Tuesday, October 16, 2012

Buku: FATWA PERBANKAN

dan Penggunaan Bunga Deposito Yang Diterima Dari Bank

by,
Shyakh Umar Ibrahim Vadillo
October 2006

Translate and printed by,
Muhammad Rizki
BrutusComm Team

Alamat:
Jl. Selamat No. 24, Simp Limun
Medan 20219, Sumatera Utara
Indonesia
Tlp +6261 7517 0644
Hp +6281376608189
e-mail: rizkibrutus@gmail.com
           rambtn_store@yahoo.co.id
twiter: @brutuscomm
September 2012

Versi cetak bisa dipesan ke alamat atau kontak di atas. Harga versi cetak: 1 Dirham. cek kurs Dirham Dinar

Cover

1. Pengantar


RIBA telah dilarang dengan tegas di Al Qur'an dan Sunnah. Allah dan Rasul-Nya, sallallahu alayhi wa sallam, telah menyatakan perang terhadap mereka yang mengHALALkannya.
Berikut ini adalah beberapa ayat yang relevan mengenai riba. Allah berfirman dalam Al Qur'an:
Orang-orang yang memakan riba, tidaklah bangkit seperti bangkitnya orang yang kemasukan setan karena penyakit gila. Demikian itu adalah karena, mengatakan bahwa jual-beli itu seperti riba, padahal Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Maka barang siapa yang datang kepadanya, pelajaran dari Tuhannya, lalu ia menghentikannya, maka baginya apa yang telah berlalu, dan urusannya kepada Allah. Dan orang-orang yang mengulangi, maka mereka adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. 
Al Qur'an, Al Baqarah ayat 275

 Allah menghancurkan riba dan menyuburkan sedekah, Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang ingkar lagi banyak dosa.
Al Qur'an, Al Baqarah ayat 276
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah, sisa yang tinggal dari riba, jika kamu beriman dengan sebenarnya.
Al Qur'an, Al Baqarah ayat 278
Jika kamu tak mau melakukannya, maka ketahuilah serbuan dari Allah dan rasul-Nya. Dan jika kamu bertobat, maka bagi kamu pokok hartamu, agar kamu tidak menganiaya dan tidak pula teraniaya. 
Al Qur'an, Al Baqarah ayat 279
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu beroleh keberuntungan. 
Al Qur'an, Al Imran ayat 130
Maka karena keaniayaan dari orang-orang Yahudi Kami haramkan atas mereka makanan yang baik-baik yang dihalalkan bagi mereka dulu, juga karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan karena memakan riba, padahal telah dilarang daripadanya, dan memakan harta orang dengan jalan batil dan telah Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu siksa yang pedih.
Al Qur'an, An Nisa ayat 160-161

Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam mengingatkan kita mengenai keseriusan masalah riba ini:
Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, berkata: "Riba ada tujuh puluh jenis, dan yang teringan dosanya setara dengan seorang pria men-zina-i ibunya sendiri"
(H.R. Ibnu Majah, Baihaqi)
Abdallah ibn Hanzala melaporkan bahwa Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, berkata: "Satu Dirham hasil riba, dan dia menerimanya dengan sadar, dosanya lebih buruk dari berzina tiga puluh enam kali." (Ahmad) Baihaqi menyampaikan hal tersebut, atas izin otoritas Ibn Abbas, dengan tambahan bahwa Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, melanjutkan:" Neraka adalah lebih pas untuk dia yang dagingnya dipelihara oleh makanan Haram."
(H.R. Ahmad)
Abu Huraira melaporkan Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, mengatakan: "Pada malam aku diangkat ke surga, aku datang ke orang-orang yang perutnya seperti rumah-rumah yang berisi ular yang bisa dilihat dari luar perut mereka. Aku bertanya: Jibril siapa mereka? Dan dia mengatakan padaku bahwa mereka orang-orang yang telah memakan riba."
(Ditransmisikan oleh Ahmad, Ibnu Majah) 
Samura Ibn Jundub melaporkan bahwa Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, berkata: "Malam ini aku bermimpi bahwa dua pria datang dan membawaku ke tanah suci, kami berjalan terus sampai di sungai darah, di mana seorang pria berdiri, dan pada pinggirannya berdiri seorang pria lain dengan batu di tangannya. Orang di tengah sungai itu mencoba untuk keluar, tapi yang lain melempar batu ke mulutnya dan memaksanya untuk kembali ke tengah lagi. Setiap kali dia mencoba untuk keluar yang lain melempar batu ke mulutnya dan memaksanya untuk kembali. Aku bertanya: "Siapa ini?" Aku diberitahu: "Orang yang di tengah sungai itu adalah salah satu pemakan riba"
(H.R. Bukhari)
Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, mengutuk orang yang mengambil riba dan orang yang memberi riba, orang yang mencatat transaksi dan dua saksinya. Dia mengatakan mereka sama-sama bersalah.
(Ditransmisikan oleh Muslim)
  
Tentu saja ada alternatif lain untuk menghindari riba. Seperti yang pernah dijelaskan Rumi, "Yang halal itu mungkin." Dan Orang-orang Munafik adalah orang yang mengatakan, "Yang halal itu tidak mungkin." Untuk menegaskan bahwa halal merupakan keharusan bagi setiap Muslim. Di lingkungan umat muslim ada alternatif lain agar tidak terjebak dalam transaksi berbasiskan Riba, yaitu Shirkat (atau Musyarakah) dan Qirad (atau Mudarabah). Ini adalah dua kontrak bisnis utama dalam Islam. Prinsip-prinsip ini sudah sejak lama kita kenal. Masalahnya adalah peng-aplikasi-an nya di lingkungan yang tidak kondusif.
Jawaban untuk masalah ini adalah mengubah lingkungannya, bukan mengubah bentuk transaksinya.
  Di sinilah masalah utama saudara-saudara kita di Perbankan Islam. Mereka melestarikan lingkungan dan alat-alat kapitalis dan mengorbankan kondisi yang berlaku di syari'ah. Mereka gagal menerapkan ijtihad dan darurah.
  Di sisi lain, kita berusaha melakukan pembentukan ulang lingkungan Islam melalui perbaikan lembaga-lembaga perdagangan dan beberapa "kunci" yang hilang, agar Shirkat dan Qirad beroperasi dengan benar.

2. Masalah


BANYAK Muslim hari ini memiliki rekening ber-"bunga". Yaitu bahagian dari riba, dan itu haram. Bagaimana bisa kondisi seperti ini memaksa kita untuk memiliki rekening bank, meskipun kita tahu rekening bank itu Haram? Bagaimana bisa dibenarkan? 
Kebanyakan orang mengklaim ini sebagai kasus ‘darurah.’ 
  Darurah adalah instrumen hukum yang berlaku dalam kasus-kasus ekstrim dimana seseorang diperbolehkan untuk bertindak dengan cara yang seharusnya dilarang. Karakteristik yang paling kritis dari darurah adalah bahwa "hal itu hanya tindakan sementara". 
  Jika Anda berada di padang pasir dan yang ada hanyalah babi, maka hukum untuk mengyembelih dan memaknya adalah fardhu (wajib), bukan Halal. Apakah kejadian ini bisa kita samakan dengan berternak babi "memiliki rekening bank ber-bunga?" dan kita mengklaim tindakan tersebut adalah darurah. 
  Saat kita dalam situasi darurah, kita diwajibkan melakukan segalanya sesuai kesanggupan demi menjauhkan diri dari situasi tersebut. Hal tersebut menjadi haram setelah kondisi kembali normal dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan selamanya seperti memelihara babi atau memelihara rekening berbunga.
  Masalah yang kita bahas di sini adalah "apa yang harus dilakukan umat Islam dengan Bunga di rekening mereka?" Bagaimana cara yang benar yang bisa diterapkan dalam kasus ini?
Kebanyakan orang memilih pilihan berikut:
  1. Menyimpan Bunga tersebut sebagai bagian dari situasi darurah 
  2. Memanfaatkan Bunga tersebut untuk amal 
  3. Mengembalikam Bunga ke bank atau men-alih-fungsikan rekening mereka ke rekening non-Bunga.
Semua pilihan di atas memiliki kesamaan, yaitu bahwa mereka tetap berada dalam status darurah yang seharusnya mereka ubah, dan mereka terus-menerus menyimpan bunga tersebut. Pilihan 1 dan 2 setidaknya membantu dalam kepentingan amal (bukan termasuk ibadah, karena tidak ada ibadah yang diterima dengan menggunakan uang haram), serta pilihan ke 3 hanya memperkaya pihak bank, sehingga pilihan ke 3 tersebut menjadi pilahan terburuk.
  • Ada pilihan keempat, yang bisa kita lakukan, yaitu menggunakan bunga tersebut untuk kondisi darurah.
Maksudnya, kita mengubah kondisi itu dan bukan berkutat di dalamnya atau menyimpannya, Bagaimana? Dengan cara mengubah statusnya, yaitu ikut mensupport penciptaan lembaga penyimpanan dan pembayaran Islami. Lembaga ini memungkinkan kita untuk melakukan pembayaran, transaksi, dan menyimpan uang secara Islami. Namun, ketika kita diwajibkan menggunakan bank untuk transfer dana, dan tidak ada pilihan lagi kecuali bank, kita bisa menggunakan sistem pembayarannya saja, dan hanya sistem pembayarannya saja, agar tidak membangkitkan aktivitas-aktivitas perbankan lainnya.
  Kondisi Darurah bisa dihubungkan dengan lingkungan ekonomi kita. Dan untuk itu, kita harus memahami masalah ini dan tidak cukup hanya terfokus pada transaksi komersial saja, kita perlu melihat lebih luas, memeriksa kondisi yang mengelilingi transaksi komersial itu. Jadi, kita perlu menyelidiki bagaimana bisa lembaga-lembaga perbankan hampir monopoli pencetakan dan pengendalian uang. Kita perlu melihat sifat dasar dari bank itu sendiri, dan juga sifat dasar uang kertas yang kita gunakan. Akhirnya, kita perlu memahami apa dan bagaimana sebenarnya "uang" berlaku dan halal di dalam Islam, dan bagaimana kita bisa kembali menciptakan kerangka ekonomi Islam, di mana bank akan berhenti menjadi suatu keharusan bagi kita, sementara kita tetap sepenuhnya mampu memuaskan semua kebutuhan ekonomi kita.
  Kunci dari situasi ini adalah memahami konsep Riba. Tanpa pemahaman yang tepat, kita tidak akan mampu membuat penilaian yang benar. Untuk memahami riba, kita perlu menghilangkan beberapa kesalah-pahaman umum, seperti mengidentikkan bunga dengan riba, padahal sebenarnya mereka adalah dua konsep yang berbeda. Membuat kedua konsep ini menjadi identik merupakan suatu kesalahan fatal yang umum terjadi. Ungkapan-ungkapan seperti 'bebas bunga' atau 'bunga 0%' tidak berarti transaksi tersebut bebas dari riba. Ungkapan tersebut bisa menipu dan menyesatkan serta akhirnya menjerumuskan umat Muslim ke dalam praktik terlarang. Kita akan membahasnya dalam bab 'Memahami Riba'.
  Hal penting lainnya adalah menjelaskan pernyataan “Praktik Perbankan di Dalam Islam adalah Haram”, sama haramnya seperti bank konvensional, tanpa terkecuali. Bank Islam mempraktikkan riba sama seperti bank konvensional, hanya saja bentuknya berbeda. Mereka menyesatkan orang-orang dengan menggunakan istilah-stilah Arab demi menggantikan istilah kontrak komersial tertentu yang haram, seperti dua transaksi penjualan yang digabungkan dalam satu kontrak 'dua transaksi dalam satu akad'. 
  Bank Islam selalu berdalih ‘keadaan darurah’ dalam rangka membenarkan interpretasi mereka sendiri tentang syari'ah, untuk mem-validasi praktik perbankan. Mereka tidak berniat mengubah atau menghilangkan situasi darurah tersebut. Karena, perubahan tersebut akan berarti akhir dari pembenaran mereka. Kita akan memeriksa masalah ini secara lebih terperinci, seperti menelusuri rute metodologi yang digunakan oleh ulama-ulama modernis dalam mengubah definisi riba, sehingga memungkinkan korbannya menerima lembaga perbankan dan produknya, seperti uang kertas.
  Akhirnya kita harus memahami pentingnya ‘mana yang halal dan mana yang haram’ dan bagaimana cara bertindak menurut aturan Islam. Kita telah kehilangan konsep mu'amalah, yang merupakan satu-satunya cara untuk mengembalikan praktik Syariah dan mengembalikan beberapa aspek kritis dari infrastruktur ekonomi Islam yang membuat mu'amalah menjadi hal yang layak. Oleh karena itu, masalah ini harus dijadikan model pemulihan situasi ekonomi kita. Kita memiliki sumber daya yang cukup, yaitu model-model transaksi Islami  yang bisa dipraktikkan, demi mengembalikan cara berdagang yang benar dan tepat, sehingga kita bisa menghilangkan riba dari kehidupan kita.

