengan se-ekor unta semacamnya dan menambahkan beberapa dirham dalam penukaran itu, secara tunai, Tidak ada larangan dalam membarter se-ekor unta dengan se-ekor unta dan menambahkan beberapa dirham dalam penukarannya, unta dipertukarkan dari tangan ke tangan (tunai), dan dirhamnya dibayarkan dalam jangka waktu tertentu.”
Ia berkata,
“Tidak baik membarter seekor unta dengan seekor unta ditambah beberapa dirham, (jika) dirhamnya dibayarkan langsung sementara untanya dikirimkan kemudian. Jika keduanya, unta dan dirhamnya ditunda kedua-duanya juga tidak baik.”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan dalam membeli se-ekor unta tunggang dengan dua atau lebih unta-beban yang kualitasnya tidak baik. Tidak ada larangan untuk membarter dua dengan satu yang diberikan dengan tenggat waktu tertentu jika (kualitas) mereka berbeda dan perbedaannya jelas. Jika mereka mirip satu sama lainnya, se-jenis ataupun berbeda jenis, dua tidak dapat diambil untuk satu dengan tenggat waktu rertentu.”
Malik berkata,
“Penjelasan tentang apa yang tidak dibenarkan di atas adalah se-ekor unta tidak boleh dibeli dengan dua ekor unta jika tidak ada perbedaan (kualitas) di antara mereka, baik dalam kecepatan maupun daya tahan. Jika ini seperti yang aku gambarkan kepadamu, lalu kemudian seseorang tidak membeli dua untuk satu dengan tenggat waktu tertentu. Tidak ada larangan untuk menjual sebagian dari unta-unta yang telah engkau beli, sebelum engkau melengkapi perjanjiannya, kepada seseorang selain orang yang engkau bawa darinya unta-unta tersebut jika engkau mengambil bayarannya secara tunai.”
Malik berkata,
“Dibolehkan bagi seseorang untuk memberikan sesuatu dimuka atas hewan-hewan dalam waktu tertentu dan menerangkan jumlahnya serta membayar harganya secara tunai. Apa pun yang telah disepakati oleh pembeli dan penjual diwajibkan atas mereka. Perbuatan tersebut masih diperbolehkan untuk dilakukan oleh orang-orang, dan juga yang dilakukan oleh para ulama di negri[32] kami.

Bab 31.26. Yang Tidak Diperbolehkan dalam Penjualan Hewan

63. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang transaksi yang disebut dengan habal al-babala. itu adalah sebuah transaksi yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyya, dimana seseorang membeli bayi yang belum dilahirkan dari bayi yang belum dilahirkan dari seekor unta betina.
64. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Ibn Shihab bahwa Sa’id ibn al-Musayyab berkata,
“Tidak ada riba dalam hewan-hewan. Ada tiga hal yang dilarang dalam (jual-beli) hewan: al-madamin, al-malaqih dan babal al-babala. al-madamin adalah menjual apa yang ada dalam rahim unta-unta betina. al-malaqih adalah penjualan kualitas-keturunan unta.” (maksudnya: karena bibitnya atau induknya)
Malik berkata,
“Tidak seorangpun yang boleh membeli hewan tertentu jika itu tidak kelihatan olehnya atau berada di tempat lain, meskipun jika ia sudah pernah melihatnya kemarin ataupun ia sudah beberapa lama tidak melihatnya dan ia cukup senang sehingga ia mau membayar harganya secara tunai.”
Malik berkata,
“Itu tidak dibenarkan karena penjual (dapat) memanfaatkan harganya sementara tidak diketahui apakah barang-barang tersebut akan seperti yang telah dilihat oleh pembeli atau tidak. Untuk alasan itu, hal ini tidak dibenarkan. Tidak ada larangan dalam hal ini jika dijelaskan dan diberikan jaminan.”

Bab 31.27.   Menukarkan Hewan dengan Daging

65. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Zayd ibn Aslam, dari Sa’id ibn al-Musayyab bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang membarter hewan hidup dengan daging.
66. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Da’ud ibn al-Husayn bahwa ia mendengar Sa’id ibn al-Musayyab berkata,
“Bagian dari judi orang-orang Jahiliyya adalah membarter hewan hidup dengan daging dari hewan yang telah disembelih, misalnya: satu ekor domba hidup untuk dua ekor domba yang sudah disembelih.”
67. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abu’z-Zinad bahwa Sa’id ibn al-Musayyab berkata,
“Membarter hewan-hewan hidup untuk daging adalah dilarang.”
Abu’z-Zinad berkata,
“Aku berkata kepada Sa’id ibn al-Musayyab:
‘Bagaimana menurutmu tentang seseorang yang membeli seekor unta tua dengan sepuluh domba?’
Sa’id berkata,
“Jika ia membelinya untuk menyembelihnya, tidak ada kebaikan di dalamnya.”
Abu’z-Zinad menambahkan,
“Semua orang (maksudnya: para sahabat) yang telah aku temui melarang membarter hewan hidup dengan daging.”
Abu’z-Zinad berkata,
“Ini tertulis dalam surat penunjukan gubernur pada masa Aban ibn Usman dan Hisyam ibn Isma’il.”

Bab 31.28. Menjual Daging dengan Daging

68. Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di antara kami adalah daging unta, sapi, biri-biri dan lain-lain tidak boleh dibarter satu banding satu, kecuali yang sebanding, berat dengan berat, dari tangan ke tangan. Tidak ada larangan dalam hal itu. Jika tidak ditimbang, maka diperkirakan agar sebanding, dari tangan ketangan.
Malik berkata,
“Tidak ada larangan untuk membarter daging ikan dengan daging unta, sapi, biri-biri, dan lain-lain, dua banding satu, secara tunai, Akan tetapi, jika pembayaran yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu masuk ke dalam transaksi, maka tidak ada kebaikan di dalamnya.”
Malik berkata,
“Aku pikir unggas berbeda dari daging sapi dan ikan. Menurutku, tidak ada larangan untuk menjual sebagian dari jenis tertentu untuk sebagian dari jenis yang lain, sebagian lebih banyak dari yang lainnya, secara tunai. Tidak satupun dari itu yang boleh dijual secara tunda.”

Bab 31.29.   Penjualan Anjing

69. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Ibn Shihab, dari Abu Bakr ibn Abd ar-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam, dari Abu Mas’ud al-Ansari bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, mengharamkan penjualan anjing, upah pelacuran dan upah peramal-keberuntungan.
Yang dimaksudkan dengan upah pelacuran olehnya adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang wanita karena zina. Hasil dari peramal keberuntungan adalah sesuatu yang diberikan kepadanya agar ia meramalkan keberuntungan.
Malik berkata,
“Aku tidak membenarkan penjualan anjing, baik itu anjing untuk berburu ataupun bukan. Karena Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang penjualan anjing.”

Bab 31.30.   Pembayaran-dimuka dan Penjualan Beberapa Barang untuk Barang Lainnya

70.          Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang ‘penjualan beserta peminjaman’.
Malik berkata,
“Penjelasan tentang apa maksudnya adalah jika seseorang berkata kepada orang lain,
‘Aku akan mengambil barang-barangmu seharga ini-dan-ini jika kamu meminjamkan kepadaku ini-dan-ini,’
Jika mereka setuju terhadap transaksi semacam ini, maka ini tidak diperbolehkan. Jika seseorang yang mengusulkan pinjaman itu menghilangkan usulnya (persyaratannya), maka penjualan tersebut diperbolehkan.”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan untuk mempertukarkan kain linen dari Shata dengan pakaian dari Itribi atau Qass atau Ziq, atau kain dari Herat atau Marv dengan jubah dan selendang/syal dari Yaman, dan (barang-barang) yang seperti ini dengan satu banding dua atau tiga, dari tangan ke tangan ataupun secara tunda (dalam jangka waktu tertentu). Jika barang-barangnya berasal dari jenis yang sama, dan penundaan masuk dalam transaksi maka Tidak ada kebaikan di dalamnya.”
Malik berkata,
“Ini tidak baik kecuali jika mereka (barang-barang tersebut) berbeda, dan perbedaan mereka jelas. Jika mereka digabungkan menjadi satu, meskipun namanya berbeda, jangan mengambil dua untuk satu, misalnya dua pakaian dari Herat untuk satu dari Marv atau satu Quhy dengan pembayaran tertunda, atau dua pakaian dari Furqub untuk satu dari Shata, Kesemuanya ini sama, maka jangan membeli dua banding satu secara tunda.”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan untuk menjual apa yang engkau beli dari benda-benda semacam ini, sebelum engkau memenuhi seluruh kesepakatan, kepada seseorang selain orang yang engkau beli barang-barang itu darinya jika harganya dibayar secara tunai.”