3. Memahami riba


3.1. Sebuah Dunia yang Dibentuk Dengan Riba


BERBAGAI hal tidak akan pernah lebih baik daripada sekarang" hal tersebut diasumsikan dari sudut pandang kekayaan materi. Asumsi ini dibenarkan meskipun telah melintasi abad yang paling kejam dalam sejarah manusia. Melihat pertama kalinya senjata pemusnah massal digunakan ke populasi sipil, penghancuran masal ekosistem dan fauna, dan sejumlah besar korban kelaparan yang diketahui dalam sejarah. Semua penderitaan masa lalu dan sekarang dilupakan dan publik berasumsi bahwa rata-rata orang saat ini menikmati standar hidup yang tidak sama dengan waktu lainnya. Bahkan, tidak sama untuk semua orang di dunia. Meskipun material perbaikan telah dicapai oleh sebagian kecil umat manusia, masyarakat miskin masih hidup di bawah garis kemiskinan ‘2 USD per hari’, dan mendapat gaji kolektif kurang dari 387 individu penerima terbesar. Ketidakseimbangan dalam kesejahtraan bergandengan dengan ketidakseimbangan politik dan militer yang telah berubah menjadi satu kekuatan yaitu ke ‘hukum-penguasa-dunia’.
  Selama periode ini, yaitu pergeseran besar-besaran kekayaan dunia ke sudut kecil dunia, umat Muslim telah kehilangan bahagian yang ter-amat-penting dari status masa lalu mereka, ekonomi dan politik. Kesatuan politik yang diwakili oleh Khalifah, yang pernah memberikan umat Islam otoritas dalam urusan dunia, sudah dihancurkan, dan malah kebanyakan negara-negara dikontrol di bawah naungan dan kerangka hukum baru, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagian besar populasi kita menjadi masyarakat miskin-pekerja, dan Produk Domestik Gabungan (PDG) kita tidak mencapai sepersepuluh dari PDG Amerika Serikat. Secara politik dibagi-bagi, dan korban ekonomi-pun dibagi-bagi, Umat Islam menjadi pihak yang tertindas dalam sistem ekonomi zaman ini. Kehidupan sosial dan budaya terus menerus ter-erosi di bawah rezim ini dan tidak bisa dihindari, yang pada gilirannya meningkatan kemarahan dan frustrasi kaum muda kita.
  Ketidakseimbangan sistem ekonomi sekarang berwujud penyelamatan-diri dengan mengalihkan perhatian orang menjauh dari urusan ekonomi dan hal-hal politik. Sistem ekonomi yang menyebabkan ketidakseimbangan dibuat sebagai bayaran, dan individu-individu tirani politik menjadi target perjuangan politik. Dalam keadaan ini sistem ekonomi tetap dipertanyakan, karena itu merupakan sebuah jaminan yang berkelanjutan.
  Pada intinya, sistem yang tidak-seimbang ini, kita sebut kapitalisme, berakar pada riba. Riba itu sendiri adalah ketidak-seimbangan. Mekanisme riba melalui sistem perbankan "kontrak kriminal" telah berubah menjadi alat ekonomi yang dominan. Selama kita menjadi budak riba, Muslim akan tetap diperbudak.
Sebuah masyarakat yang salah memahami dinamika dunia akan merasa sulit untuk fokus dalam membangun tujuannya, dan hanyut dalam emosi sesaat. Dan selanjutnya, berbagai tindakan yang dimaksudkan 'untuk berbuat baik' hilang karena kurangnya arah. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada ‘usaha’ yang akan memetik buahnya.

3.2. Apa itu riba?


UNTUK memahami lingkungan ekonomi, dimana kita beroperasi dan kapitalisme merajalela, penting bagi kita untuk memahami riba. Pemahaman Islam tentang riba membuka jalan bagi kita untuk memulihkan mu’amalah, dan membuka jalan bagi semua orang untuk keluar dari penindasan dan perbudakan, sehingga dapat menciptakan alat yang dapat dipergunakan untuk mengatasi keboborokan sistem sekarang. Bahkan pemahaman riba yang negative saja bisa membuka jalan bagi kita untuk membangun sistem yang positif, misalnya saja pada sisi ke-halalan sebuah transaksi perdagangan. Hanya saja kita masih bingung membedakan mana yang Halal dan mana yang Haram, dan kita terus-terusan tersihir oleh keadaan demikian.
Dasar argumen untuk menentang dan memerangi riba adalah seperti yang telah difirmankan Allah dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275, yaitu: "...Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba..." dan Surah Al-Baqarah ayat 279, yaitu: “Jika kamu tak mau melakukannya, maka ketahuilah serbuan dari Allah dan rasul-Nya…”
  Riba bertentangan dengan perdagangan, riba adalah sebuah kecurangan dalam perdagangan. Perdagangan tidak boleh dijalankan dengan riba, atau sebaliknya. Meskipun begitu, riba telah menjadi makanan orang-orang kafir dan Muslim ‘yang belum tahu’ zaman ini (wajah kapitalisme). Karena itulah, Riba menjadi masalah politik yang paling penting untuk ditangani umat muslim di permukan bumi zaman ini. Riba mempengaruhi setiap aspek kehidupan dan kita dapat menelusurinya kembali menggunakan dua lembaga utama, yaitu Bank dan Negara. Meskipun penting, kebanyakan Muslim memahami hal tersebut dengan pemahaman yang dangkal (anggap remeh).
  Kebanyakan orang berpikir bahwa riba itu hanyalah bunga. Realitasnya, riba jauh lebih kompleks. Kesalahpahaman ini bukan hanya bentuk kesalahan perhitungan saja, melainkan produk dari “pendidikan-yang-salah” dan indoktrinasi yang telah tercipta dari dua fenomena, yaitu penghancuran kekuasaan politik Kekhalifahan dan proses yang disebut 'reformasi Islam' yang menyertainya. Kesalahpahaman ini membuka gerbang ke arah 'Islamisasi' institusi yang paling penting dari dari kapitalisme, yaitu Bank. Ibarat sebuah pasar terbuka yang kita gunakan untuk berdagang, maka Bank adalah tempat untuk menjalankan riba. Sebuah 'riba yang direformasi' atau 'dibentuk ulang' memungkinkan terbentuknya 'Bank Islam' untuk membenarkan tindakan mereka. Hal ini merupakan alasan yang kuat bagi kita untuk kembali ke pemahaman Fiqh yang benar, yang dapat memungkinkan kita untuk memahami mana yang Haram dan mana yang halal. Dan juga subagai dasar yang penting untuk memerangi kapitalisme dan kekuatan ilusi mereka.
  Pengenalan singkat ini akan mencoba untuk menguraikan sejelas mungkin masalah riba dalam syariat Islam, dan membersihkan kesalahpahaman yang diciptakan oleh 'reformis islam' dan cendekiawan islam modernis.
Riba secara harfiah dalam bahasa Arab berarti 'kelebihan'. Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabi, dalam karyanya 'Ahkamul Qur'an', mendefinisikan sebagai berikut: "Riba adalah setiap kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan counter-value-nya (nilai barang yang diterima).' kelebihan ini mengacu kepada dua hal:
  1. Sebuah manfaat tambahan yang timbul dari kenaikan berat atau ukuran yang tidak pada tempatnya, dan
  2. Sebuah manfaat tambahan yang timbul dari penundaan yang tidak pada tempatnya.
Kedua aspek ini menyebabkan para ulama kita mendefinisikan dua jenis riba. Ibnu Rusyd mengatakan: "Para ahli fiqh sepakat bulat tentang riba dalam 'Buyu (perdagangan)' bahwa riba ada dua jenis, yaitu penangguhan (nasiah) dan ketidak-samaan nilai yang ditetapkan (tafadul)"
Artinya, ada dua jenis riba: 
  1. Riba Al-Fadl (kelebihan akibat pembedaan nilai) 
  2. Riba Al-Nasiah (kelebihan akibat penundaan waktu)
Riba al-fadl mengacu pada kuantitas. Riba nasiah mengacu pada penundaan waktu.
  Riba al-fadl sangat mudah dipahami dalam pinjaman, riba al-fadl adalah bunga yang overcharged. Tapi secara umum riba al-fadl terjadi ketika salah satu pihak menuntut peningkatan tambahan untuk nilai barang yang diterima. Misalnya, satu pihak memberikan sesuatu yang seharga 100 dalam pertukaran untuk sesuatu yang berharga 110. Riba al-fadl juga mengacu pada kasus terlarang dimana dua transaksi penjualan dihubungkan dalam satu kontrak tunggal (dikenal sebagai 'dua transaksi dalam satu akad'), contohnya; 
  1. Ada satu pihak berkewajiban untuk menjualkan sesuatu di satu harga dimana setelah si penjual aslinya menurunkan harga dan itu dituangkan dalam satu kontrak. Atau,
  2. Jika seseorang ingin membeli sesuatu, namun uangnya tidak cukup atau belum ada, lalu ia pergi ke bank atau bank syariah dan meminta mereka untuk membiayainya (bisa langsung dibelikan oleh bank lalu diberikan kepada orang itu atau bank menyerahkan uangnya kepada orang itu), dan bank menyetujuinya dengan syarat agar orang itu melunasinya secara cicilan atau lunas dengan harga yang lebih mahal sebagai keuntungan yang akan diperoleh bank. 
Seperti yang kita lihat, kejadian tersebut hanya akal-akalan yang menyelubungi pinjaman berbunga yang berkedok penjualan. Tidak ada yang membutuhkan akal-akalan itu hari ini, karena Anda bisa mendapatkan pinjaman langsung dari bank. Namun Bank Islam telah menggunakan trik tua ini untuk menipu nasabahnya (dan kebanyakan korban adalah Muslim yang belum tahu atau yang tidak mau tahu) di bawah nama 'Murabahah' yang telah disalah-artikan.
  Riba nasiah lebih halus lagi pemahamannya. Ini merupakan kelebihan akibat penundaan waktu yang dibuat-buat dan ditambahkan ke transaksi. Ini adalah penundaan yang tidak pada tempatnya. Hal ini mengacu pada kepemilikan ('ayn) dan non-kepemilikan (Dayn). 'Ayn adalah barang dagangan nyata, sering disebut sebagai cash/tunai. Dayn merupakan janji pembayaran atau hutang atau surat hutang, atau apapun yang pengirimannya atau pembayarannya tertunda. Bertukar (safr) Dayn untuk 'ayn dari jenis yang sama adalah Riba an-nasiah. Bertukar Dayn untuk Dayn juga dilarang. Dalam sebuah pertukaran hanya diperbolehkan 'ayn untuk 'ayn.
Hal ini didukung oleh banyak hadits tentang masalah ini. Imam Malik meriwayatkan:
Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa ia mendengar bahwa al-Qasim ibn Muhammad berkata, 'Umar Ibn al-Khaththab berkata, "Satu dinar untuk satu dinar, dan satu dirham untuk satu dirham, dan sa' untuk sa'. Sesuatu yang dikumpulkan untuk hari kemudian tidak boleh dijual dengan sesuatu pada waktu dekat".
"Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa Abu'z-Zinad mendengar Sa'id al-Musayyab berkata, "Riba hanya ada pada emas atau perak atau sesuatu yang ditimbang dan diukur dari apa yang dimakan dan diminum.'"
Abu Bakar al-Kasani dari The Hanafi School (d. 587H) menulis:
"Adapun riba al-nasa' adalah perbedaan (kelebihan) antara penghentian keterlambatan dan periode penundaan dan perbedaan (kelebihan) antara kepemilikan ('ayn) dan non-kepemilikan (Dayn) dalam hal-hal diukur dan ditimbang dengan jenis yang berbeda sebagaimana sebuah benda diukur dan ditimbang dengan keseragaman jenis mereka. Hal ini menurut asy-Syafi'i (Allah memberkatinya), riba al-nasa' itu adalah perbedaan antara berakhirnya periode dan keterlambatan yang terdapat pada bahan makanan dan logam mulia (dengan nilai mata uang) khusus. "
Riba nasiah ada pada penggunaan Dayn dalam pertukaran (sarf) dari jenis yang sama. Namun larangan ini diperluas untuk penjualan secara umum ketika Dayn mewakili uang, yang melebilhi batas sifat pribadinya, dan menggantikan 'ayn sebagai media pembayaran.
  Imam Malik, semoga Allah bermurah hati kepadanya, menggambarkan hal ini dalam bukunya 'Al-Muwaththa': 
"Yahya menyampaikan kepada ku dari Malik bahwa ia mendengar bahwa sukukun (surat berharga/kuitansi) diberikan kepada orang-orang di masa Marwan ibn al-Hakam untuk berjual-beli barang-barang di pasar al-Jar. Orang-orang saling membeli dan menjual menggunakan sukukun tersebut sebelum mereka menerima barang-barangnya. Zayd ibn Thabit , salah satu sahabat Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian, pergi ke Marwan Ibn Hakam dan berkata, 'Marwan! Apakah Engkau ingin membuat riba menjadi halal? "Dia berkata, 'Aku berlindung kepada Allah! Apa itu?' Katanya, "Sukukun itu, yang orang-orang berjual-beli dengannya sebelum mereka menerima barang-barangnya" Marwan kemudian mengirim para pengawalnya untuk mengumpulkan kembali sukukun itu dan dari tangan masyarakat dan mengembalikannya kepada pemiliknya."
Zaid Ibn Tsabit secara khusus menyebut sukukun (Dayn) tersebut sebagai Riba '…yang orang berjual-beli dengannya sebelum barang-barang tersebut mereka terima…' Jika emas dan perak atau makanan yang dipergunakan sebagai alat jual-beli maka itu diperbolehkan, namun jika menggunakan sukukun/kuitansi atau janji pembayaran maka itu tidak diperbolehkan. Di dalamnya terdapat 'kelebihan' yang tidak diperbolehkan. Jika Anda memiliki Dayn, Anda harus harus menunjukkan barangnya ('ayn) yang diwakilinya dan kemudian Anda bisa bertransaksi. Anda tidak dapat menggunakan Dayn sebagai uang.
  Secara umum aturannya adalah bahwa Anda tidak boleh menjual sesuatu yang ada, untuk sesuatu yang tidak ada. Praktek ini disebut Rama' dan itu adalah riba.
Imam Malik: 
"Yahya meriwayatkan padaku dari Malik, dari 'Abdullah Ibn Dinar, dari' Abdullah Ibn 'Umar bahwa' Umar Ibn Al-Khattab berkata:" Jangan menjual emas dengan emas kecuali sama. Jangan melebihkan sebagian dari bagian yang lain. Jangan menjual perak untuk perak kecuali sama, dan Jangan melebihkan sebagian dari bagian yang lain. Jangan menjual sejumlah yang ada untuk sejumlah yang tidak ada. Jika seseorang meminta mu untuk menunggu pembayaran sampai ia berkunjung ke rumahnya, jangan tinggalkan dia. Aku takut engkau terkena rama'. Rama'adalah riba.' "
  Rama' pada zaman sekarang adalah sebuah praktek yang umum terdapat di semua pasar kita. Mata uang Dayn (uang kertas, surat berharga) telah menggantikan penggunaan mata uang 'ayn (Dinar Emas, Dirham Perak). Praktek ini seperti yang Umar Ibn al-Khaththab maksudkan ketika ia berkata "Aku takut engkau terkena rama'."
  Larangan menjual dengan penangguhan waktu tidak hanya berlaku pada logam, tapi juga makanan. 
Malik mengatakan, "Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian, melarang menjual makanan sebelum barangnya ada."
  Oleh karena itu, apa yang dilarang di Riba an-nasiah, adalah penambahan dari sebuah keterlambatan buatan yang bukan termasuk sifat-sifat transaksi. Apa makna 'buatan' dan 'sifat-sifat transaksi'? Maknanya adalah bahwa setiap transaksi memiliki kondisi waktu dan harga tertentu.
Riba al-fadl mengacu pada kuantitas. Riba an-nasiah mengacu pada penundaan waktu.
  Untuk memahami apa yang dibenarkan dan apa yang tidak dibenarkan, kita harus memahami sifat-sifat khusus yang terdapat dalam setiap transaksi, khususnya transaksi-transaksi yang melibatkan jenis yang sama (barang yang sama yang diberikan dan diterima), seperti pinjaman, pertukaran, dan sewa:
  • Pinjaman melibatkan penundaan atau perbedaan waktu bukan perbedaan dalam kuantitasnya. Seseorang memberikan sejumlah uang, dan setelah waktu tertentu, orang tersebut mengembalikan uang itu tanpa ada penambahan nilai. Kelebihan dalam bentuk waktu dibenarkan dan halal, namun kelebihan kuantitas barang atau uang tidak dibenarkan dan Haram. Jenis ini disebut Riba al-fadl.
  • Sebuah pertukaran tidak melibatkan penundaan waktu dan perbedaan kuantitas. Seseorang memberikan sejumlah uang tanpa disertai penangguhan. Penangguhan ini tidak dibenarkan dalam perdagangan. Jika Anda ingin menunda pembayaran, Anda harus melakukan pinjaman, Anda tidak boleh melakukan pinjaman tersebut sebagai 'pertukaran yang tertunda'. Jenis kelebihan ini termasuk Riba an-nasiah.
  • Sewa-menyewa melibatkan penundaan waktu dan perbedaan kuantitas dan itu adalah halal. Bila Anda menyewa sebuah rumah, Anda mengambil kepemilikan rumah untuk waktu tertentu dan Anda mengembalikannya setelah waktu (penundaan) yang telah disepakati dan di samping itu Anda membayar uang sewa (kelebihan kuantitas). Penundaan dan kelebihan kuantitas itu dibenarkan dan halal. Anda hanya dapat menyewa barang dagangan yang dapat disewa. Anda dapat menyewa mobil, rumah atau kuda. Tetapi Anda tidak dapat 'menyewa uang' (uang dijadikan seperti barang dagangan yang dapat disewa, bukannya sebagai alat tukar) atau bahan makanan (barang sepadan). Berpura-pura 'menyewa uang' bisa merusak sifat transaksi tersebut dan itu termasuk riba. Dan merupakan Riba al-fadl, karena 'menyewakan uang' adalah sama dengan menambahkan perbedaan kuantitas dalam pinjaman.
Dalam penjualan, yang melibatkan pertukaran barang dari jenis yang berbeda, penangguhan adalah halal, dan penangguhan dicatat dengan cara yang berbeda. Bagaimana Anda menentukan perbedaan kuantitas dalam penjualan barang-barang dari jenis yang berbeda? Perbedaan kuantitas ini ditentukan oleh perbedaan antara harga yang ditawarkan pada penjualan langsung dan penjualan tertunda. Dalam ilmu Fiqh Hal ini disebut dengan penetapan dua harga atau 'dua penjualan dalam satu akad'. Harga yang langsung ditetapkan dianggap sebagai harga penjualan tunai; dan kelebihan terjadi bila ada hal yang tertunda. Hal ini dapat terjadi dalam kasus berikut:
  • menawarkan kenaikan harga jika barang yang dibeli pada kondisi tertunda. Atau, 
  • menawarkan diskon jika pembeli langsung membayar di tempat. Atau,
  • menjual hanya untuk kondisi tertunda dan menyangkal kemungkinan pembelian di tempat (sehingga menyembunyikan bahwa adanya peningkatan harga - seperti yang terjadi di penawaran pemberian kredit 0% yang sering kita lihat pada hari ini).
Sebuah diskusi lengkap dari topik ini akan kita bahas kemudian. Kita hanya hanya akan menjelaskan dua kasus:
  1. Ketika penjual mengatakan "Saya menjual pada harga ini jika Anda membayar secara tunai, dan pada harga yang lain (lebih tinggi) jika Anda membayar dalam hal tertunda." 
  2. Ketika penjual memberlakukan 'salam' (salam adalah penjualan dengan pembayaran tertunda, dan Halal) dan pada saat itu uang pembeli tidak mencukupi, ia mengatakan: "Anda dapat menunda pembayaran jika Anda membayar kelebihannya (kesenjangan)," dan juga ketika penjual mengatakan kepada pembeli: "Jika Anda membayar sebelum akhir perjanjian, saya akan menawarkan diskon." Ini adalah jenis riba yang dikenal sebagai riba al-jahiliyah. Jenis riba apa berlaku di sini? Riba al-fadl - karena sumber kelebihan adalah perbedaan nilai.
Ibnu Rusyd menulis: 
"Adapun riba dalam penjualan, para ulama sepakat bahwa riba ada dua jenis: pembayaran ditangguhkan (nasiah) dan kelebihan nilai (tafadul) - kecuali apa yang telah disampaikan oleh Ibnu 'Abbas, yang melaporkan bahwa Nabi, semoga kedamaian dan berkah Allah besertanya, mengatakan: "Tidak ada riba kecuali dalam pembayaran yang ditangguhkan." Meskipn begitu, Mayoritas fuqaha telah menyimpulkan bahwa riba terbagi menjadi dua jenis, karena hal ini telah ditegaskan dalam oleh Nabi pada hadist lainnya."
"Ada empat hal yang memungkinkan hukum riba diberlakukan, yaitu:
(1) hal-hal yang menimbulkan perbedaan nilai maupun penangguhan waktu;
(2) hal-hal yang menimbulkan perbedaan nilai namun tidak menimbulkan penangguhan;
(3) jika terjadi kedua kasus tersebut, dan
(4) terjadi pada kasus jenis yang tunggal."
Dengan demikian, setiap transaksi memiliki kondisi yang berkaitan dengan sifatnya. Anda tidak boleh mengambil kondisi dari satu jenis transaksi dan menerapkannya pada transaksi yang lain, karena bisa merusak transaksi tersebut. Menambahkan kondisi yang tidak dibenarkan untuk sebuah transaksi adalah riba.
  Dayn adalah penangguhan, penggunaan Dayn dibatasi untuk transaksi pribadi dan dilarang sebagai sarana pembayaran umum (uang). Sementara Dayn itu sendiri halal, dan menjadi tidak halal jika diggunakan sebagai uang. Dayn merupakan kontrak pribadi antara dua orang dan hanya berlaku di antara mereka. Pengalihan Dayn dari satu orang ke orang lain dapat dilakukan secara islami, dan hanya berlaku jika dayn yang lama dihapuskan dan dibuat Dayn yang baru. Dayn tidak dapat bersirkulasi secara independen dari apa yang diwakilinya. Pemiliknya harus mengambil kepemilikan barang tersebut dan memusnahkan Dayn nya. Dayn tidak boleh digunakan dalam pertukaran dan tidak boleh digunakan sebagai alat pembayaran. Dayn juga dilarang untuk digunakan untuk membayar zakat.

4. Kesalahpahaman Tentang Riba


4.1. Reformisme Agama dan Kapitalisme


KAPITALISME selalu mengenyampingkan agama ketimbang berinteraksi dengannya. Supremasi hukum di masyarakat sekarang begitu absolut, seperti peraturan perpajakan dan suku bunga, dari pada supremasi hukum Allah. Hukum-hukum Tuhan sengaja dibengkokkan, bahkan tidak diproiritaskan, dalam rangka membenarkan tatanan pemikiran Perbankan yang menurut masyarakat lebih rasional. Revolusi, perang dan bencana ekonomi yang terjadi telah berhasil membuat kapitalisme memaksakan struktur-strukturnya di seluruh dunia. Keberhasilannya begitu sempurna sehingga berhasil menghilangkan resistensi intelektual. Menghilangkan raja-raja, sultan, mata rantai hukum adat, dan mengundang terbentuknya demokrasi yang memberikan lahan subur pemikiran kapitalis untuk tumbuh lebih besar dan menciptakan dunia baru dalam.
   Titik klimaksnya adalah runtuhnya kekuasaan agama yang sebelumnya tak tersentuh. Pemikiran kapitalisme menginterfensi hukum agama di setiap tingkatan dan diterima sebagai sebuah 'anugerah dari Allah': sebuah pembuktian diri akan adanya evolusi umat manusia, ibarat teknologi lokomotif atau radio. Kuncinya adalah 'mengadaptasi larangan riba yang telah diberlakukan sejak dulu, dengan cara mendefinisikan ulang istilah riba dengan hati-hati. 'Konversi' ini dengan sempurna diterapkan oleh kapitalisme di agama kristen ketika proses reformasi (Katolik ke Protestan) terjadi. Hasil utama dari konversi ini adalah 'Kristenisasi perbankan' dan pengurangan Hukum-Hukum Agama menjadi 'Moralitas Pribadi'. Muslim sendiri juga memiliki kaum  reformis 'Protestan'. Dan mengadopsi pola yang sama, yaitu mengadopsi moralitas pribadi yang berpusat pada perilaku seksual, dan 'Islamisasi perbankan'.
   Apa yang kita sebut dengan modernisme Islam serupa dengan Protestantisme dalam kristen. Dua fenomena yang berbagi bentuk yang sama dan tujuan yang sama, berkenaan dengan kapitalisme. Inti dari masalah ini adalah mendefinisikan ulang arti riba, yang memungkinkan perbankan diterima sebagai bagian dari agama.
Dua hal yang diperlukan oleh perbankan untuk diterima secara agama adalah sebagai berikut: 
  1. Menjadikan bunga bisa diterima dan dikenakan pada pinjaman mereka, baik secara langsung atau dengan samar-samar. 
  2. Membuat surat/bukti cadangan perbankan, yang berupa pecahan, diterima dimasyarakat, yaitu, sistem penerbitan atau pencetakan nota sebagai pengganti mata uang yang awalnya berupa emas dan perak.
Norma Hukum, sebagai warisan ulama kristen dan gereja Kristen 'the fathers', menganggap masalah riba ini hampir identik dengan bunga. Penafsiran ini berangkat dari 'paradigma' Aristoteles yang paling komprehensif yang menuntut bahwa nilai dan counter-nilai harus identik. Pandangan Aristoteles tersebut berangsur-angsur ditinggalkan demi definisi sederhana dan lebih praktis dari riba yaitu ‘bunga'. Akhirnya revolusi Protestan mendefinisikan ulang riba menjadi ‘bunga’ (sejumlah nilai yang berdiri sendiri) ke 'pertambahan bunga'. Protestan meng-interpretasi-kan bahwa setiap bunga yang sesuai dengan tingkat kenaikan pasar itu diperbolehkan, dan hanya bunga yang 'berlebihan' dari tingkat kenaikan pasar saja yang dianggap riba. Tapi dalam prakteknya, definisi ini telah terbukti sia-sia, karena walaupun terkesan tidak terlalu melampaui batas dan dapat diterima oleh orang banyak tanpa protes, riba tetap saja kelihatan, dia mengambil perannya melalui istilah jelmaan tersebut (bunga).
  Definisi Aristotelian menawarkan pandangan yang sejalan dengan pandangan Islam. Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabi mendefinisikan riba sebagai: "Setiap kenaikan yang tidak pada tempatnya antara nilai barang yang diberikan dan counter-nilai-nya" Ide umumnya adalah bahwa meskipun individu memiliki apresiasi subjektif yang berbeda-beda terhadap suatu barang,  namun dalam transaksi harus ada kesetaraan dalam setiap nilai tukarnya (objektif lawan subyektif). Ekonom seperti Bentham berpendapat bahwa Aristoteles melihat atas dasar preferensi nilai subjektif (yang dipandang sebagai nilai riil). Dari sudut pandang subyektif Aristotelian, nilai 'hanya pertukaran saja' menjadi tidak masuk akal, karena semua pertukaran yang didefinisikan menjadi tidak-setara. Hal ini karena dari perspektif subjektif, pihak yang terlibat dalam pertukaran selalu mengharapkan 'utilitas/kegunaan' yang lebih tinggi (nilai subyektif) dari barang yang diterima dibandingkan dengan yang diberikan. Jadi, dari perspektif utilitarian, "perdagangan sama ketidakseimbangannya dengan riba", atau dengan kata lain "perdagangan adalah sama dengan riba". Dan Allah Ta'ala telah memperingatkan kita dari orang-orang yang mengatakan "perdagangan adalah sama dengan riba" (Al Qur'an 2:275).
  Menurut konsep utilitarianisme-nya Bentham, semua bentuk bunga dalam bentuk apapun dianggap boleh. Pemikiran ekonomi yang 'mebolehkan riba' dilandaskan pada pemikiran Bentham tersebut. Selanjutnya, dari perspektif utilitarian, riba tidak hanya bisa diterima, bahkan gagasan asli tentang ‘kesetaraan’ yang dianggap tidak relevan lagi dan diabaikan. Ini menjelaskan ketidakmampuan ekonom untuk memahami definisi Riba dalam Islam, yang didasarkan pada kesetaraan intrinsik sebuah transaksi. Hal ini menjadikan ekonom dalam kebingungan nyata, ketika mereka dihadapkan pada prinsip kesetaraan dalam Islam, seperti yang diungkapkan dalam kalimat-kalimat seperti "emas untuk emas, tangan untuk tangan, yang sama untuk yang sama." 'kebingungan mengenai kesetaraan' adalah faktor umum untuk semua kalangan ekonom.
  Dalam Islam, kata untuk ‘penambahan’ adalah riba. Riba, dalam syariah, memiliki arti yang lebih rinci dan komprehensif daripada di Norma Hukum (Canon Law) kristen. Paham Kesetaraan yang dianut oleh Aristotelian diperluas dan dicontohkan dalam syari'ah. Shari'ah menawarkan pemahaman yang lengkap tentang transaksi komersial, dan penolakan riba. Pemahaman 'penambahan' ini diperluas lagi, sehinggga mencakup penjelasan rinci tentang maknanya dalam dua bentuk yaitu perbedaan nilai dan penundaan waktu. Sebaliknya, pemahaman riba dalam dunia Kristen - kurang lebih – hanya didefinisikan sebagai Bunga saja. Pemahaman riba di dalam Hukum Islam, lebih komprehensif dan jelas. Misalnya, dalam transaksi tertentu di mana tidak dibenarkan adanya penundaan yang  tidak pada tempatnya, dan itu dipandang sebagai kelebihan, karena itu awal dari riba. Ulama kristen masa lalu telah kecolongan dalam memahami bentuk riba. Kesenjangan dalam pemahaman kristen memiliki konsekuensi penting terhadap bagaimana riba akhirnya masuk ke dunia kristiani melalui sarana perbankan dan khususnya penggunaan nota berharga (sarana penundaan waktu). Kita akan menekankan pentingnya makna Riba An-Nasiah sebagai sarana mengenali bentuk yang signifikan dari riba yang telah dilalaikan oleh ulama kristen.