Bab 31.31.   Pembayaran-dimuka untuk (Pembelian) Barang

71. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Yahya ibn Sa’id bahwa al-Qasim ibn Muhammad berkata,
“Aku mendengar Abdullah ibn Abbas berkata kepada seseorang yang bertanya kepadanya tentang pembayaran-dimuka untuk pakaian dan kemudian ingin menjualnya kembali sebelum mengambil alih pemilikan barang tersebut sepenuhnya,
‘Itu seperti pertukaran perak untuk perak,’
dan ia tidak membenarkan hal itu.”
Malik berkata,
“Pendapat kami – dan Allah Maha Mengetahui – itu karena ia ingin menjual barang-barang tersebut kepada orang yang ia telah beli barang-barang itu darinya dengan harga yang lebih tinggi dari harga (sewaktu) ia membeli mereka. Namun, jika ia menjualnya kepada seseorang selain yang ia beli barang-barang itu darinya, maka tidak akan ada larangan di dalamnya.”
Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di antara kami mengenai pembayaran-dimuka untuk budak, biri-biri atau barang-barang adalah bahwa ketika semua yang akan ia jual dideskripsikan dan diberlakukan pembayaran-dimuka untuk tanggal tertentu, dan tanggal yang telah disepakati tiba, pembeli tidak boleh menjual yang manapun dari apa yang ia beli kepada orang yang telah menjual barang-barang itu kepadanya dengan harga yang lebih tinggi yang mana ia sudah melakukan pembayaran-dimuka, sebelum ia mengambil alih kepemilikan sepenuhnya terhadap apa-apa yang telah ia bayarkan dimuka. Jika ia lakukan, maka itu adalah riba. Jika si pembeli memberikan dinar atau dirham kepada si penjual dan ia memperoleh keuntungan, maka ketika barang tersebut datang kepada pembeli dan ia tidak menjadikannya sebagai barang miliknya namun menjualnya kembali kepada pemilik asalnya (penjual) dengan harga lebih tinggi dari apa yang telah ia berikan sebagai pembayaran-dimuka untuk barang-barang tersebut, hasilnya adalah apa yang telah ia berikan sebagai pembayaran-dimuka telah kembali kepadanya dan bertambah untuknya.[33]
Malik berkata,
“Jika seseorang memberi pembayaran-dimuka berupa emas atau perak untuk hewan atau barang-barang yang akan dikirimkan sebelum tanggal yang telah ditentukan, dan tanggal tersebut tiba, atau sebelum atau setelah tanggal tersebut, tidak ada larangan bagi si pembeli untuk menjual barang-barang tersebut kepada si penjual untuk barang-barang lainnya yang akan langsung ia diambil tanpa penundaan, tidak peduli berapapun banyaknya barang-barang tersebut, kecuali dalam kasus makanan karena tidak halal untuk menjual makanan sebelum ia memiliki kepemilikan-nya sepenuhnya. Pembeli dapat menjual barang-barang tersebut kepada seseorang selain orang yang ia bayarkan kepadanya emas, perak, atau barang lain (yang berfungsi sebagai uang atau alat  barter). Ia mengambil alih pemilikan dan tidak menundanya, karena jika ia menundanya maka penundaan tersebut menjadi hal yang buruk dan masuk ke dalam transaksi yang tidak dibenarkan – penundaan terhadap hal yang tertunda. Maksud dari ‘penundaan terhadap hal yang tertunda’ adalah ‘menjual hutang kepada seseorang untuk sebuah hutang yang ada pada orang lainnya.’[34]
Malik berkata,
“Jika seseorang memberikan pembayaran-dimuka untuk barang-barang yang akan dikirimkan setelah waktu tertentu, dan barang-barang tersebut bukan sesuatu untuk dimakan ataupun diminum, ia dapat menjualnya kepada siapapun yang ia kehendaki secara tunai[35] atau untuk barang-barang[36], sebelum ia terima kirimannya, kepada seseorang selain orang yang ia beli barang-barang itu darinya. Ia tidak boleh menjualnya kepada orang yang menjual barang tersebut kepadanya kecuali untuk barang-barang yang langsung ia ambil alih pemilikannya, tanpa menundanya.”
Malik berkata,
“Jika tanggal pengiriman untuk barang-barang tersebut belum tiba, tidak ada larangan untuk menjualnya kepada pemilik sebelumnya untuk (dibarter dengan) barang-barang yang jelas berbeda dan yang langsung ia ambil alih pemilikannya, tanpa menunda.”
Malik berbicara tentang kasus seseorang yang memberikan pembayaran-dimuka dalam bentuk dinar atau dirham untuk 4 potong kain tertentu, untuk dikirimkan sebelum waktu tertentu, dan ketika waktu tersebut tiba, ia menagih pengiriman tersebut dari si penjual namun si penjual tidak memilikinya. Kemudian ia temukan si penjual memiliki kain yang kualitasnya lebih rendah, dan penjual berkata bahwa ia akan memberikan kepadanya delapan potong kain tersebut (sebagai ganti). Malik berkata,
“Tidak ada larangan dalam hal itu jika ia mengambil kain yang ditawarkan sebelum mereka berpisah. Tidak baik jika penundaan masuk dalam transaksi tersebut. Juga tidak baik jika itu dilakukan sebelum akhir dari waktu yang telah ditentukan, kecuali ia menjual kepadanya kain yang bukan se-tipe atau se-jenis yang telah mereka sepakati untuk harga pada pembayaran-dimuka sebelumnya.

Bab 31.32.   Menjual Barang yang Dapat Ditimbang Seperti Tembaga, Besi dan yang Sejenis

72. Malik berkata,
“Yang biasanya disepakati di antara kami mengenai apa pun yang dapat ditimbang selain emas dan perak, misalnya tembaga, kuningan, timah, timah hitam, besi, tumbuhan, buah ara, kapas, dan barang-barang lain semacam ini yang ditimbang, adalah tidak ada larangan untuk membarter semua jenis barang-barang ini 2:1, secara tunai. Tidak ada larangan untuk mengambil 1 ritl[37] besi untuk 2 ritl besi, dan 1 ritl kuningan untuk 2 ritl kuningan.”
Malik berkata,
“Tidak ada kebaikan dalam 2:1 untuk barang yang sama jenisnya jika disertai dengan penundaan. Tidak ada larangan untuk mengambil 2 dari jenis tertentu untuk (dibarter) dengan 1 dari jenis yang lain dengan penundaan, jika kedua jenis barang tersebut jelas berbeda. Jika kedua jenis itu digabungkan satu sama lainnya (bercampur) namun namanya berbeda, seperti timah dan timah hitam, kuningan dan kuningan yang berwarna kuning, aku tidak membenarkan untuk mengambil 2 dari jenis yang satu untuk ditukar dengan 1 dari jenis yang lain dengan cara penundaan.”
Malik berkata,
“Ketika membeli sesuatu dari benda-benda di atas, tidak ada larangan untuk menjualnya lagi sebelum mengambil alih pemilikan benda-benda tersebut kepada seseorang selain orang yang benda-benda itu dibeli darinya, dengan syarat pembayarannya langsung diambil dan barang-barang tersebut ditimbang atau diukur. Jika barang-barang tersebut dibeli tanpa diukur, maka ia harus dijual kepada seseorang selain orang yang benda-benda itu dibeli darinya, baik secara tunai maupun secara tunda. Itu karena barang-barang tersebut harus diberi garansi ketika ia dijual berdasarkan beratnya sampai proses penimbangan dan kesepakatan dilengkapi. Ini pendapat terbaik, sepanjang yang telah aku dengar mengenai hal-hal ini, dan terus dilakukan oleh masyarakat di antara kami.”
Malik berkata,
“Cara yang berlaku di masyarakat kami terhadap sesuatu yang diukur dan ditimbang, yang tidak dimakan ataupun diminum, seperti biji kurma, dedaunan makanan hewan, cat nila dan benda-benda semacam ini adalah tidak ada larangan untuk membarter semua yang semacam ini 2:1, secara tunai. Jangan mengambil dua untuk satu dari jenis yang sama secara tunda. Jika jenisnya jelas berbeda, tidak ada larangan untuk mengambil dua dari satu jenis untuk satu dari jenis yang lain secara tunda, Tidak ada larangan untuk menjual apapun yang dibeli dari jenis ini, sebelum menerima kiriman barangnya, jika harganya diambil dari seseorang selain orang yang barang-barang itu dibeli darinya.”
Malik berkata,
“Segala sesuatu dari jenis manapun yang menguntungkan manusia, seperti batu kerikil dan gypsum, dengan berbandingan kuantitas 1:2 dari jenis yang sama dengan penundaan pembayaran, adalah Riba. Atau dengan perbandingan kuantitas yang sama (1:1) dari keduanya ditambah dengan beberapa penambahan lagi dan disertai penundaan pembayaran, adalah Riba.”