4.2. Islam Reformis


Di MESIR, selama akhir abad XIX, sekelompok ulama abal-abal memulai versi Islam mereka sendiri sebagaimana yang telah dilakukan oleh reformis Protestan. Antara lain, mereka mencoba mengubah definisi riba untuk mengakomodasi praktik perbankan pada zaman mereka. Seperti Muhammad Abduh, seorang ulama pro-perbankan modern, Ia menanamkan-nya ke guru-guru dan siswa-siswa di sekolah-sekolah, salah satunya adalah menambahkan elemen baru di hukum-hukum Islam yang asli, dan mengurangi elemen yang ada. Sekolah ini kita kenal sebagai sekolah modernis. Tujuan mereka yang sudah tercapai adalah terciptanya Bank Islam.
  Gerakan modernis diinspirasi oleh Jamal-ud-Din al Afghani (1839-1897), sementara otaknya adalah Muhammad 'Abduh (1845-1905), dan orang yang menyebarkannya adalah Rashid Reda (1865-1935). Gerakan ini pertama kali muncul sebagai penolakan terhadap kolonialisme Barat, namun penolakan emosional tersebut dibarengi dengan sambutan hangat pihak Barat.
  Karena posisinya sebagai Grand Mufti Mesir - posisi yang diberikan kepadanya pada 1899 oleh Lord Cromer, Gubernur Inggris di Mesir - Muhammad 'Abduh telah merusak semuanya dengan mengeluarkan fatwa pertamanya sebagai Grand Mufti, yaitu: "Bunga dengan tujuan untuk ditabung adalah diperbolehkan". 
Dia menulis (5 Desember 1903): 
"Riba tidak diperbolehkan dalam beberapa hal; Namuh, mengingat Kantor Pos menginvestasikan uang yang diambil dari masyarakat, bukan diambil dari pinjaman berdasarkan kebutuhan, sehingga akan ada kemungkinan untuk menerapkan investasi pada uang tersebut dalam aturan di sebuah kemitraan dalam Commenda."
(Al-Manar, vol. VI, bagian 18, hal 717)
Penting untuk dicatat bahwa "ia mengecam riba, namun pada waktu yang bersamaan, ia menerima bank". Ini merupakan kunci utama dari semua alasan ulama modernis zaman sekarang. Dengan fatwa ini, ia membuka pintu untuk menerima perbankan di Hukum Islam. Meskipun ia tidak pernah merumuskan ide tentang Bank Islam - karena ia melihat, tidak perlu menyebutnya dengan istilah Islam – namun ia telah membangun sebuah dasar yang kemudian diformulasikan oleh ulama-ulama modernis sampai sekarang. Dasar tersebut kemudian digunakan untuk merubah tafsiran 'bunga' menjadi sejenis keuntungan, seperti di Shirkat atau Qirad. Re-interpretasi yang kritis ini kemudian berhasil digunakan sebagai seperangkat definisi buatan dan skema untuk menipu.
  Muhammad Rashid Ridha adalah pendiri majalah Al-Manar, yang didistribusikan ke seluruh Dunia Muslim. Dia berpartisipasi di konstitusionalis yang sama dan dia anti 'Dawla Osmanli' seperti Al-Afghani dan Abduh. Dia menentang mazhab tradisional untuk memaksakan pendapatnya sendiri. Dia juga sangat menentang Sufisme. Pendapatnya terhadap Barat dan Riba jelas terpapar dalam tulisannya:
"Tidak ada di dalam agama kita yang tidak sesuai dengan peradaban saat ini, terutama aspek-aspek yang dianggap berguna oleh semua bangsa yang beradab, kecuali yang berkaitan dengan beberapa pertanyaan tentang 'riba' dan saya siap mendukung [dari sudut pandang syari'ah] semuanya, bahwa pengalaman orang Eropa sebelum kita menunjukkan pentingnya untuk kemajuan sebuah negara dalam kondisi Islam yang benar. Tapi saya tidak harus membatasi diri hanya untuk belajar Hukum yang berkutat pada Al Qur'an dan Hadis otentik saja."
(Al-Manar, vol. XII, hal 239) 
Ungkapan "kecuali yang berkaitan dengan beberapa pertanyaan tentang 'riba'" berarti bahwa, misalnya, ia melihat tidak ada yang salah dengan mengambil polis asuransi jiwa. (Al-Manar, vol. XXVII, hal 346, juga vol. VII, hal 384-8, dan vol. VIII, hal 588). 
  Dia juga mengecam penyalahgunaan hukum tradisional dari Qiyas untuk memperluas hal yang bersangkutan ke daerah Haram, seperti pengambilan bunga pada modal dan menunjukkan bahwa mengambil bunga yang tersisa di bank atau kantor pos tidak termasuk dalam hukum keharaman riba. (Al-Manar, vol. VII, hal 28).
  Rashid Reda juga membuat klasifikasi baru riba yang telah menjadi referensi bagi semua ulama modernis sejak saat itu. Reda membuat perbedaan perlakuan hukum yang dia istilakan dengan "riba dari Al-Qur'an" dan "riba dari Sunnah". Reda mempertahankan bahwa bentuk utama dari Riba adalah haram seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur'an, dan bahwa larangan ini harus dipertahankan setiap saat. Namun di sisi lain, teks-teks Sunnah yang melarang jenis Riba ringan atau sekunder, menurut dia, umumnya dilarang tapi mungkin diizinkan dalam hal kebutuhan (darurah).
  Pada dasarnya Dia mengurangi makna Riba an-nasiah yang sebenarnya dan menjadikannya menjadi sesuatu yang lain. Prosesnya sebagai berikut:
  • Pertama, ia mempertahankan bahwa riba dilarang dalam Al Qur’an, yang dikenal sebagai 'riba al-jahiliyah' (ketika seseorang tidak membayar kewajibannya setelah waktu yang ditentukan, penjual akan meningkatkan harga) yang salah dimaknainya dan disamakannya dengan Riba an-nasiah. 
  • Kedua, ia keliru mengasumsikan bahwa riba an-nasiah yang dimaksud hanya untuk pinjaman, dan juga bahwa pinjaman tersebut hanya Haram ketika terlibat bunga yang berlipat, dan oleh karena itu, bunga yang tidak berlipat ia keluarkan dari larangan tersebut. 
  • Dan kemudian, ia menyimpulkan bahwa bunga sederhana (bunga yang tidak berlipat) yang diberikan atau dibayarkan oleh bank tidak dilarang oleh ketentuan-ketentuan Al-Qur'an maupun Sunnah sekalipun.
Dan dia juga menyatakan bahwa ‘larangan yang tersisa dari Sunnah adalah seperti yang terjadi pada perdagangan, khususnya untuk pertukaran secara barter’. Dan dia salah berasumsi bahwa riba penjualan dan barter adalah riba al-fadl. Sebagai contoh, jika dua orang bertukar emas satu sama lain, jumlah emas harus sama dalam berat, keduanya harus serah-terima langsung di tempat. Dia berargumen bahwa pertukaran tersebut tidak seperti riba al-jahiliyah yang dipahaminya, jenis ini tidak dikenal oleh orang Arab, karena sulit untuk memahami mengapa orang akan bertukar dua komoditi yang jumlah atau beratnya yang sama sekaligus. Di sini ia menunjukkan "kebingungan tentang kesetaraan" dan akibatnya sebuah penolakan sepenuhnya pada isu penundaan. Jadi ia melihat Riba al-fadl sebagai bagian dari praktek barter yang telah lama ditinggalkan ketika orang akan bertukar emas untuk emas (dan sejenisnya), dia juga berargumen bahwa pertukaran semacam itu tidak dilakukan lagi.
  Hadits yang terkenal seperti 'tangan ke tangan' dan 'yang sama untuk yang sama' merujuk pada riba yang belum dipahami oleh para ulama modernis. Mereka tidak bisa memahami relevansi penjelasan dari argumen dan bentuk tersebut. Emas untuk emas, yang sama untuk yang sama, dari tangan ke tangan, adalah deskripsi dari kesetaraan transaksi. 'Yang sama untuk yang sama' mengacu pada kesetaraan dalam jumlah yang jika tidak dihadirkan dalam transaksi tertentu maka terkena Riba al-fadl, dan 'tangan ke tangan' mengacu pada kesegeraan transaksi tertentu yang jika tidak dihadirkan maka terkena riba an-nasiah. Ini adalah pernyataan yang secara khusus melarang kemungkinan bertukar "emas yang tidak dihadirkan (Dayn)" untuk "emas yang dihadirkan ('ayn)". Hal ini sangat relevan, dan karena itu, umat Islam dapat terjaga dari kecurangan terhadap emas mereka, seperti bertukar dengan 'janji-janji palsu yang mewakili emas' (bentuk awal dari uang kertas). Hal-hal demikianlah yang membuat uang kertas menjadi Halal, ulama-ulama modernis telah mengabaikan relevansi dari sebuah hadits dan sebuah formulasi yang sudah diciptakan.
  Hadits tersebut mengacu khusus pada pertukaran Dinar dan Dirham untuk barang-barang yang berbeda, dan men-sirat-kan ketidakmungkinan menggunakan 'janji pembayaran' dalam pertukaran. Kedua kasus ini merupakan kasus yang relevan dan penting bagi kita.
Sebagai kesimpulannya, Reda berpendapat: 
  1. Hanya riba al-jahiliyah lah yang disebut sebagai Riba an-nasiah. Dan hanya bunga berlipat-lah yang mendapat predikat Haram.
  2. Riba al-fadl bisa saja terjadi di setiap pertukaran. Dan Riba macam itu adalah efek kedua dari pertukaran dan dapat dihalalkan pada kondisi darurah.
Hal ini pada gilirannya menimbulkan beberapa kebingungan, seperti: 
  1. Riba an-nasiah terjadi pada kelebihan (tafadul) yang terjadi dalam suatu transaksi di mana ada penundaan - seperti pinjaman. 
  2. Riba al-fadl terjadi dalam kelebihan (tafadul) yang terjadi dalam transaksi di mana tidak ada di penundaan.
Menurut pandangan ini, kedua jenis riba diciptakan oleh kelebihan (tafadul) yang kita sebut sebagai riba al-fadl. Oleh karena itu, pada kenyataannya, mereka tidak melihat, atau tidak ingin melihat, kasus riba yang diciptakan oleh penundaan (nasa’), yang kita sebut riba an-nasiah.