Bab 31.33.   Larangan untuk Melakukan Dua Penjualan Dalam Satu Penjualan

73. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang Dua Penjualan Dalam Satu Penjualan.
74. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar seseorang berkata kepada yang lain,
“Beli unta ini secepatnya untukku sehingga aku bisa membelinya darimu secara cicilan.”[38]
Abdullah ibn Umar ditanya tentang itu dan ia tidak membenarkannya serta melarangnya.
75. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa al-Qasim ibn Muhammad ditanya tentang seseorang yang membeli barang-barang seharga 10 dinar secara tunai atau 15 dinar secara cicilan. Ia tidak membenarkannya dan melarangnya.
Malik berkata bahwa jika seseorang membeli barang dari seseorang lainnya untuk salah satu dari dua pilihan harga, yaitu 10 dinar ataupun 15 dinar secara cicilan, kemudian salah satu dari kedua pilihan harga ini diwajibkan kepada si pembeli. Hal semacam ini hendaknya tidak dilakukan, sebab jika ia menolak membayar yang 10 dinar, maka ia harus membayar 15 dinar secara cicilan, dan jika ia membayar yang 10 dinar, maka ia telah membeli sesuatu yang senilai 15 dinar yang harus dibayar secara cicilan.
Malik berkata bahwa tidak dibenarkan bagi seseorang untuk membeli barang-barang dari seseorang untuk salah satu dari dua pilihan berikut; satu dinar secara tunai atau seekor domba secara cicilan, dan salah satu dari kedua harga itu diwajibkan atasnya. Hal tersebut jangan dilakukan, karena Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang dua penjualan dalam satu penjualan, dan yang demikian itu termasuk dalam jenis dua penjualan dalam satu.
Malik berbicara tentang seseorang yang berkata kepada lainnya,
“Aku akan membeli dari engkau salah satu dari dua pilihan berikut; 15 sa’ kurma ‘ajwa, atau 10 sa’ kurma sayhani, atau aku akan membeli 15 sa’ tepung gandum berkualitas rendah, atau 10 sa’ tepung gandum Syria, seharga 1 dinar, dan salah satu dari barang-barang yang disebutkan tadi diwajibkan atas ku.”
Malik berkata bahwa itu tidak dibenarkan dan tidak halal. Yang demikian itu karena ia mengharuskan untuknya 10 sa’ kurma sayhani, dan kemudian ia tinggalkan serta mengambil 15 sa’ kurma ‘ajwa, atau ia mengharuskan 15 sa’ tepung gandum yang berkualitas rendah dan kemudian ia tinggalkan serta mengambil 10 sa’ tepung gandum Syria. Ini juga tidak dibenarkan dan tidak halal. Ini mirip dengan apa yang dilarang dalam praktik dua penjualan dalam satu penjualan. Ini juga termasuk dalam larangan membeli dua untuk satu dari jenis makanan yang sama

Bab 31.34. Transaksi yang di Dalamnya Terdapat Ketidak-pastian

76. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abu Hazim ibn Dinar, dari Sa’id ibn al-Musayyab bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang jual-beli yang mengandung ketidakpastian di dalamnya.
Malik berkata,
“Satu contoh dari sejenis ketidakpastian transaksi dan resiko adalah seorang laki-laki yang menyatakan bahwa harga dari hewan ataupun budak yang kabur adalah 50 dinar. Seseorang berkata,
‘Aku akan mengambilnya darimu dengan harga 20 dinar.’
Jika pembeli menemukannya, si penjual kehilangan 30 dinar, dan jika ia tidak menemukannya, penjual mengambil 20 dinar dari pembeli.”
Malik berkata,
“Ada kesalahan lain di dalamnya. Jika hewan yang tersesat ditemukan, tidak diketahui apakah nilainya akan bertambah atau berkurang, atau apakah ada cacat yang menimpanya. Transaksi ini penuh dengan ketidakpastian dan risiko.”
Malik berkata,
“Menurut amal yang kami lakukan, selah satu jenis ketidakpastian dan resiko di dalam transaksi adalah menjual apa yang masih di dalam rahim – baik itu rahim wanita ataupun hewan betina – karena tidak diketahui apakah janin tersebut akan keluar atau tidak, tidak diketahui apakah akan cantik atau jelek, normal atau cacat, jantan atau betina. Kesemuanya itu berbeda. Jika ia begini, maka harganya adalah ini-dan-ini, dan jika ia begitu, maka harganya adalah ini-dan-ini.”
Malik berkata,
“Betina tidak boleh dijual dengan persyaratan – apa yang dikeluarkan dari kandungannya. Misalnya, seseorang berkata kepada orang lainnya:
‘Harga dombaku yang memiliki banyak air-susu itu berharga 3 dinar. Ia akan menjadi milikmu dengan harga 2 dinar, tapi aku akan memiliki bayinya nanti.’
Ini tidak dibenarkan, karena ini adalah transaksi yang tidak pasti dan memiliki resiko.”
Malik berkata,
“Tidak halal untuk menjual zaitun untuk minyak zaitun, wijen untuk minyak wijen, atau mentega untuk minyak samin karena transaksi muzabana masuk ke dalamnya, sebab orang yang membeli bahan mentah untuk sesuatu yang dihasilkan olehnya (bahan jadi) tidak tahu apakah bahan mentah itu akan menghasilkan lebih banyak atau lebih sedikit, maka ini adalah transaksi yang mengandung ketidakpastian dan memiliki resiko.”
Malik berkata,
“Kasusnya sama seperti membarter biji-ban[39] untuk minyak-ban. Yang demikian adalah transaksi yang mengandung ketidakpastian karena hasil dari biji-ban adalah minyak-ban. Tidak ada larangan untuk menjual biji-ban dengan minyak-ban yang sudah di beri parfum, karena minyak-ban sudah diberi parfum telah mengalami pencampuran, dan pererubahan dari keadaan awalnya, yakni ‘minyak biji-ban mentah’.
Malik, berbicara tentang seseorang yang menjual barang kepada orang lain dengan ketentuan, tidak boleh ada kerugian bagi si pembeli,[40]
“Transaksi ini tidak diperbolehkan dan ini adalah termasuk bagian dari resiko. Penjelasan mengapa demikian adalah, seakan-akan penjual menyewa atau mempekerjakan si pembeli untuk memperoleh untung jika barang tersebut menghasilkan untung. Jika ia menjual barang-barang itu dengan adanya kerugian, maka ia tidak memperoleh apa-apa, dan usahanya tersebut tidak memperoleh ganti-rugi. Ini tidak baik. Dalam transaksi semacam ini, pembeli harus memperoleh upah sesuai dengan kontribusi yang telah ia berikan. Apa pun yang terjadi, kerugian ataupun keuntungan pada barang itu adalah resiko dan tanggungan penjual. Ini hanya berlaku jika barang tersebut habis dan terjual. Jika tidak, transaksi diantara mereka batal.”
Malik berkata,
“Bagi seseorang yang membeli barang dari seseorang dan pembeli menyesal serta minta agar harganya dikurangi sementara penjual menolak serta berkata,
‘Juallah barang itu dan aku akan mengganti kerugiannmu,’
tidak ada larangan dalam hal ini karena tidak ada resiko. Ini adalah sesuatu yang ia usulkan untuknya, dan transaksi mereka tidak didasarkan atas itu. Itulah yang diamalkan di antara kami.’

Bab 31.35.   Al-Mulamasa dan al-Munabaza

77. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Muhammad ibn Yahya ibn Habban dan dari Abu’z-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang mulamasa dan munabaza.
       Malik berkata,
Mulamasa adalah jika seseorang dapat meraba sebuah pakaian namun tidak diperbolehkan untuk membukanya dan menguji apa yang ada di dalamnya.[41] Munabaza adalah seseorang yang melemparkan pakaiannya kepada orang lain, dan orang tersebut melemparkan pakaiannya tanpa satupun diantara mereka yang meneliti. Kedua-duanya berkata,
‘Ini untuk ini.’
Inilah yang dilarang diantara mulamasa dan munabaza.”
      Malik berkata bahwa menjual (barang) dalam buntalan (tempat barang) dengan daftar isinya berbeda dengan menjual jubah yang tertutup dalam sebuah tasataupun pakaian yang dilipat atau yang semacamnya. Yang membuatnya berbeda adalah orang-orang terbiasa dengan praktek ini, dan telah diLakukan oleh orang-orang di masa lalu, dan itu masih merupakan transaksi dan perdagangan yang diperbolehkan, di mana mereka melihat bahwa di dalamnya tidak ada bahaya, karena penjualan buntalan dengan daftar isi tanpa membukanya tidak dimaksudkan untuk transaksi yang mengandung ketidakpastian, dan itutidak termasuk mil/amasa.

Bab 31.36.   Transaksi Murabaha (Kerja Sama antara Pemilik-modal dan Peminjam dalam Berbagi Keuntungan dalam Penjualan-Kembali)

78. Yahya menyampaikan kepadaku bahwa Malik mengatakan,
“Yang biasanya disepakati di antara kami tentang seseorang yang membeli pakaian di sebuah kota dan kemudian membawanya ke kota lain untuk menjualnya sebagai murabaha adalah ia tidak diperhitungkan untuk memperoleh upah sebagai pengelola-modal ataupun upah untuk menyetrika, melipat, meluruskan, biaya-biaya, ataupun sewa rumah. Mengenai biaya angkut bahan-kain tersebut, termasuk dalam harga dasar dan tidak ada bagian keuntungan yang dialokasikan untuk itu kecuali si pengelola-modal membicarakan hal itu kepada pemilik-modal. Jika mereka sepakat untuk berbagi keuntungan berdasarkan apa yang mereka ketahui itu, maka tidak ada larangan untuk itu.”
Malik melanjutkan:
“Sedangkan pemutihan, penjahitan, pewarnaan, dan yang semacamnya diperlakukan sama sebagaimana bahan-kain. Keuntungan dihitung sebagaimana dalam perhitungan barang-barang yang berbahan-kain. Oleh karena itu, jika ia menjual barang yang berbahan-kain tanpa menjelaskan apa yang kita sebut sebagai ‘tidak mendapat keuntungan’, dan barang berbahan-kain itu sendiri sudah tidak ada, maka ongkos angkut harus dihitung, namun tidak boleh ada keuntungan yang diberikan. Jika barang-barang yang berbahan-kain tersebut belum hilang, maka transaksi di antara mereka batal, kecuali mereka membuat kesepakatan baru bersama, tentang apa yang akan diperbolehkan di antara mereka.
Malik berbicara mengenai seorang pengelola-modal yang membeli barang-barang dengan pembayaran emas atau perak, dan nilai tukar pada hari pembelian adalah 10 dirham untuk 1 dinar. Ia membawa barang-barang tersebut ke sebuah kota untuk menjualnya sebagai murabaha, ataupun menjual barang-barang tersebut di tempat dimana ia membelinya menurut nilai tukar pada hari ia menjualnya. Jika ia membeli dengan dirham dan menjual dengan dinar, atau ia membeli dengan dinar dan menjual dengan dirham, dan barang-barang tersebut tidak hilang, maka ia dapat memilih. jika ia mau, ia dapat menerima untuk menjual barang-barang tersebut, dan jika ia mau, ia dapat meninggalkan mereka. Jika barang-barang tersebut sudah terjual, ia memperoleh harga senilai yang dibeli oleh penjual (salesman) tersebut, dan salesman dipertimbangkan untuk memperoleh keuntungan dari pembelian barang-barang itu, atas keuntungan yang diperoleh oleh pemilik-modal.
Malik berkata,
“Jika seseorang menjual barang-barang senilai 100 dinar (modal) dengan 110 dinar (harga jual), dan ia mendengar setelah itu bahwa barang-barang tersebut bernilai 90 dinar, dan barang-barang itu sudah hilang, penjual memiliki pilihan. Jika ia suka, ia memperoleh harga barang-barang itu senilai hari mereka diambil darinya kecuali harga tersebut lebih dari harga yang diharuskan atasnya untuk menjualnya, dan ia tidak memiliki lebih dari itu, yakni 110 dinar. Jika ia suka, ini dapat dihitung sebagai keuntungan atas 90 kecuali harga yang dicapai barang itu kurang dari harga itu (90 dinar). Ia diberi pilihan antara harga barang itu diambil dan modal ditambah keuntungan, yakni 99 dinar.”
Malik berkata,
“Jika seseorang menjual barang-barang secara murabaha dan ia berkata,
‘Ini dijual kepadaku senilai 100 dinar.’
Kemudian ia mendengar setelah itu bahwa barang itu senilai 120 dinar, pembeli[42] diberi pilihan. Jika ia suka, ia memberi kepada salesman nilai barang senilai pada hari ia mengambil barang itu, dan jika ia suka, ia memberikan harga untuk barang-barang yang ia beli sesuai dengan perhitungan keuntungan yang ia berikan kepadanya, sebesar apapun itu, kecuali harganya kurang dari harga ia membelinya, hendaknya ia tidak memberi pemilik barang kerugian dari harga ia membelinya sebab ia sudah puas dengan harga itu. Pemilik barang datang untuk mencari kelebihan (keuntungan), sehingga pembeli tidak punya argument terhadap salesman untuk mengurangi harga dasar yang ia beli menurut daftar harga barang.”

Bab 31.37.   Penjualan Berdasarkan Katalog

79. Malik berbicara tentang apa yang telah dilakukan di antara mereka dalam kasus sekelompok orang yang membeli barang-barang, bahan-kain milik budak, atau seseorang mendengar tentang itu dan berkata kepada salah satu anggota kelompok tersebut:
“Aku mendengar gambaran dan keadaan dari bahan-kain yang engkau beli dari ini dan-ini, dapatkah aku berikan kepadamu keuntungan sejumlah ini-dan-ini untuk mengambil alih bagian yang engkau miliki?”
Orang ini setuju, dan orang tadi memberikan kepadanya keuntungan dan menggantikan posisinya sebagai rekanan. Kemudian, ketika ia melihat kepada barang yang dibeli, ia melihat bahwa ternyata itu jelek dan terlalu mahal.
Malik berkata,
“Itu resiko yang harus ditanggungnya dan tidak ada pilihan baginya jika ia membeli berdasarkan daftar isi dan gambarannya dengan baik diketahui.”
Malik berbicara tentang seseorang yang telah menerima kiriman bahan-kain, dan para penjual datang kepadanya, ia membacakan kepada mereka daftar isinya dan berkata,
“Dalam setiap kantong terdapat satu bungkusan ini-dan-ini dari Basra dan satu bungkusan kecil ini-dan-ini dari Sabir. Ukuran mereka adalah ini-dan-ini,”
dan ia menyebutkan jenis-jenis bahan-kain tersebut dan berkata,
“Belilah dariku menurut gambaran ini.”
Mereka membeli kantong-kantong itu sesuai dengan gambaran yang ia berikan kepada mereka, dan kemudian setelah membeli, mereka menemukan bahwa itu terlalu mahal dan menyesalinya. Malik berkata,
“Penjualan mengikat mereka jika barang-barang sesuai dengan daftar isi yang ia jual kepada mereka.”
Malik berkata,
“Inilah yang diamalkan di antara kami sampai hari ini. Mereka membolehkan penjualan dengan menyebutkan barang-barang jika barang-barang tersebut sesuai dengan daftar isi serta tidak berbeda darinya.”

Bab 31.38. Hak untuk Mengundurkan Diri (Khiyar)

80. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Kedua belah pihak dalam transaksi bisnis berhak untuk mengundurkan diri sepanjang mereka belum berpisah, kecuali hal itu adalah penjualan yang tunduk kepada sebuah pilihan.
Malik berkata,
“Tidak ada batas tertentu dan keadaan tertentu yang diterapkan dalam kasus ini menurut kami.”
81. Malik menyampaikan kepadaku bahwa ia telah mendengar bahwa Abdullah ibn Mas’ud dahulu biasa menyampaikan bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Jika dua pihak berselisih mengenai sebuah transaksi bisnis, maka kata-kata penjual yang menjadi acuan, atau mereka setuju untuk membatalkan jual-beli.”
Malik berbicara tentang seseorang yang menjual barang kepada seorang laki-laki dan berkata ketika jual-beli tersebut sudah disepakati,
“Aku akan menjual kepadamu jika aku sudah berkonsultasi kepada ini-dan-ini. Jika ia ridho, jual-beli tersebut diperbolehkan. Jika ia tidak menyukainya, tidak ada jual-beli di antara kita.”
Mereka melakukan transaksi berdasarkan hal ini dan kemudian pembeli menyesali transaksi itu sebelum si penjual mengkonsultasikan nya kepada orang tersebut.
Malik berkata,
“Jual-beli mengikat mereka sesuai dengan yang telah mereka gambarkan. Pembeli tidak punya hak untuk mengundurkan diri, dan jual-beli mengikat atas dirinya jika orang yang telah ditetapkan oleh penjual memperbolehkan jual-beli itu.”
Malik berkata,
“Amal-an di antara kami tentang seseorang yang membeli barang dari orang lain dan mereka berbeda (pendapat) mengenai harganya, dan si penjual berkata,
‘Aku menjual mereka (barang-barang itu) kepadamu seharga 10 dinar,’
dan pembeli berkata,
‘Aku membeli mereka dari engkau seharga 5 dinar,’
Maka dikatakan kepada penjual,
‘Jika engkau suka, berikanlah barang-barang itu kepada pembeli seharga yang telah ia sebutkan. Jika engkau suka, bersumpahlah demi Allah bahwa engkau hanya menjual barang-barangrnu seharga yang telah engkau sebutkan.’
Jika ia bersumpah, maka dikatakan kepada pembeli,
‘Engkau dapat mengambil barang-barang tersebut seharga yang telah disebutkan penjual, atau engkau bersumpah demi Allah bahwa engkau membeli barang-barang tersebut seharga yang telah engkau sebutkan.’
Jika ia bersumpah, ia bebas untuk mengembalikan barang itu, jika setiap orang dari mereka bersumpah atas yang lain.”