4.3. Para pengikut Reda


PARA PENGIKUT REDA pada dasarnya mengadopsi klasifikasi yang sama tetapi berbeda pada masalah bunga berlipat. Mereka sepakat bahwa bunga tunggal juga Haram, namun dapat diterapkan dalam keadaan darurah. Dan mereka tidak menganggap penting Riba al-fadl, yang mereka lihat sebagai barter. Kemudian ulama modernis mengisi kekosongan yang diciptakan dengan definisi mereka sendiri tentang Riba al-fadl dengan mengacu pada monopoli, monopsoni, dan kecurangan harga di pasar secara umum.
  Yang benar adalah bahwa kedua jenis Riba tersebut an-nasiah dan al-fadl, dilarang oleh Al-Qur'an. Bahkan defenisi riba dari Alquran dan Sunah persis sama. Sunnah hanya bertindak sebagai sebuah komentar hidup terhadap Al-Qur'an.
  Ulama-ulam baru yang pro-banking mengambil klasifikasi dasar Riba guna memulai proses islamisasi lembaga kapitalis secara keseluruhan, dimulai dengan yang paling penting yaitu Bank. Untuk meng-Islamisasi bank, tidak hanya bunga yang harus disamarkan, tapi juga penggunaan uang kertas. Penyembunyian bunga pun dilakukan melalui beberapa mekanisme, yang paling penting adalah mendefinisikan ulang Murabahah sebagai sebuah kontrak finansial. Penerimaan 'surat tanda kesanggupan hutang' pun dilakukan melalui re-definisi riba secara hati-hati yang pada dasarnya menggantikan makna riba an-nasiah dengan definisi baru. 
Bagaimana itu dilakukan?

4.4. Kesalahpahaman Riba an-nasiah hari ini


ULAMA MODERN PRO-PERBANKAN mewarisi 'kebingungan tentang kesetaraan' yang sama yang menghantui ekonom sejak masa Bentham. Mereka tidak bisa memahami makna dari 'emas untuk emas, yang sama untuk yang sama, dari tangan ke tangan'. Mereka disesatkan  dengan peralihan makna kalimat tersebut dan pemahaman sederhana tentang Bunga. Dalam proses ini mereka mengabaikan dua hal:
  1. Makna komprehensif dari istilah 'yang sama untuk yang sama', jika berlebih dari makna tersebut maka dianggap ‘bunga’; 
  2. mereka benar-benar mengabaikan issu tentang ‘penundaan’.
Kesalahan mereka pada dasarnya sama dengan kesalahan Reda. Kesalahan pertama adalah mengidentifikasikan Riba dengan Bunga. Mereka mengatakan bahwa Riba dan Bunga itu adalah sama dan keduanya dapat digunakan secara bergantian dalam satu wacana atau kalimat. Kesalahan kedua adalah klasifikasi riba yang menghasilkan pemahaman yang tidak memadai tentang Riba an-nasiah.
  Di antara ulama modernis ini, beberapa telah membuat klasifikasi yang sama sekali baru: Riba pinjaman disebut sebagai 'riba al-duyun' dan riba penjualan disebut sebagai 'riba al-Buyu'. Riba al-Duyun mengacu pada kontrak yang ada penundaan, seperti pinjaman dan penjualan tertunda. Riba al-Buyu mengacu pada kontrak yang tidak ada penundaan, seperti penjualan normal dan pertukaran. Berdasarkan klasifikasi ini, mereka bersikeras memasukkan Riba al-fadl ke dalam transaksi-transaksi yang terjadi dalam penjualan. Dan mereka mengidentifikasi Riba an-nasiah dengan riba al-jahiliyah, yaitu peningkatan dalam pinjaman. Ini sama persis dengan klasifikasi yang dibuat Reda, bedanya, mereka menggunakan istilah-istilah baru.
  Para ulama modernis salah menerjemahkan Ayat Al Qur'an (2:275) mereka mengatakan bahwa "Tuhan melarang bunga". Dan mereka juga salah paham tentang hadist yang mengatakan "Tidak ada riba kecuali dalam nasiah." Hadis ini mereka maknai ‘riba bentuk lain tidak dilarang’.
  Menurut mereka, larangan riba an-nasiah pada dasarnya menyiratkan bahwa Syariah tidak mengizinkan bunga. Bagi mereka, intinya mempertanyakan "the predetermined positive return". Larangan dari "predetermined positive return" - bersama dengan "bebas bunga" - merupakan aspek kunci dari tesis mereka, namun tidak dapat menggantikan arti sebenarnya dari riba.
  Yang penting tentang masalah ini adalah bahwa mereka menyamakan Riba an-nasiah dengan pinjaman, dan Riba an-nasiah ini dihapus dari setiap makna yang ada dalam pertukaran dan kontrak lainnya. Kita nanti akan lihat implikasi dari ini.
  Mereka juga mengakui adanya Riba al-fadl tetapi mereka merubah artinya. Mereka mengatakan bahwa riba al-fadl cuma ada di pembelian dari 'tangan ke tangan' dan penjualan komoditas. Sementara, di satu sisi, Riba al-fadl mencakup semua transaksi yang melibatkan pembayaran tunai dan di sisi lain ia juga dijumpai di pengiriman langsung dari komoditas. Hal ini membuat mereka benar-benar bingung akan makna 'penundaan' di dalam pertukaran. Mereka mengabaikan fakta bahwa perbedaan nilai yang tidak pada tempatnya (tafadul) yang terjadi di pinjaman adalah riba al-fadl juga. Kekosongan ini diisi dengan definisi mereka sendiri mengenai Riba an-nasiah, yang memungkinkan mereka untuk menghapusnya dari makna yang sebenarnya. Untuk memberikan validitas kemiripan ke posisi mereka yang salah, mereka mengutip dari seluruh sumber dan juga hadits namun mereka mengubah konteks dan memutarbalikkan makna dari jenis riba yang terjadi, sehingga menggelincirkan pemahaman masalah ini. Singkatnya, ini adalah penipuan lengkap.
  Misalnya, mereka berpendapat bahwa larangan riba al-fadl timbul dari perkataan Nabi sallallahu alayhi wa sallam, bahwa jika emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam dipertukarkan terhadap diri mereka sendiri mereka harus dipertukarkan lansung di tempat, secara seimbang, dan serupa. Meskipun mereka mengakui bahwa enam item yang disebutkan tadi pada saat yang sama berlaku sebagai fungsi uang, mereka tidak menarik kesejajaran apapun terhadap masalah pertukaran uang. Mereka mengatakan uang kertas bukan merupakan bagian dari larangan karena bukan termasuk salah satu item yang disebutkan dalam hadis. Hal ini tidak relevan, karena 'nota keesanggupan atau uang kertas' tidak memiliki nilai sebagai 'ayn atau Dayn. Jika dia 'ayn maka nilainya nol. Jika dia Dayn maka fungsinya hanya sebagai bukti pembayaran atau untuk mengambil barang yang ditangguhkan pengambilannya dan telah dilunasi dan tidak diizinkan sabagai alat jual-beli.
  Sementara kita membahas pentingnya Riba al-fadl dan mengapa hal itu juga dilarang, Chapra memberikan argumennya sebagai berikut: “Jika diperhatikan sekilas, tampaknya sulit untuk memahami mengapa ada orang yang ingin bertukar jumlah tertentu dari emas atau perak atau komoditas lain yang masing-masing sejenis, dan itu 'harus on the spot'”. Dia mengatakan bahwa pada dasarnya yang dituntut adalah keadilan dan fair play dalam bertransaksi, harga dan nilai tukar harus adil dalam segala transaksi di mana ada pembayaran tunai (terlepas uangnya tersebut terbuat dari apa) yang dibuat oleh satu pihak, dan komoditas atau jasa disampaikan secara timbal-balik. Dia mengatakan bahwa apapun yang diterima sebagai "ekstra", oleh salah satu dari dua pihak untuk bertransaksi, maka itu adalah riba al-fadl, yang dapat didefinisikan dalam kata-kata Ibn al-Arabi sebagai semua kelebihan yang bereferensi pada nilai tukarnya. Karena itu, ia berpendapat bahwa keadilan hanya dapat diberikan pada dua skala nilai barang yang seimbang. Dan akhirnya, ia menyimpulkan bahwa itulah yang ingin dijelaskan oleh Nabi sallallahu alayhi wa sallam, ketika ia merujuk kepada enam komoditas penting dan menekankan bahwa jika satu komoditas memiliki satu skala, maka skala lain juga harus dimiliki oleh komoditas yang sama, "yang serupa untuk yang serupa dan yang sama untuk yang sama". Dia lebih jauh berpendapat bahwa untuk memastikan keadilan, Nabi sallallahu alayhi wa sallam, bahkan tidak menyukai transaksi barter dan menganjurkan untuk menjual suatu komoditas dengan uang tunai dan uang tersebut digunakan untuk membeli komoditas yang sama dan lebih baik atau komoditas lain yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan, dalam transaksi barter tidak mungkin dilakukan penentuan secara akurat antara kesetaraan satu komoditas dan komoditas lain, kecuali dalam bentuk jasa. Oleh karena itu, kesetaraan mungkin dapat dibangun, dan pendekatan-pendekatan lainnya hanya akan menyebabkan ketidakadilan pada satu pihak. Dan penggunaan uang membantu mengurangi kemungkinan pertukaran yang tidak adil.
  Di sini lah keberadaan riba an-nasiah dihilangkan, yaitu riba an-nasiah yang menjadi bagian dari pertukaran. Mereka dengan gampang mengatakan bahwa transaksi seperti ‘emas untuk emas’ tidak terjadi lagi, karena masalah ini tidak relevan lagi. Kenyataannya, transaksi semacam itu terjadi setiap hari - setiap kali nota kesanggupan (uang kertas) digunakan. Mereka menganggap bahwa hanya ‘bunga pinjaman dan kelebihan dalam pertukaran barang yang sama’-lah yang dilarang. Dan yang lainya tidak.
  Berdasarkan argumen sebelumnya, Chapra menyimpulkan bahwa semua komoditas yang dipertukarkan di pasar akan tunduk pada kemungkinan riba al-fadl. Dia mengatakan bahwa larangan yang demikian dimaksudkan untuk menjamin keadilan dan menghilangkan segala bentuk eksploitasi melalui 'ketidakadilan' pertukaran dan untuk menutup semua pintu riba, dalam syari'ah Islam, apapun yang berfungsi sebagai alat untuk melanggar hukum, adalah pelanggaran hukum juga. Dia berpendapat bahwa Nabi sallallahu alayhi wa sallam, juga menyamakan riba dengan kecurangan yang dimasukkan ke dalam pasar dan perangkap harga dalam tawar-menawar dengan bantuan agen. Dengan demikian, katanya, uang ekstra yang diperoleh melalui eksploitasi dan penipuan adalah Riba al-fadl. Riba al-fadl, terlepas dari arti tertentu, menurut dia menjadi segala bentuk ketidakadilan, dan ia mengkaitkan kasusnya dengan hadist Nabi sallallahu alayhi wa sallam, yang mengatakan: "Tinggalkanlah apa-apa yang menciptakan keraguanmu, dan ikutilah apa-apa yang tidak menimbulkan keraguanmu." Dan Khalifah Umar juga berkata: "Jauhkanlah dirimu tidak hanya dari riba tetapi juga dari Ribah/keraguan" makna kata 'keraguan' mengacu pada pendapatan yang memiliki kemiripan dengan riba atau yang menimbulkan keraguan dalam pikiran tentang kebenarannya. Semua ini mencakup pendapatan yang berasal dari ketidakadilan, atau eksploitasi terhadap orang lain.  
  Jadi, Riba al-fadl benar-benar sudah didefinisikan ulang dari nilai kesetaraannya dan Riba an-nasiah dianggap hanya sebagai bunga pinjaman semata, dimana pada kenyataannya defenisi tersebut tidak cocok dengan yang ada kecuali dalam kasus "hutang untuk hutang", yaitu, membayar hutang dengan hutang.
Mengacu pada Fakhruddin al-Razi, Chapra menyimpulkan bahwa riba an-nasiah dan riba al-fadl keduanya merupakan komponen penting dari surah Al Baqarah ayat 275 "…Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba…" Dan dia mengatakan bahwa, terlepas riba an-nasiah itu berhubungan dengan pinjaman dan itu dilarang, ayat yang lain menyatakan bahwa riba al-fadl berhubungan dengan perdagangan. Dia mengatakan bahwa ketidakadilan yang ditimbulkan melalui riba dapat dijumpai di transaksi bisnis, dan riba al-fadl mengacu pada semua ketidakadilan atau eksploitasi. Seperti adanya kecurangan, ketidakpastian, spekulasi, monopoli, dan monopsoni. 
  Sekarang, jika kita meneliti kalimat ini "Riba an-nasiah berkaitan dengan pinjaman" kita dapat memahami mengapa mereka salah memahaminya. Apa yang Chapra dan lain-lain katakan bahwa nasiah mengacu pada riba yang terjadi dalam transaksi yang memiliki penangguhan (seperti dalam pinjaman), sedangkan posisi yang tepat adalah bahwa riba an-nasiah adalah "penangguhan yang tidak pada tempatnya" yang terjadi pada semua jenis transaksi (misalnya yang terjadi pada pertukaran,). Bahkan, meskipun ada penangguhan dalam pinjaman, pengguhan tersebut berada tidak pada tempat yang semestinya. Penundaan dalam pinjaman adalah halal (kecuali dalam kasus "hutang untuk hutang"). Penyebab "penundaan tidak pada tempatnya" dalam sebuah pinjaman adalah 'perbedaaan nilai'. Oleh karena itu, dalam kasus pinjaman, 'penangguhan' bukanlah penyebab riba, namun ‘perbedaaan nilai’-lah penyebabnya. Berdasarkan hal ini, jenis riba yang berhubungan dengan bunga yang dikenakan dalam sebuah pinjaman bukanlah riba an-nasiah namun riba al-fadl.
  Kesalahan ini bukanlah kesalahan sederhana, kesalahan ini menimbulkan konsekuensi yang penting. Dengan mendefinisikan ulang, Riba an-nasiah menjadi kehilangan makna aslinya. Dan juga kehilangan kemampuan untuk menentukan status Haram yang melekat pada penundaan yang tidak pada tempatnya. Hal ini akan mencegah para Bankir Islam untuk mempertanyakan penggunaan 'promissory notes / nota kesanggupan / uang kertas' sebagai alat tukar dan alat transaksi lain di mana penggunaan Dayn sendiri itu haram. Kesalahan semacam ini digunakan sebagai pintu untuk menghalalkan uang kertas.
  Para bankir Islam setuju bahwa bunga yang dibebankan oleh bank komersial, "identik dengan kelebihan yang ditetapkan sebagai syarat wajib dalam kontrak, yang merupakan salah satu dari dua jenis riba yang dilarang oleh syariat Islam." Namun mereka mengabaikan beberapa pertanyaan, tentang kemungkinan riba yang disebabkan oleh penangguhan dalam pertukaran dan transaksi lainnya, yang begitu penting untuk dipahami untuk memahami uang kertas. The Islamic Fiqh Academy yang didirikan oleh Organization of the Islamic Conference (OIC) , pada sesi kedua yang diadakan di Jeddah, Arab Saudi, 22-28 Desember 1985, menyatakan bahwa "[setiap peningkatan atau laba atas pinjaman yang telah jatuh tempo, sebagai imbalan atas perpanjangan tanggal jatuh tempo, dalam hal ini peminjam tidak mampu membayar], dan [setiap peningkatan atau laba atas pinjaman pada awal perjanjian pinjaman], keduanya adalah bentuk riba, yang dilarang oleh Syariah." 
  Sebagai kesimpulannya, klasifikasi yang dibuat oleh ulama modernis mengurangi dua isu riba: bunga pinjaman dan segala bentuk monopoli atau monopsoni, atau mencurangi harga di pasar. Mereka sewenang-wenang menyebut riba an-nasiah dan riba al-fadl. Klasifikasi ini memelintir makna dari dua jenis riba dan mengabaikan isu penting dari penggunaan uang kertas dalam pertukaran dan permasalahan yang muncul akibat uang kertas. Pada dasarnya, ide mereka tentang riba adalah bunga atas pinjaman.