Bab 31.39. Riba dalam Hutang

82. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abu’z-Zinad, dari Busr ibn Sa’id, dari Ubayd Abu Salih, mawla as-Saffah, bahwa ia berkata,
“Aku menjual beberapa bahan-kain kepada orang-orang Dar Nakhla secara cicilan. Kemudian aku mau pergi ke Kufa, maka mereka mengusulkan agar aku mengurangi harga untuk mereka dan mereka akan membayarku secara langsung. Aku bertanya kepada Zayd ibn Tsabit tentang itu dan ia berkata,
‘Aku perintahkan kepadamu untuk tidak menerima penambahan ataupun membolehkannya kepada siapa saja.’”[43]
83. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Usman ibn Hafs ibn Khalda, dari Ibn Shihab, dari Salim ibn Abdullah bahwa Abdullah ibn Umar ditanya tentang seseorang yang mengambil hutang kepada orang lain untuk waktu tertentu. Orang yang memberi pinjaman mengurangi hutang tersebut dan orang yang berhutang membayarnya secara langsung. Abdullah ibn Umar tidak menyukainya dan melarangnya.
84. Malik menyampaikan kepadaku bahwa Zayd ibn Aslam berkata,
“Riba di masa Jahiliyya adalah seseorang memberikan hutang kepada orang lain untuk waktu tertentu, Ketika waktu tersebut tiba, ia berkata,
‘Apakah engkau akan membayarnya atau meningkatkannya untuk ku[44]?’
Jika orang tersebut membayar, maka ia mengambilnya. Jika tidak, maka ia meninggikan beban pembayaran hutang tersebut dan memperpanjang waktu baginya.”
Malik berkata,
“Amal-an yang tidak diperbolehkan di antara kami, dan tidak ada perselisihan di dalamnya, adalah ketika seseorang memberikan hutang kepada orang lain untuk waktu tertentu, dan kemudian penagih hutang mengurangi beban pembayaran hutang tersebut dan orang yang berhutang membayar hutangnya lebih dahulu.[45] Bagi kami, ini sama seperti seseorang yang menunda pembayaran hutangnya kepada pemberi-hutang setelah waktunya tiba, dan si pemberi-hutang meninggikan beban pembayaran hutangnya.”[46]
Malik berkata,
“Ini tidak lain adalah riba, tidak ada keraguan mengenainya.”
Malik berbicara tentang seseorang yang meminjamkan 100 dinar kepada orang lain dalam dua jangka waktu. Ketika waktunya tiba, orang yang berhutang berkata,
“Juallah kepadaku beberapa barang yang harga tunainya 100 dinar untuk harga 150 dinar dengan cicilan.”
Malik berkata,
“Transaksi ini tidak baik, dan para Ulama melarangnya.”
Malik berkata,
“Kasus di atas tidak diperbolehkan, karena orang yang-memberi-pinjaman memberikan orang-yang-berhutang harga seperti yang diterimanya, dan ia menunda pembayaran 100 dinar pada transaksi pertama untuk si penghutang untuk waktu yang disebutkan baginya di transaksi kedua, dan orang yang berhutang menaikkan 50 dinar karena penundaannya, Itu tidak dibenarkan dan tidak baik. Itu seperti hadits yang diriwayatkan oleh Zayd ibn Aslam mengenai transaksi orang-orang Jahiliyya. Ketika pinjaman mereka datang, mereka berkata kepada orang yang berhutang:
‘Engkau membayar lunas atau meninggikannya.’
Jika mereka dibayar, mereka mengambilnya. Jika tidak, mereka meninggikan beban pembayarab hutang orang yang berhutang dan memperpanjang waktu bagi mereka.”

Bab 31.40.   Hutang dan Pengalihan Hutang Secara Umum

85. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abu’z-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Menunda-nunda pembayaran hutang oleh orang kaya adalah ketidak-adilan, tapi ketika salah seorang diantaramu ditunjuk untuk menyanggupi seseorang atas pembayaran, maka terimalah penyerahan itu.”
86. Malik menyampaikan kepadaku, dari Musa ibn Maysara bahwa ia mendengar seseorang berkata kepada Sa’id ibn al-Musayyab,
“Aku adalah orang yang berjualan dengan cara menghutangkan.”
Sa’id berkata,
“Jangan berjualan kecuali apa yang engkau ambil (bawa) langsung dengan untamu.”
Malik berbicara tentang seseorang yang membeli barang dari seorang penyedia barang, bahwa orang tersebut menyediakan baginya barang-barang itu pada tanggal tertentu, baik di waktu pasar – yang ia harap, ia dapat menjual barang-barang itu – ataupun untuk memenuhi kebutuhan untuk waktu yang ia perkirakan. Kemudian si penjual gagal memenuhinya pada tenggat waktu yang disepakati, dan si pembeli ingin mengembalikan barang-barang itu kepada si penjual. Malik berkata,
“Si pembeli tidak dapat melakukan hal itu, karena transaksi penjualan masih mengikat mereka, Jika si penjual membawa barang-barang itu sebelum waktu perjanjian selesai, pembeli tidak dapat dipaksa untuk mengambilnya.”
Malik berbicara tentang seseorang yang membeli makanan, dan pembeli tersebut menakarnya, Kemudian seseorang datang kepada si pembeli[47] untuk membeli makanan tadi, dan ia berkata kepadanya bahwa ia telah menakarnya untuk dirinya sendiri dan telah mengambilnya semua. Si pembeli-yang-baru ini kurang mempercayainya dan dengan berat hati menerima pengukurannya. Malik berkata,
“Apa pun yang dijual dengan cara ini, secara tunai, maka tidak ada larangan di dalamnya. Namun demikian, apa pun yang dijual dengan cara ini, dengan cara tunda, maka tidak dibenarkan, kecuali si pembeli-baru mengukurnya sendiri. Jual-beli dengan jangka waktu pembayaran tertentu tidak dibenarkan karena transaksi semacam ini menggiring kepada Riba, dan dikhawatirkan barang-barang tersebut bersirkulasi dengan cara ini tanpa ditimbang ataupun ditakar. Jika pembayarannya ditunda maka ini tidak dibenarkan, dan tidak ada perselisihan pendapat diantara kami mengenai masalah ini.”
Malik berkata,
“Seseorang tidak boleh membeli sebuah hutang yang dimiliki orang lain, baik orang tersebut ada ataupun tidak ada di tempat, tanpa konfirmasi dari orang yang memiliki hutang tersebut, seseorang juga tidak boleh membeli sebuah hutang yang dimiliki orang yang sudah meninggal, meskipun ada seseorang yang tahu apa yang ditinggalkan oleh almarhum. Itu karena pembelian ini adalah transaksi yang mengandung ketidakpastian, dan tidak yang tahu apakah transaksi ini akan diselesaikan atau tidak.”
Ia berkata,
“Penjelasan tentang apa yang tidak diperbolehkan, dalam membeli hutang yang dimiliki orang lain, yang tidak ada di tempat ataupun orang yang sudah meninggal, adalah tidak diketahuinya apa yang tidak diketahui oleh si penghutang, yang mungkin diklaim atas orang yang meninggal tersebut. Jika orang yang sudah meninggal tersebut bertanggung-jawab atas hutang yang lain, maka harga yang dibayar oleh si pembeli atas hutang tersebut bisa menjadi tidak bernilai.
Malik berkata,
“Ada juga kesalahan lain dalam hal itu. Ia membeli sesuatu yang tidak ada jaminan baginya, dan jika demikian, maka kesepakatan tersebut tidak terselesaikan, maka apa yang telah ia bayar menjadi tidak berguna. ini adalah transaksi yang mengandung ketidakpastian dan ini tidak baik.”
Malik berkata,
“Satu hal yang membedakan antara seseorang yang hanya menjual apa yang ia benar-benar miliki dengan seseorang yang menerima pembayaran di muka untuk sesuatu yang belum menjadi miliknya. Orang yang memberikan pembayaran-dimuka membawa emasnya dengan maksud untuk membeli dengan emasnya itu. Penjual berkata,
‘Ini 10 dinar. Apa yang engkau ingin agar aku membelikannya untukmu dengan emas ini?’
Ini seakan-akan, ia menjual (membarter) 10 dinar secara tunai dengan 15 dinar yang dibayarkan kemudian. Oleh karena itu, ini tidak dibenarkan. ini adalah sesuatu yang menggiring kepada riba dan penipuan.”

Bab 31.41.   Partnership, Pengalihan Tanggung-Jawab kepada Seorang Wakil, dan Pembatalan Jual-Beli

87. Malik berkata bahwa tidak ada larangan jika seseorang yang sedang menjual bahan-kain, dan telah menyisihkan beberapa kain dengan cap yang mereka berikan, menetapkan bahwa ia akan memilih kain yang memiliki cap itu. Jika ia tidak menetapkan bahwa ia akan memilih barang-barang itu ketika ia menyisihkannya, menurutku ia termasuk dari partnership dalam transaksi sejumlah kain-kain yang dibeli darinya. Itu karena, bisa saja dua buah bahan-kain capnya sama namun harganya jauh berbeda.
Malik berkata,
“Amal yang berlaku di antara kami adalah tidak ada larangan untuk bepartnership, mengalihkan tanggung-jawab kepada seorang wakil, dan pembatalan-transaksi yang berhubungan dengan makanan dan barang-barang lain, baik kepemilikannya sudah diambil ataupun belum, sepanjang transaksi dilakukan secara tunai, dan tidak ada keuntungan, kerugian, ataupun penundaan atas harganya.[48] Jika keuntungan, atau kerugian, atau penundaan harga dari salah satu pihak masuk ke dalam transaksi-transaksi ini, maka yang demikian menjadi transaksi-penjualan-biasa; yang mana wajib terkena hukum halal seperti halnya kehalalan dalam transaksi jual-beli, dan terkena hukum haram seperti halnya keharaman dalam transaksi jual-beli, dan yang demikian bukanlah sebuah bentuk partnership, atau sebuah bentuk pengalihan tanggung-jawab kepada seorang wakil, ataupun sebuah bentuk pembatalan-transaksi.”
Malik berbicara tentang seseorang (pihak I) yang membeli bahan-kain ataupun budak,[49] dan transaksi jual-beli pun telah selesai/ditutup[50], kemudian seseorang yang lain meminta untuk menjadi partnernya[51], dan ia setuju, dan partner baru itu membayar seluruh harga kepada penjual, dan kemudian sesuatu terjadi pada barang-barang tersebut sehingga mengakibatkan hak kepemilikan mereka dicabut. Malik berkata,
“Partner baru tersebut mengambil harganya[52] kembali darinya (pihak I), dan ia (pihak I) mengambil semua harganya[53] kembali dari penjual, kecuali jika ada perjanjian antara ia (pihak I) dan partner barunya tersebut selama transaksi jual-beli terjadi dan sebelum transaksi jual-beli selesai/ditutup[54] bahwa penjuallah yang bertanggung-jawab atasnya. Jika transaksi telah selesai[55] dan penjual telah menghilang, prasyarat yang diajukan olehnya (pihak I) menjadi batal, dan tanggung-jawab ada padanya (pihak I).”
Malik berbicara tentang seseorang yang meminta orang lain untuk membeli barang-barang tertentu untuk dibagi di antara mereka, ia ingin orang lain membayar untuknya dan ia akan menjual barang-barang tersebut untuk orang lain. Malik berkata,
“Itu tidak baik. Ketika ia berkata,
‘Bayarlah untuk ku, dan aku akan menjual barang ini untuk mu,’
maka dengan adanya pernyataan ini, transaksi ini berubah menjadi sebuah peminjaman yang ia buat untuknya dengan tujuan agar ia menjual barang itu untuknya dan jika barang-barang itu rusak atau hilang, orang yang membayar harganya akan menuntut partnernya atas apa yang telah ia modalkan untuknya. Yang demikan adalah dari bahagian peminjaman yang mendatangkan keuntungan.”
Malik berkata,
“Jika seseorang membeli barang-barang dan penjualannya telah selesai, dan kemudian seseorang berkata kepadanya,
‘Bagilah setengah dari barang-barang ini denganku dan aku akan menjual mereka semuanya untukmu,’
Yang demikian itu halal dan tidak ada larangan di dalamnya. Penjelasannya adalah bahwa transaksi tersebut adalah transaksi penjualan yang baru dan ia menjual untuk si penjual setengah dari barang-barang jika penjual menjual seluruh barang-barang tersebut.”

Bab 31.42. Jika Orang yang Berhutang Bangkrut

88. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Ibn Shihab, dari Abu Bakr ibn Abd ar-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Jika seseorang menjual barang dan kemudian pembeli jatuh bangkrut sementara penjual belum menerima apa pun dari harganya, dan ia menemukan sebagian barangnya ada pada pembeli, maka ia lebih berhak atas barang tersebut daripada siapapun juga. Jika pembeli meninggal dunia, maka penjual dalam hal ini adalah sama dengan para pemberi-hutang lainnya dengan pemberian-hormat untuknya.
89. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Yahya ibn Sa’id, dari Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm, dari Umar ibn Abd al-Aziz, dari Abu Bakr ibn ‘Abd ar-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam, dari Abu Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Jika seseorang jatuh bangkrut dan seorang laki-laki menemukan barang miliknya ada pada orang yang bangkrut itu, maka ia lebih herhak atas barang itu daripada siapapun juga.”
Malik berbicara tentang seseorang  yang menjual barang (secara hutang) milik orang-lain (penjual-pertama), dan si pembeli jatuh bangkrut. Ia berkata,
“Penjual mengambil barang miliknya yang tersisa, Jika pembeli telah menjual sebagian barangnya dan mendistribusikannya, penjual-pertama lebih berhak daripada penjual-kedua (pemberi-hutang). Apapun yang telah didistribusikan oleh si pembeli, tidak bisa menahan si penjual dari mengambil apa yang ia temukan dari yang ia miliki. Yang demikian adalah hak si penjual jika ia telah menerima sebagian dari harganya dari si pembeli dan ia ingin mengembalikan harganya dengan mengambil barang miliknya yang ia temukan, dan jika ia tidak menemukan apapun maka ia seperti para pemberi-hutang lainnya.”
Malik berbicara tentang seseorang yang membeli segulung kain wol ataupun sebidang tanah (secara berhutang), dan kemudian melakukan beberapa pekerjaan di atasnya, seperti membangun rumah di atas tanah tersebut atau menjahit kain wol tersebut menjadi pakaian. Kemudian ia jatuh bangkrut setelah membelinya, pemilik tanah berkata,
‘Aku akan mengambil tanah dan bangunan apa pun yang ada di atasnya.’
Malik berkata,
“Bangunan tersebut bukanlah milik si penjual tanah. Namun, bidang tanah dan bangunan yang telah diperbaiki dan berdiri di atasnya, harus diberi penilaian harga. Kemudian, seseorang menganalisa berapa harga perbaikan sebidang tanah tersebut, dan senilai berapakah harga bangunan tersebut. Mereka menjadi pemilik-bersama. Pemilik tanah memiliki bagian sebanyak bagiannya, dan orang yang memiliki bangunan atau orang memberi-hutang[56] memiliki bagian senilai bangunannya.”
Malik berkata,
“Pejelasan untuk itu adalah nilai kesemuanya itu (misalnya) 1.500 dirham. Nilai tanah 500 dirham dan nilai bangunan 1.000 dirham. Dengan demikian, pemilik tanah memiliki 1/3 bagian, sedangkan orang yang memiliki bangunan atau orang memberi-hutang memiliki 2/3 bagian.”
Malik berkata,
“Demikian pula halnya dengan pemintalan dan hal-hal lain yang serupa ketika si pembeli memiliki hutang yang tidak dapat ia bayar, Inilah yang biasa atau lazim dipraktikkan dalam kasus-kasus semacam ini.”
Malik berkata,
“Sedangkan untuk barang-barang yang sudah dijual dan yang pembeli tidak mampu meningkatkan hasil penjualannya lagi, namun barang-barang itu terjual dengan baik dan harganya telah naik, sehingga pemiliknya menginginkannya dan orang yang memberi-hutang pun menginginkannya, maka orang yang memberi-hutang memilih antara memberikan kepada pemilik barang harga senilai yang telah ia jual dan tidak memberikan kepadanya kerugian apa pun, atau menyerahkan barang-barang kepada pemiliknya.”
“Jika harga barang-barang itu telah turun, orang yang menjualnya punya pilihan. Jika ia suka, ia dapat mengambil barang-barangnya dan kemudian dia tidak boleh mengklaim apapun kepada orang yang berhutang kepadanya, dan itulah haknya. Jika ia suka, ia dapat menjadi salah seorang pemberi-hutang dan mengambil bagiannya dari haknya dan tidak mengambil barang-barangnya. Itu terserah padanya.”
Malik berkata mengenai seseorang yang membeli seorang budak wanita ataupun hewan yang kemudian melahirkan ketika posisi kepemilikan berada ditangannya, lantas pembeli tersebut jatuh bangkrut,
“Budak wanita atau hewan tersebut beserta bayinya menjadi milik penjual kecuali orang yang memberi-hutang menginginkannya. Dalam hal ini, mereka harus memberi haknya secara sempurna dan mengambilnya.”