4.5. Menyamakan riba dengan bunga dalam pinjaman


PARA ULAMA PRO-BANKING menyamakan bunga dengan riba. Menurut mereka, riba mengacu pada premi yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan jumlah pokok sebagai syarat untuk pinjaman atau untuk perpanjangan jatuh tempo. Dengan kata lain, riba adalah pengembalian yang telah ditentukan dalam pemanfaatan uang. Di masa lalu telah ada sengketa tentang apakah riba mengacu pada ‘bunga tidak berlipat’ atau ‘bunga yang berlipat’?, tetapi sekarang ada konsensus di antara ulama modernis bahwa istilah riba mencakup semua bentuk bunga dan tidak hanya bunga yang berlipat. [seperti sebelumnya yang diyakini oleh Reda dan lain-lain].
  Para ulama modernis telah menyimpulkan bahwa karakteristik yang paling penting dari riba adalah bahwa Riba adalah hasil yang positif dan pasti berasal dari uang ketika ditukarkan. Dengan kata lain, ketika uang melahirkan uang tanpa ada pertukaran barang atau jasa, hal itu disebut riba. Dan karakteristik dasarnya, menurut mereka, adalah:
  1. Harus terkait dengan pinjaman
  2. Sejumlah uang yang harus dibayar saat jatuh tempo;
  3. Waktu yang telah ditetapkan untuk pelunasan; dan
  4. Setiap unsur yang digunakan untuk pelunasan sebagai syarat pinjaman.
Dalam pandangan mereka ini, seluruh masalah 'penundaan waktu' diabaikan.

4.6. Islamic Banking


4.6.1. Bank Islam adalah Bank


HASIL AKHIR dari pandangan ulama modernis yang menyimpang terhadap Riba adalah pembenaran perbankan. Dasar pemikiran mereka adalah 'perbankan tanpa bunga' adalah halal. Kenyataannya, meskipun Perbankan Islam mendefinisikan dirinya sebagai perbankan non-bunga, namun sebenarnya mereka menerapkan bunga tersebut, hanya dengan nama yang berbeda. Mereka menyebutnya seabagai keuntungan, terkadang dividen, terkadang mark-up tergantung pada skema yang dibuat. Namun terlepas dari metode-metode yang digunakan untuk menyembunyikan bunga tersebut, masalah utamanya adalah 'Bank Islam adalah bank'. Bank Islam, seperti semua bank lainya, menerapkan 'cadangan fraksional perbankan'. Cadangan Fraksional perbankan adalah inti dari fiat money (uang kertas). Melalui metode ini mereka mengunakan dan membuat fiat money dan akibatnya mereka mendukung sistem uang kertas saat ini.
  Pertama, dalam Islam, orang (dalam kasus ini, bankir) menerima deposit (wadi'a) dari pihak lain yang tidak berhak untuk berdagang dengannya. Ini dianggap sebagai pelanggaran kontrak. Di masa lalu kaum Muslim membuat deal dengan pembayaran langsung atau melalui jaringan kompleks wakil, yang tidak menciptakan kredit, mereka hanya menjalankan permintaan pelanggan mereka, yaitu melakukan pembayaran atau menerima pembayaran. Uang dan kredit tidak dicampur. Dan wakils tidak menggunakan uang dalam simpanan tersebut untuk kepentingan dagang mereka.
  Kedua, di dalam Islam, Anda tidak dapat menggunakan hutang sebagai uang. Uang kertas yang diperdagangkan oleh bankir tidak didukung oleh sifat uang itu sendiri (uang kertas adalah surat hutang, meskipun sering digunakan sebagai uang), namun dikatakan berharga karena adanya tekanan hukum dan politik dari Negara tertentu. Uang kertas ini sebenarnya adalah pajak. Dan tidak diperbolehkan dalam Islam. Bankir Islam tidak hanya melakukan perdagangan dengan uang kertas, mereka juga berkontribusi pada penciptaan uang kertas melalui penciptaan deposit. Harus diingat bahwa deposit bank berfungsi selayaknya uang.
  Untuk menggambarkan bagaimana penciptaan uang kertas tersebut, kita akan memberikan contoh sebagai berikut: Di Kanada angka yang diterbitkan oleh Bank Sentral Kanada menjelaskan bahwa pada tahun 1998 rasio dari semua cadangan kas bank di Kanada ($3,893 billion) untuk total aset mereka ($1.393 billion) telah melompat ke level 1:358, angka yang belum pernah terjadi dalam sejarah, selama 50 tahun pertama abad ke-20, rasio tersebut tidak pernah melebihi 1:15. Itu berarti untuk setiap dolar uang tunai di brankas mereka atau disimpan oleh Bank Kanada, telah disulap menjadi $357 dengan cara investasi atau pinjaman berbunga.
Contoh ini menunjukkan bahwa bank sebenarnya merupakan kontributor utama dari jumlah uang yang beredar di negara tersebut.
  Bagaimana bisa cadangan fraksional perbankan memungkinkan bank untuk meminjamkan lebih banyak dalam bentuk deposit daripada dalam bentuk uang tunai. Jadi, apa yang terjadi jika semua orang mulai merasa gugup tentang sistem cadangan fraksional perbankan saat ini, dan semakin banyak orang menarik tabungannya yang ada di bank? Uang yang tersedia untuk ditarik tidak mencukupi. Bank harus belajar dari kejadian-kejadian tragis pada 1930-an 'Great Depression'. Peristiwa yang lebih baru terjadi pada tahun 1985, ketika sejumlah bank regional di north-eastern di Amerika Serikat bangkrut karena menjalankan kredit ketika nasabah mereka menuntut simpanannya. Kita juga menjadi saksi ketika bank-bank di Argentina yang menjalankan hal serupa, pada tahun 2001. Polisi dipanggil, dan nasabah dilarang masuk ke bank-bank komersial untuk menarik tabungan mereka. Pejabat-pejabat pemerintah yang terpilih dari berbagai negara telah berusaha menutup paksa bank-bank tersebut, untuk mencegah mereka menjalankan hal yang serupa, yaitu hal-hal yang menyebabkan mata rantai peristiwa tak terkendali, dan pada dasarnya menghancurkan sistem perbankan itu sendiri.
  Solusinya adalah mengalihkan pajak uang dari bank yang telah ditutup ke asuransi bank central, untuk mengeliminasi masalah sampai kejadian tersebut terulang kembali.
  Negara 'melindungi' bank dari kebangkrutan dengan cara asuransi simpanan, dimulai dengan penarikan dari bank, namun hal itu hanya menambah masalah lebih lanjut terhadap cadangan fraksionasi bank sentral. Industri perbankan saat ini diatur sedemikian rupa sebagai pencetak-uang dan kartel (penentu nilai uang). Negara melindungi kartel perbankan atas dasar rasionil dan logika dari hukum yang bertautan dengan kontrak.
  Bank Islam juga terlibat dalam sistem ini. Mereka adalah bagian dari itu. Mereka mempraktikkan cadangan fraksional ini, yang merupakan basis dari mayoritas uang kertas yang beredar. Mereka tidak memiliki cash yang cukup untuk mengembalikan semua uang yang dihasilkan tadi. Selisih tersebut dimasukkan ke dalam perekonomian sebagai 'suplai uang' yang memberikan kontribusi terhadap fenomena inflasi.
  Ide pertama dari Perbankan Syariah berasal dari ide-ide Abduh, yang menyamakan bank dengan Shirkat dan Qirad. Prinsip yang memicu dimulainya Perbankan Islam adalah gagasan adanya investasi di perbankan – karena mereka tidak memberikan pinjaman, mereka hanya berinvestasi – dan bisa dibuat halal. Mereka berpendapat bahwa mereka tidak membebankan bunga karena mereka menginvestasikan uang mereka ke bisnis lain. Menurut mereka, hanya diperlukan sedikit reformasi dalam Islamisasi perbankan, yaitu menganggap investasi tersebut tidak bertujuan untuk menciptakan bunga kepada pemegang rekening. Dan bukan merupakan masalah besar, melainkan cara lain untuk membuat keuntungan yang lebih. Jadi, menurut mereka, investasi di perbankan tanpa membayar bunga kepada pemegang rekening adalah halal.
  Hal yang tidak dapat dihindari oleh Bankir Islam adalah penyakit praktik perbankan, khususnya inflasi. Karena mereka tidak dapat mempertahankan inflasi dari perspektif Islam. Mereka mengatakan bahwa inflasi adalah masalah pemerintah, bukan bank. Ini tidak benar. Pemerintah mengatur inflasi, tetapi produsen utamanya adalah pasokan uang itu sendiri yaitu bank-bank, termasuk Bank Islam. Ketika mereka akhirnya tersudut dengan masalah mereka sendiri dan berdebat dengan cara yang khas ‘berdalih ke konsep darurah’.
  Pada dasarnya, ide mengenai Dinar Emas dan Dirham Perak (mata uang syariah) dianggap menjijikkan oleh para bankir, dan juga mempermalukan Bankir Islam - karena perbankan tidak dapat beroperasi dengan rezim moneter seperti emas dan perak murni. Mereka butuh ‘uang kertas’ baru, apakah itu bagian dari standar emas atau bahkan yang lebih dari itu, yang mendapat dukungan Negara. Perbankan Islam adalah bagian dari perbankan dan perbankan itu Haram dan mereka mempraktekkan kelicikan yang paling hulus yang pernah kita alami dalam sejarah perlawanan terhadap Islam. Bankir Islam telah membuat yang Haram menjadi Halal. Oleh karena itu mereka telah melakukan kejahatan ganda. Pertama dengan menggunakan hal yang Haram, dan kedua dengan mengubah hukum Islam untuk membenarkan praktik mereka.

4.6.2. Murabahah: mana yang sesuai fiqh? dan mana yang buat-buatan?


KONTRAK PENJUALAN yang dikenal dalam Hukum Islam telah diselewengkan oleh pihak yang disebut Bank Islam. Murabahah menempati antara 80% – 90% dari keseluruhan transaksi Perbankan Islam. Dapat kita katakan bahwa tanpa 'Murabahah versi mereka', Bank Islam tidak akan ada saat ini. Bank Islam menjadikan Murabahah – yang aslinya adalah sebuah kontrak penjualan –sebagai sebuah sarana pembiayaan berdasarkan praktek terlarang yang dikenal sebagai "dua transaksi dalam satu akad". Praktek ini merupakan mekanisme yang digunakan unutuk menyamarkan riba menjadi sebuah keuntungan.

Apa defenisi Murabahah versi Bank Islam?

"Murabahah: Secara harfiah berarti mark-up. Alat ini sering digunakan untuk membiayai perdagangan. Dalam mekanisme ini, Bank membelikan barang yang sesuai dengan keinginan pembeli atas nama Bank. Dan kemudian menjualnya kepada pembeli untuk mendapat keuntungan. Dan pembeli membayar barang tersebut ke bank dengan angsuran."
Deskripsi inilah yang kita sebut sebagai "dua penjualan dalam satu akad" dan ini haram. 
Dalam Muwatta, Imam Malik menulis:
"Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa ia mendengar bahwa Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai, melarang dua penjualan dalam satu penjualan akad."
"Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa ia mendengar bahwa seorang pria berkata kepada yang lain, 'Beli unta ini untukku segera sehingga saya dapat membelinya dari Anda secara kredit.' 'Abdullah bin 'Umar ditanyai tentang itu dan ia tidak setuju dan melarangnya."
Sebelum kita meneliti masalah ini secara detail, kita akan melihat arti sebenarnya dari Murabahah. Dalam Fiqh, kontrak Murabahah adalah kontrak penjualan, yang berarti ada tawaran dan penerimaan dari harga barang tertentu dalam satu transaksi. Ciri-ciri khasnya adalah mark-up dari harga dasar. Dalam Murabahah, harga dasar ini terkait dengan harga akhir. Dalam Al Muwattha Imam Malik, Mark-up yang digunakan adalah 10%. Imam Malik membuat contoh berikut:
"Jika seseorang menjual barang seharga 100 dinar untuk 110"
Dalam penjualan yang normal, penjual tidak wajib menyebutkan harga dasar untuk suatu barang, tetapi dalam Murabahah, Anda menyebutkan harga asli ditambah mark-up nya.
"Jika seseorang menjual barang dalam Murabahah dan dia berkata, 'Barang ini berharga seratus dinar sewaktu dijual kepada saya.'"
Dalam praktik normal, seorang penjual membeli barang-barang di suatu kota dan kemudian ia pergi ke kota lain untuk berjualan secara Murabahah, Ia akan mengatakan: "Barang ini aku beli dengan seharga sekian dan sekian dan akan aku jual dengan harga sekian dan sekian." atau dengan pernyataan sederhana "Aku menjualnya dengan mark-up 10%."
  Dalam Murabahah tradisional, barang yang didagangkan dalam milik si penjual sebelum ia membuat tawaran tersebut. Dalam Murabahah yang didefenisikan oleh Perbankan Islam, pembeli datang kepada mereka dan berkata, saya ingin membeli ini dan itu (transaksi pertama). Kemudian Bank Islam pergi dan membelinya secara tunai dan menjualnya kepada mereka dengan harga yang sudah di-mark-up (transaksi kedua) ditambah dengan 'perjanjian penundaan' atau kredit (transaksi ketiga). Praktek ini sama dengan "dua penjualan dalam satu akad" bahkan ada tiga transaksi, dan ini dilarang.
  Poin penting dari Murabahah yang mendapat perhatian 'ulama kita adalah definisi dari harga dasar, sehingga tidak terasa ada penyelewengan dibagian lain. Ada beberapa biaya yang termasuk dalam harga dasar dan ada beberapa yang tidak. Ketika biaya-biaya itu dimasukkan, maka penjual berhak untuk membuat mark-up pada biaya dasar tersebut.
Ibnu Rushd menjelaskan hal ini dengan cara berikut:
  Mayoritas ahli hukum sepakat bahwa penjualan ada dua jenis: Musawana dan Murabahah. Murabahah terjadi ketika penjual menyatakan modal pembelian barang yang dijualnya kepada pembeli, dan kemudian menetapkan mark-up atau keuntungannya dalam satuan dinar atau dirham.
  Ibnu Rushd menganalisis semua perbedaan mengenai hal ini dalam bukunya Kitab al-Murabahah dalam Bidayat Al-Mujtahid. Dia mengangkat semua isu-isu tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak. Dalam Murabahah, penjual dibolehkan membeli dengan penundaan dan menjual dengan penundaan. Hanya ada satu elemen yang perlu dipertimbangkan seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd:
  Malik mengatakan tentang orang yang membeli barang dengan kredit untuk satu periode dan menjualnya dengan cara Murabahah, bahwa tidak diperbolehkan kecuali dia mengungkapkan periodenya. Al-Syafi'i mengatakan bahwa jika ini terjadi, pembeli akan memiliki periode (kredit) yang mirip dengan nya.
  Ini berarti bahwa kontrak Murabahah itu diatur. Dan harga awal (harga dasar) yang di mana mark-up (profit) adalah tetap, dan didefinisikan dengan baik. Harga dasar termasuk harga yang dibayar dan semua biaya yang terlibat dalam transportasi, dll, sangat mirip dengan kasus agen Qirad. Penjual telah menyatakan biaya-biaya ekstra kepada pembeli, dan tidak ada salahnya dalam mengurangi mereka jika secara umum disepakati.
  Murabahah bukan sebuah kontrak keuangan seperti Qirad. Murabahah adalah penjualan, dan karena itu diatur dalam hukum umum yang berlaku untuk penjualan. Apa yang dilarang dalam penjualan, dilarang juga dalam penjualan Murabahah. Dan apa yang diperbolehkan dalam penjualan, diperbolehkan dalam Murabahah. Perbedaannya dari penjualan normal hanya terletak dari cara penetapan harga.

4.6.3. Bagaimana kontrak Murabahah versi Bank Islam bisa terjadi?


Mungkin, PEMIKIR PALING TERKENAL mengenai Perbankan Islam adalah ulama Pakistan, Taqi Osmani. Yang dalam sebuah esai tentang Murabahah, ia menyatakan:
"Murabahah" adalah istilah Fiqh Islam yang mengacu pada jenis tertentu dari penjualan dan tidak ada hubungannya dengan pembiayaan dalam arti aslinya...
Murabahah, dalam konotasi asli Islam, adalah suatu penjualan sederhana. Satu-satunya fitur yang membedakannya dari jenis penjualan lainnya adalah bahwa penjual secara jelas memberitahu pembeli berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan dan berapa banyak keuntungan yang akan didapatnya dalam penambahan biaya.
Pernyataan tersebut benar kecuali kalimat "berapa banyak keuntungan yang akan didapatnya dalam penambahan biaya" harus dibaca "berapa banyak keuntungan yang didapatnya dalam penambahan biaya". Perbedaan antara masa depan atau sekarang adalah penting untuk memahami bagaimana penjualan sebenarnya terjadi. Kesan pertama menyiratkan bahwa ada pra-kesepakatan sebelum penjual membeli barang untuk dijual, namun bukan ini hal yang sebenarnya.
  Taqi Osmani, seperti kebanyakan ulama Perbankan Islam lainnya, menganggap Murabahah sebagai ‘kemampuan untuk menyebutkan mark-up penjualan’, dan mereka menggabungkan prinsip ini dengan penjualan tertunda. Apa yang sekarang didefenikan oleh para Bankir Islam sebagai Murabahah bukanlah Murabahah yang sebenarnya, melainkan bentuk lain dari riba.
  Taqi Osmani, seperti semua Bankir Islam lainnya, mengabaikan larangan "dua penjualan dalam satu akad". Sekarang kita akan menguji prinsip ini lagi.

Larangan Dua Penjualan dalam Satu Akad

Ibnu Rushd menjelaskan masalah ini dalam Bidayat Al-Mujtahid nya:
"Sebuah tema yang relevan dengan subyek dalam bab ini adalah tradisi yang menegaskan bahwa Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai, melarang dua penjualan dalam satu akad, sesuai dengan hadits Ibnu 'Umar dan kemudian Ibnu Masud dan Abu Hurairah. Abu Umar berkata bahwa semua ini telah disampaikan oleh otoritas yang dapat dipercaya. Para ahli hukum, umumnya sepakat pada implikasi dari hadits ini, tetapi berbeda dalam rinciannya - maksud saya adalah bentuk istilah mana yang diterapkan dan yang mana yang tidak. Mereka juga sepakat pada beberapa bentuk. Penjualan ini dapat terjadi dalam tiga cara: 
  • pertukaran dua komoditi berharga untuk dua harga. 
  • pertukaran satu komoditi berharga untuk dua harga. 
  • pertukaran dua komoditi berharga untuk satu harga, dalam hal salah satu dari dua penjualan telah terikat.
Penjualan dua komoditi berharga untuk dua harga divisualisasikan dalam dua cara: 
  • Bahwa orang mengatakan kepada yang lain, "Aku akan menjual barang ini dengan harga sekian dengan syarat kamu menjual rumahmu kepadaku dengan harga sekian;" 
  • Bahwa ia berkata kepadanya, "Aku akan menjual benda ini dengan harga satu dinar atau komoditi yang lainnya dengan harga dua dinar." 
Penjualan satu komoditi untuk dua harga juga divisualisasikan dalam dua cara: 
  • Seperti sesorang berkata kepada yang lain ‘yang satu ini dalam bentuk tunai, sementara yang lain dalam bentuk kredit’, 
  • Seperti sesorang berkata kepada yang lain, ‘Aku akan menjual gaun ini tunai dengan harga sekian dengan syarat saya membeli nya dari kamu dengan kredit untuk satu periode dengan harga sekian’. 
Penjualan dua komoditas untuk satu harga adalah seperti perkataan berikut, 
  • "Aku akan menjual keduanya kepada mu dengan harga sekian."
…Walau bagaimanapun, jika dia berkata, "Aku akan membelikan ini untukmu dengan harga sekian dan tunai dengan syarat Kamu membelinya dari saya dengan kredit dalam satu periode," transakti tersebut tidak diizinkan dengan suara bulat oleh para ahli fiqh melalui ijma, karena menurut mereka termasuk dalam salah satu kategori 'ina, karena penjualan dilakukan oleh seseorang yang ia tidak memiliki barang tersebut dan juga melibatkan kasus terlarang 'Jahl' tentang harga.
Malik menulis dalam Muwaththa:
"Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa ia mendengar bahwa al-Qasim Ibn Muhammad pernah ditanya tentang seorang pria yang membeli barang seharga 10 dinar dengan tunai atau 15 dinar dengan kredit. Dia tidak menyetujui itu dan melarangnya."
Malik mengatakan bahwa jika seseorang membeli barang dari orang lain, dengan pilihan sepuluh dinar dengan tunai atau lima belas dinar dengan kredit, pembeli memilih salah satu dari dua harga itu. Hal semacam itu tidak harus dilakukan karena jika dia menunda pembayaran yang sepuluh, maka akan menjadi lima belas dalam bentuk kredit, dan jika dia membayar yang sepuluh maka dia akan membelinya, yang tadinya seharga lima belas dinar dalam bentuk kredit.
  Malik mengatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku untuk seseorang yang akan membeli barang dari orang lain baik dengan satu dinar tunai atau untuk seekor domba dengan kredit dan salah satu dari dua harga itu dipilihnya. Hal itu tidak dilakukan karena Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai, melarang dua penjualan dalam satu penjualan. Ini adalah semacam dua penjualan dalam satu akad.
  Semua ini membuktikan bahwa praktik Murabahah versi Bank Islam dilarang. Karena sebenarnya itu bukan Murabahah, tapi dua penjualan dalam satu akad, yang dilarang oleh Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai.
  Larangan dua penjualan dalam satu akad juga termasuk praktik yang mengerikan yang umum terjadi di pasar dan telah disahkan oleh Bankir Islam. Hal ini mengacu kepada orang-orang yang menjual barang-barang mereka dengan dua harga, satu dalam bentuk tunai dan satu kredit. Praktik tersebut Haram dan harus diberantas. Baik penjual menjualnya untuk satu harga atau beberapa harga atau dengan komoditi yang lain sebagai uangnya, jika dia memutuskan untuk menerima pembayaran tertunda, maka harga tidak boleh meningkat.
  Taqi Osmani menegaskan bahwa transformasi Murabahah ke dalam sistem keuangan, dan berikutnya menjadi Islamisasi Sistem Keuangan, tidak dibenarkan dalam syari'ah namun hanya untuk ukuran sementara:
"Awalnya, Murabahah adalah jenis tertentu dari penjualan dan bukan modus pembiayaan. Modus pembiayaan yang ideal menurut syari'ah adalah mudarabah atau musharakah yang telah dibahas dalam bab pertama. Namun, dalam perspektif ekonomi saat terjadinya kesulitan praktis tertentu yang disengaja dalam menggunakan instrumen mudarabah dan musharakah di beberapa daerah pembiayaan, para ahli syari'ah kontemporer telah memperbolehkan penggunaan Murabahah pada pembayaran yang ditangguhkan sebagai modus pembiayaan, sesuai dengan kondisi tertentu. Tapi ada dua poin penting yang harus sepenuhnya dipahami dalam hal ini:
  Wajib diingat bahwa, awalnya, Murabahah bukanlah modus pembiayaan. Murabahah adalah hanya sebuah perangkat untuk melepaskan diri dari "bunga" dan juga bukanlah sebuah instrumen ideal untuk melaksanakan tujuan ekonomi riil Islam. Oleh karena itu, instrumen ini harus digunakan sebagai 'langkah sementara' yang diambil dalam proses Islamisasi ekonomi, dan penggunaannya harus dibatasi hanya untuk kasus-kasus di mana mudarabah atau musharakah tidak dapat dipraktikkan.
  Namun, ide tentang 'langkah sementara' belum disampaikan kepada nasabah mereka. Nasabah hanya diberitahu bahwa praktik Murabahah adalah halal. Masalah terburuknya adalah bahwa praktek ini bukan merupakan model Islam, tapi untuk integrasi lebih lanjut ke dalam sistem kapitalis, yang mereka sebut sebagai Islamisasi ekonomi. Islamisasi ekonomi bukanlah transformasi realitas kapitalis disekitar kita, tetapi transformasi hukum Islam untuk mengubah kapitalisme tersebut.