Bab 31.43.   Apa Yang Diperbolehkan dalam Pinjaman

90. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Zayd ibn Aslam, dari Atha ibn Yasar bahwa Abu Rafi’, mawla Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
“Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, meminjam seekor unta muda dan kemudian unta-unta dari kumpulan zakat didatangkan kepada beliau.”
Abu Rafi’ berkata,
“Ia menyuruhku untuk membayar hutang unta mudanya kepada orang tersebut. Aku berkata,
‘Aku hanya menemukan unta-unta bagus yang berusia 7 tahun di antara unta-unta itu.’
Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
‘Berikan unta itu kepadanya. Orang yang terbaik adalah mereka yang melunasi hutangnya dengan cara terbaik.’”
91. Malik menyampaikan kepadaku dari Humayd ibn Qays al-Makki bahwa Mujahid berkata,
“Abdullah ibn Umar meminjam beberapa dirham dari seseorang, kemudian ia membayar hutangnya dengan dirham yang lebih baik. Orang tersebut berkata,
“Wahai Abu Abd ar-Rahman, ini lebih baik dari dirham-dirham yang aku pinjamkan kepadamu.’
Abdullah ibn Umar berkata,
‘Aku tahu. Tapi aku senang dengan itu.’”
Malik berkata,
“Tidak ada larangan bagi Seseorang yang meminjamkan emas, perak, makanan atau hewan untuk mengambil sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah ia pinjamkan jika itu bukan ketetapan atau syarat di antara mereka dan juga bukan kebiasaan atau adat-istiadat, Jika itu karena ketetapan atau syarat atau janji atau kebiasaan, maka itu tidak dibenarkan, dan tidak ada kebaikan di dalamnya.”
Ia menjelaskan:
“Itu karena Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melunasi hutangnya dengan unta bagus yang berusia 7 tahun untuk membayar unta muda yang ia pinjam, dan Abdullah ibn Umar meminjam beberapa dirham dan kemudian membayarnya dengan yang lebih baik. Jika itu berasal dari kebaikan peminjam, dan itu bukan karena ketetapan, janji ataupun kebiasaan, ia halal dan tidak ada larangan di dalamnya.”

Bab 31.44.   Apa Yang Tidak Diperbolehkan dalam Pinjaman

92. Yahya menyampaikan kepadaku bahwa ia telah mendengar Umar ibn al-Khattab berkata bahwa ia tidak membenarkan seseorang yang meminjamkan orang lain makanan dengan ketetapan bahwa hutang itu dikembalikan kepadanya di kota lain, Ia (Umar) berkata,
“Mana (ongkos) transportasinya?”
93. Malik menyampaikan kepadaku bahwa ia telah mendengar bahwa seseorang datang kepada Abdullah ibn Umar dan berkata,
“Abu’Abd ar-Rahman, aku memberi pinjaman kepada seseorang dan aku tetapkan agar ia memberikan kepadaku yang lebih baik dari yang aku pinjamkan kepadanya.”
Abdullah ibn Umar berkata,
“Itu adalah riba.”
Abdullah berkata,
“Pinjaman ada tiga macam. Pinjaman yang engkau berikan dengan mengharap ke-ridho-an Allah, maka engkau akan memperoleh ke-ridho-an Allah, Pinjaman yang engkau berikan dengan mengharap ke-ridho-an temanmu, maka engkau akan memperoleh ke-ridho-an temanmu, dan pinjaman yang engkau berikan untuk mengambil tambahan dari apa yang telah engkau berikan,[57] maka itu adalah riba.”
Ia berkata,
“Apa yang engkau perintahkan kepadaku untuk aku kerjakan wahai Abu Abd ar-Rahman?”
Ia berkata,
“Aku pikir, sebaiknya engkau merobek perjanjian itu, Jika ia memberikan kepadamu kurang dari apa yang engkau pinjamkan, ambillah dan engkau akan menerima pahala. Jika ia memberikan kepadamu lebih baik dari apa yang engkau pinjamkan kepadanya karena niat baiknya sendiri, maka itu adalah tanda terimakasihnya kepadamu dan engkau memperoleh imbalan atas priode pengembalian peminjaman yang engkau berikan kepadanya.”
94. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’ bahwa ia mendengar Abdullah ibn Umar berkata,
“Jika seseorang meminjam sesuatu, biarkan sebagaimana hutang itu adanya sampai pinjaman dilunasi.”
95. Malik menyampaikan kepadaku bahwa ia mendengar bahwa Abdullah ibn Mas’ud berkata,
“Jika seseorang mengadakan pinjaman, mereka tidak boleh mensyaratkan lebih baik dari itu, Sekalipun itu segenggam rumput, karena itu adalah riba.”
Malik berkata,
“Amal yang berlakukan di antara kami adalah tidak ada larangan dalam meminjam beberapa hewan dengan serangkaian deskripsi dan itemisasi, dan yang harus dikembalikan adalah yang sama seperti mereka. Yang demikian tidak berlaku dalam kasus budak wanita. Jelas bahwa tindakan seperti itu akan menggiring kepada ‘menghalalkan yang tidak halal’, sehingga tindakan seperti itu tidak baik. Penjelasan tentang apa yang tidak dibenarkan dalam hal ini adalah, seseorang yang meminjam budak wanita, dan setelah melakukan hubungan seksual dengan budak itu sebagaimana ia rasa itu pantas baginya, kemudian ia mengembalikan budak wanita itu kepada pemiliknya. Maka itu tidak baik dan tidak halal. Para ulama masih melarangnya dan tidak memberi kesempatan bagi siapapun melakukannya.”

Bab 31.45.   Apa Yang Dilarang dalam Tawar-Menawar dan Transaksi Serupanya.

96. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Tidak boleh satu-orang pun diantara kalian membuat penjualan di atas penjualan saudaranya.”
97. Malik menyampaikan kepadaku dari Abu’z-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurayra bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
  •  Jangan pergi untuk menemui kafilah dan melakukan jual-beli,
  •  Jangan memberi tawaran untuk saling mengalahkan satu sama lainnya,
  •  Jangan memenangkan tender untuk meninggikan harga,
  •  Dan orang kota tidak boleh membeli atas nama orang dari desa,
  •  Dan jangan mengikat puting susu unta atau biri-biri sehingga mereka kelihatannya memiliki susu yang banyak, karena orang yang membelinya memiliki dua pilihan setelah ia memerahnya:
  •  Jika ia suka, ia dapat tetap mengambilnya, dan
  •  Jika ia suka, ia dapat mengembalikan mereka dengan menyertakan satu sa’ kurma.”
Malik berkata,
“Penjelasan untuk pernyataan Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, menurut kami – dan Allah Maha Mengetahui –
‘Jangan memberi tawaran untuk saling mengalahkan satu sama lainnya.’
adalah, dilarang bagi seseorang untuk memberi tawaran harga di atas harga yang telah diberikan saudaranya ketika penjual telah cendrung kepada penawar dan membuat persyaratan berat emas dan telah menyatakan bahwa dirinya tidak bertanggung-jawab atas kesalahan dan yang semacam ini, yang diketahui bahwa penjual sudah akan melakukan transaksi dengan penawar. Ini yang ia (Rasul) larang, dan Allah Maha Mengetahui.”
Malik berkata,
“Akan tetapi, tidak ada larangan bagi beberapa orang untuk saling bersaing memberi tawaran untuk barang-barang yang ditawarkan untuk dijual.’
Ia berkata,
“Seandainya orang-orang meninggalkan tawar-menawar ketika orang pertama mulai menawar, harga yang belum pasti mungkin diambil, dan ke-makruh-an akan masuk ke dalam penjualan barang-barang tersebut. Ini masih merupakan Amal-an di antara kami.”
98. Malik berkata, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, melarang najsh.
Malik berkata,
“Najsh adalah menawarkan barang kepada seseorang dengan harga yang lebih tinggi dari nilai barang sebenarnya, sedangkan Anda sendiri tidak berminat membelinya, sehingga orang lain pun terdorong untuk mengikuti Anda dalam tawar-menawar itu”

Bab 31.46.   Transaksi Bisnis Secara Umum

99. Yahya menyampaikan kepadaku dari Malik, dari Abdullah ibn Dinar, dari Abdullah ibn Umar bahwa seseorang menceritakan kepada Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, bahwa ia selalu ditipu dalam transaksi bisnis. Rasulullah, salallahu ‘alayhi wa salam, berkata,
Jika engkau masuk kedalam transaksi, katakan:
‘Jangan ada penipuan.’ (La Khilabat)”
Maka kapanpun orang itu masuk ke dalam transaksi, ia akan berkata,
‘Jangan ada penipuan.’ (La Khilabat)
100. Malik menyampaikan kepadaku bahwa Yahya ibn Sa’id mendengar Sa’id ibn al-Musayyab berkata,
“Jika kamu datang ke suatu negri, dimana penduduknya memberikan takaran yang utuh dan timbangan yang utuh, maka menetaplah di sana. Jika engkau datang ke suatu negri, dimana penduduknya mengurangi takaran dan timbangan, maka janganlah engkau menetap di sana terlalu lama.”
Malik menyampaikan kepadaku dari Yahya ibn Sa’id bahwa ia mendengar Muhammad ibn al-Munkadir berkata,
“Allah mencintai hambanya yang bermurah-hati ketika menjual dan bermurah-hati ketika membeli, bermurah-hati pada saat membayar kewajibannya, dan murah hati ketika meminta haknya.”
Malik berkata tentang seseorang yang membeli unta, atau kambing, atau barang-barang kering, atau budak, atau barang apapun tanpa diukur secara tepat:
“Tidak ada pembelian tanpa pengukuran yang tepat dalam sesuatu yang bisa dihitung.”
Malik berbicara tentang seseorang yang memberikan barang-barang kepada orang lain dijualkan untuknya dan menetapkan harganya dengan berkata,
‘Jika engkau menjual barang-barang ini seharga seperti yang aku perintahkan kepadamu, engkau akan memperoleh 1 dinar (atau memperoleh sesuatu yang telah dia tentukan dan diridhoi oleh kedua belah pihak), jika engkau tidak menjualnya, engkau tidak akan dapat apa-apa.’
Ia berkata,
“Tidak ada larangan dalam hal itu jika ia menyebutkan harga penjualan barang-barang itu dan menyebutkan komisinya dengan jelas. Jika ia menjual barang-barang itu, maka ia memperoleh komisinya, dan jika ia tidak menjualnya, maka ia tidak memperoleh apa-apa.”
Malik berkata,
“Ini seperti mengatakan kepada seseorang:
‘Jika engkau menangkap budakku yang melarikan diri atau untaku yang kabur, maka engkau akan memperoleh ini-dan-ini.’
Yang demikian ini termasuk kategori hadiah, dan bukan kategori pemberian upah. Namun jika yang demikian itu dimasukkan ke dalam kategori pemberian upah, maka itu tidak baik.”
Malik berkata,
“Adapun bagi seseorang yang diberi barang-barang dan dikatakan kepadanya bahwa jika ia menjual brang-barang tersebut, maka ia akan menerima persentasi tertentu untuk setiap dinarnya, yang demikian itu tidak baik, karena jika tiba-tiba ada sebuah dinar berkurang atau menyusut dari harga barang tersebut, maka ia memengurangi hak yang telah disebutkan untuknya. Ini adalah transaksi yang mengandung ketidakpastian. Ia tidak tahu berapa banyak ia akan diberi.”
101. Malik menyampaikan kepadaku bahwa ia bertanya kepada Ibn Shihab tentang seseorang yang menyewa seekor hewan dan kemudian menyewakannya kembali lebih mahal daripada ketika ia menyewanya. Ia berkata,
“Tidak ada larangan dalam hal itu.”





[1] Deposit
[2] Artinya, sudah ada pembayaran meskipun cuma sebahagian.
[3] Pihak ke dua yang berdagang dengannya telah melakukan pembelian 30 dinar untuk 60 dinar dengan penundaan waktu, artinya terjadi 2 jenis riba, yaitu, riba penambahan nilai (al-fadl) dan riba penangguhan waktu (an-nasia)
[4] Bintang tujuh atau bintang kartika
[5] Kurma basah atau anggur yang masih berada di atas pohon
[6] Terserah si pembeli untuk mengurangi harga atau membatalkan pembelian.
[7] Tidak disetujui
[8] Mengukur, berarti berhubungan dengan ‘panjang’, ‘luas’, atau ‘volume’. Sedangkan menimbang, berarti berhubungan dengan ‘berat’.
[9] Sudah dalam bentuk yang sama, yaitu Dinar.
[10] Ajwa dan Kabis harus sama-sama punya kualitas
[11] misalnya, (pembeli menyesal dan berkata kepada penjual, ‘Batalkan kontrak itu. Dan sebagai gantinya, akan ku tangguhkan pembayaran uang yang telah kusetor kepadamu,’)
[12] tumpukan yang tidak di timbang
[13] Secara borongan, dan si penjual serta si pembeli benar-benar tidak tahu ukurannya secara presisi. Ukuran yang tidak pasti maksudnya tidak presisi.
[14] artinya, Haram.
[15] di perbolehkan, dan halal. ‘tidak tepat’ Artinya tidak presisi, dan itu bukan berarti tidak di timbang sama sekali atau bisa dikatakan si pembeli dan si penjual sudah melihat barang-barang tersebut dan mereka telah menaksir barang tersebut, ‘tidak presisi’ hanya menunjukkan ketidak-tepatan anggka pengukuran. Karena tidak mungkin terjadi pembelian 1 ton tepung untuk 1 dirham, itu berarti penipuan.
[16] presisi
[17] Penipuan.
[18] Kerena tidak ada mata uang ½ dirham (nisfu dirham).
[19] Matang.
[20] Sampai si pembeli menerima makanan dari si penjual. Transaksi pertama menjadi sempurna ketika makanan sudah berada ditangan si pembeli.
[21] Barang atau makanan yang disebut sudah diterima oleh si A
[22] Dari paragraph sebelumnya, maka orang yang dimaksud adalah si B.
[23] Melarikan diri karena hanya ingin uangnya saja, tanpa membantu dalam pengiriman barang.
[24] Pembelian makanan yang terjadi antara si B dan si A.
[25] Dari paragraph sebelumnya, maka orang yang dimaksud adalah si C.
[26] Seandainya yang demikian bukanlah transaksi ‘jua-beli’, melainkan ‘pinjam-meminjam’ antara si A, si B, dan si C.
[27] Dalam keping dirham yang tidak utuh.
[28] Atau secara borongan.
[29] Mengeluarkannya sebagian.
[30] Istilah arab-nya ‘hukra’, Biasanya diterapkan kepada komoditas pokok seperti Makanan, BBM, dan lain-lain
[31] Menjualnya lebih murah dari pedagang lain.
[32] Negri tidak sama dengan Negara. Yang dimaksudkan adalah kota Madina.
[33] Dan ini adalah riba al-fadl yang terjadi di perdagangan
[34] Seperti perdagangan di bursa-saham, forex, uang kertas, dan lainnya. Itu sema termasuk Riba an-Nasiah
[35] Dengan dinar atau dirham sebagai alat tukar.
[36] Secara barter, dan barang-barang tersebut berlaku sebagai alat tukar.
[37] ritl adalah satuan berat 1 ritl ≈ 1 pon ≈ 453,6 gr ≈ 0,454 Kg
[38] Mirip seperti yang terjadi di perjanjian murabaha versi Bank Islam.
[39] sejenis tanaman yang diambil bijinya untuk dibuat minyak, bukan tanaman karet.
[40] yaitu dalam penjualan ataupun pengembalian, dimana si pembeli membeli barang tersebut untuk dijual lagi.
[41] atau ia membelinya di malam hari dan tidak tahu apa yang ada di dalamnya.
[42] orang menjual barang-barang tersebut secara murabaha di keterangan di atas.
[43] Maksudnya, penambahan atau pengurangan dalam transaksi tersebut.
[44] Mem-bunga-kan beban pembayaran hutang tersebut.
[45] Dari waktu yang telah ditentukan.
[46] Sama seperti Riba Jahiliyya.
[47] Yang sekarang menjadi pihak penjual.
[48] Contohnya seperti; harganya berubah akibat satu kurs berubah – biasanya terjadi pada uang kertas dengan anggapan bahwa nilai uang kertas hari ini tidak sama dengan hari esok (toeri ekonomi), padahal harga sudah di tetapkan di perjanjian.
[49] Dari seorang Penjual
[50] Transaksi pertama.
[51] Transaksi kedua.
[52] Atau uangnya.
[53] Atau uangnya.
[54] Transaksi pertama
[55] Jika yang terjadi adalah partner yang baru mengadakan transaksi kedua setelah transaksi pertama ditutup.
[56] Bisa jadi biaya bangunan; jasa pembuatan bangunan, atau material bangunan itu sendiri adalah hasil hutangan juga atau masih belum lunas.
[57] Memberi pinjaman 1 dinar dengan harapan memperoleh pengembalian pinjaman sebesar 1 dinar plus lain-lain.

No comments:

Post a Comment