Murabahah seperti yang dilakukan oleh Bank Islam adalah penipuan murni

Tariq al-Diwani menulis dalam esainya "Perbankan Islam tidak Islami" 
"Contractum trinius adalah trik hukum yang digunakan oleh pedagang Eropa di Abad Pertengahan untuk memungkinkan riba pada pinjaman, sesuatu yang ditentang keras di Gereja. Contractum trinius adalah kombinasi dari tiga kontrak terpisah, masing-masing kontrak tersebut diperbolehkan oleh Gereja, namun jika dipakai bersama-sama akan menghasilkan pengembalian dengan keuntungan yang bertingkat. Misalnya, si A menginvestasikan £100 ke si B selama satu tahun. Kemudian si A akan menjual haknya kembali ke B untuk tiap keuntungan diatas katakanlah £30, untuk fee sebesar £15 yang harus dibayar oleh B. Akhirnya, si A akan mengasuransikan dirinya sendiri terhadap kerugian kekayaan dengan cara kontrak ketiga disepakati dengan B dengan biaya untuk A dari £5. Hasil dari tiga kontrak secara bersamaan disepakati adalah pembayaran bunga sebesar £10 pada pinjaman £100 yang dibuat oleh A ke B.
Saya telah membaca tentang contractum trinius beberapa bulan sebelum penemuan pertama dokumentasi lengkap tentang 'dibalik kontrak Murabahah Perbankan Islam.' Ini adalah kontrak dimana si A sebagai orang yang membiayai pembelian barang X dari si B. Pihak bank akan menjadi perantara dalam transaksi ini dengan meminta si A untuk berjanji membeli barang X dari bank dan setelah pihak bank membeli barang tersebut dari B. Dengan janji yang diberikan, bank tahu bahwa jika membeli barang X ini dari B, bank akan dapat segera menjualnya ke A. Bank akan setuju bahwa si A bisa membayar barang X selama tiga bulan setelah bank mengirimkan barang itu. Sebagai imbalannya, A akan setuju untuk membayar beberapa persen lebih banyak kepada bank dari harga barang X yang dibeli oleh bank dari si B. Efek bersihnya adalah tingkat bunga yang tetap dalam pengembalian bembiayaan bagi bank, kontrak dilaksanakan dari saat bank membeli barang X dari B. Uang yang dikeluarkan sekarang untuk mendapatkan uang yang lebih banyak di kemudian hari, dengan barang X diantaranya.
  Kumpulan perangkat hukum di atas tidak lain hanya trik untuk menghindari riba, sebuah contractum trinius modern Islami. Faktanya bahwa penjelasan lengkap dari kontrak ini sangat sulit untuk didapatkan, dan menjadi fakta yang memalukan di Perbankan Islam. Jika memang bersih, mengapa begitu rahasia? Berikut ini adalah kutipan dari kontrak murabahah yang sering digunakan oleh dua lembaga besar selama tahun 1990-an: "'Beneficiary/Penerima' adalah klien yang membutuhkan keuangan, dan ketentuan sebelumnya mengharuskan Beneficiary bertindak sebagai agen dari Bank dalam mengambil pengiriman barang."
  Penipuan ini tidak dapat diterima dalam Hukum Islam. Ini hanyalah sebuah trik untuk menyajikan sesuatu yang Haram sebagai sesuatu yang Beneficiary.

4.6.4. Bahaya menghilangkan hal yang prinsipal dari sebuah perjanjian


KETIKA BEBERAPA KONTRAK diubah menjadi beberapa prinsip simbolik, tafsiran yang ditimbulkan pun akan benar-benar tercabut dari prinsip 'amalan Islami. Hasilnya, proses 'Islamisasi' ekonomi, secara intelektual menciptakan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya berkenaan dengan General Plan 'Islamisasi Kapitalisme'.
  Karya Taqi Osmani pun dipergunakan oleh legiun baru, Bankir Islam, dalam penciptaan 'ijtihad' yang akan dijadikan sebagai dasar hukum, melalui beberapa prinsip metodologi yang sama, mereka bergerak ke lapisan berikutnya yaitu 'Islamisasi'. Ketika menuju ke Islamisasi yang telah diubah dasar hukumnya, sumber-sumber yang asli pun benar-benar terlupakan. Dasar penalaran pun akan berganti posisi dari hukum yang sebenarnya ke hukum yang dibuat oleh generasi Bankir Islam sebelumnya. Hasilnya adalah kebohongan diatas kebohongan. Islamisasi pasar berjangka 'futures market' adalah produk barunya, dan bukan produk akhir, dari kebohongan tak terkendali yang kita sebut 'islamisasi ekonomi'. Masalah ini, seperti yang ditulis dalam: Sebuah Sanggahan Yuridis Taqi Osmani (A Juridical Rebuttal of Taqi Osmani) ditulis oleh Hadhrat Maulana Mufti Habeebullaah dari Pakistan. Mufti Habeebullaah menulis: "
"Saya telah membuat studi mendalam tentang buku Mufti Muhammad Taqi Uthmaani Saheib, Islaam Aur Jadeed Ma' eeshat Wa Tijaarat (Islam dan Kehidupan Modern dan Perdagangan). Saya menyimpulkan bahwa Mufti Saheb menemui kegagalan dalam pembangunan sistem kapitalis berbasis Islam dan Syari'at nya. Meskipun Islam bertolak-belakang dengan sistem ini, Mufti Saheb berusaha untuk membuat Islam tunduk terhadap sistem kapitalis ini. Namun, kita (umat Islam) dan sosial kita dan kehidupan politik kita dan semua sistem kita harus tunduk kepada Syariah. Lebih jauh lagi, Mufti Saheb terus berusaha, dengan penambahan kata Jadeed (modern), untuk menyajikan sistem kapitalis dalam nuansa syari'at. Upaya ini memandang bahwa peninggkatan moneter pada sistem kapitalis bisa dianggap sebagai laba yang halal. Dengan demikian, mereka bisa mempergunakan keuntungan tersebut tanpa pemahaman dosa dan dosa yang berlipat ganda. Pemahaman ini benar-benar kebinasaan di dunia ini dan di Akhirat."
Teknik yang digunakan adalah transformasi hukum Islam ke dalam prinsip-prinsip abstrak tanpa konteks dasar dan kemudian mengaplikasikannya secara bebas dengan meng-analogi-kan ke dalam kontrak asing. Jadi proses ini dianggap sebagai "peng-Islam-an kontrak". Di bawah ini adalah contoh bagaimana Mudharabah secara simbolis diartikan sebagai profit sharing 'bagi-hasil' dan Musyarakah sebagai equity participation 'modal bersama'. Implikasinya adalah bahwa jika Mudharabah adalah kontrak yang telah divalidasi oleh Fiqh Islam, maka setiap bentuk bagi-hasil secara prinsip sudah ada di dunia kapitalis.
"Adalah sebuah argumen yang baik jika dampak Mudarabah dalam memobilisasi sumber daya dapat diperluas dalam perekonomian luas atau jika pembiayaan Mudarabah-Musyarakah (profit-sharing & equity participation) dapat dikualifikasikan sebagai partisipasi kooperatif dan aktif antara pemegang saham, dan bukan hanya sekadar manajemen sebuah dana menganggur yang dikumpulkan oleh mitra." 
Pemasukkan istilah ekonomi yang memiliki implikasi ganda terlihat tidak berbahaya. Istilah-istilah yang diimpor menyederhanakan dan mengganti sifat kompleks dari sebuah kontrak dalam 'amal Islami, dalam mendukung prinsip-prinsip (yang secara de facto disebut prinsip-prinsip Islam) yang diam-diam membawa semua konotasi dan latar belakang filosofi yang berbeda. Kemudian, prinsip-prinsip ini digunakan untuk dijadikan label dan membenarkan situasi lain yang mungkin tidak memiliki kesamaan dengan kontrak asli.
  Mudarabah atau Qirad lebih dari sekedar 'profit-sharing'. Kontrak-kontrak ini memiliki banyak kewajiban dan batasan dalam konteks 'amal Islami yang tidak hanya mencakup istilah ‘profit-sharing’ saja. Sharikat atau Shirkah tidak sama dengan 'equity participation'. Equity Participation yang dipahami dalam sistem kapitalisme dan dalam hukum Islam benar-benar berbeda.

4.7. Tahapan dari proses "Islamisasi"


BAGIAN PERTAMA dari ijtihad modernis/reformis dilakukan oleh Muhammad Abduh, dengan menghalalkan bunga atas dasar kesamaan bentuk dari profit taking di dalam Islam, yaitu Qirad. Analogi para modernis seperti ini: ‘inti dari Qirad adalah berbagi keuntungan dari sebuah bisnis yang sah, oleh karena itu, dari sebuah bisnis yang sah kita dapat menawarkan beberapa bentuk 'restricted profit' (keuntungan-terbatas) atau bunga.’
BAGIAN KEDUA adalah Islamisasi Riba yang dilakuakn oleh Hasan Al-Banna dalam ijtihad-nya mengenai legalisation of dividends (legalisasi pembagian keuntungan) sebagai keuntungan yang sah. Dia men-analogikan dengan mengatakan bahwa “inti dari dividen adalah semacam 'practical profit (keuntungan praktis)', meskipun dividen diputuskan oleh pemegang Saham Mayoritas dan mereka tidak terikat pada hasil perusahaan.”
BAGIAN KETIGA datang bebarengan dengan pengembangan Bank Syariah, diantara penulis seperti Yusuf Qardawi  dan Khurshid Ahmad. Mereka memperkenalkan penggunaan istilah Arab untuk menyembunyikan praktek riba. Proses ini paling berbahaya yang bisa dibayangkan. Istilah-istilah itu menyiratkan penolakan mutlak Hukum Islam dan dan men-transformasikan-nya dengan analogi yang berbahaya dalam 'prinsip-prinsip Islam', seperti yang dilakukan oleh para reformis dalam hal Murabahah.

4.8. Metodologi Modernisme


KAUM modernis memanfaatkan Islamic finance sebagai laboratorium utama untuk berinovasi, mereka mengambil kesimpulan berdasarkan definisi untuk memdefenisikan ulang atau me-modernisasi realitas kontemporer dengan meng-Islamisasi-kan nya. Islamic finance merupakan ladang yang subur untuk berinovasi karena agak terpisah dari ekstrimisme politik yang terkait benar atau salah dalam Islam 'fundamentalisme'. Terinspirasi oleh pengalaman singkat Ahmad al-Najjar di Nasser Mesir, pada tahun 1973 Organization of the Islamic Conference (OIC) meluncurkan Islamic Development Bank. Kemudian pada tahun 1975, Dubai Islamic Bank  dimulai, skor untuk sektor komersial swasta yang dibuka oleh Bank Islam untuk bisnis berhasil bersaing dengan bank konvensional, pertama di negara-negara Arab dan kemudian di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dan bahkan negara-negara non-Muslim. Meskipun pertumbuhan awal mereka cepat, namun hari ini mereka menjadi mandek/stagnan. Gejalanya terlihat pada tahun 1998, Dubai Islamic Bank membutuhkan paket penyelamatan, dan sejumlah bank komersial Islam lainnya menunjukkan tanda-tanda runtuh. Salah satu masalah dasar mereka adalah bahwa mereka tidak memiliki gudang instrumen keuangan yang memadai untuk bersaing dengan bank konvensional. Akibatnya mereka meminta bantuan insinyur keuangan dan inovasi, ulama fiqih atau sarjana hukum untuk berkontribusi di situasi ini dengan harapan akan memperoleh 'angin kedua'.
  Ada dua pendekatan dasar menuju Islamic finance. Salah satunya adalah mengambil pendekatan makro Ekonomi Islam dan "menggali lagi hukum-hukum klasik untuk prinsip-prinsip Islam yang fundamental" sehingga lahirlah konsep ekonomi bebas-bunga. Pendekatan lain adalah pendekatan mikro kurang-lebih berfokus dengan hukum Islam atau Fiqh pada "tindakan konkret individu yang memiliki signifikansi agama" yang kemudian berubah menjadi prinsip-prinsip Islam yang siap untuk di-implementasi-kan. Transaksi mikro, secara formal, berbasis perspektif, adalah salah satu yang paling mempengaruhi praktek-praktek Perbankan dan keuangan Islam saat ini. Hal ini dilakukan dengan mengurangi kadar Fiqh untuk beberapa aturan sederhana yang biasanya tidak benar, sebagai pernyataan tentang hukum klasik. Akibatnya, pencampuran dua pendekatan yang menyebabkan kebingungan.
  Para Ekonom menjawab bahwa kesimpulan 'konservatif/kolot' para sarjana hukum atau ulama fiqih harus dirasionalisasikan, karena rentan terhadap tuduhan mengabadikan oposisi terhadap kemajuan Islam.
Ada 4 situasi kontemporer yang mereka sukai untuk mengelaborasi atau mempertahankan fatwa mereka: 
  1. Ijtihad atau penafsiran baru dalam menerangkan 'prinsip' dari Al Qur’an dan hadis; 
  2. Pilihan (ikhtiyar) di antara pandangan yang sudah dikemukakan oleh para ulama masa lalu dan diadaptasi oleh berbagai kriteria yang mungkin, termasuk kesejahteraan umum, atau mashlahat, dengan keadaan sekarang; 
  3. Keterpaksaan (darurah), dan 
  4. Hukum buatan (yang sering mereka sebut hila, pl. hiyal.) atau mengakalinya dengan trik hukum untuk men-sah-kan tujuannya.
Sementara itu para ulama fiqih tradisional lebih memilih untuk menghindari ijtihad meskipun mereka bisa membenarkan inovasi dengan menyeru orang untuk menaatinya, ijtihad adalah metode yang disukai oleh kaum modernis, terutama dalam pembahasan kontemporer tentang pilihan, yang merupakan instrumen keuangan yang penting untuk kelangsungan masa depan Islamic finance. Profesor Kamali, seorang Ekonom Islam terkenal, ketika diajak untuk ber-ijtihad, secara tegas/eksplisit memakai metode 'pilihan dan kriteria' dari kesejahteraan umum dalam analisis hukum tentang instrumen ini.
  Contoh terbaik dari penggunaan trik hukum adalah pada kasus Murabahah. Murabahah - seperti yang kita analisis sebelumnya - telah berubah menjadi sarana pembiayaan penjualan dengan membuat dua transaksi menjadi satu akad. Para ulama modernis belakangan ini, berpendapat bahwa nilai waktu dari uang adalah argumen yang valid (padahal tidak), tetapi mereka menolak membuat uang dari uang (menyewakan uang).
  Menurut trik hukum ini, bank membiayai penjualan Murabahah dan bank harus benar-benar membeli barang dagangan yang akan dijual ke pembeli. Meskipun begitu, dalam prakteknya, Bank Islam di Pakistan, Malaysia, dan tempat lain telah menemukan Murabahah jenis baru yang lebih ngawur, dimana kreditur segera menjual barang kepada pembeli tanpa pernah benar-benar memilikinya atau bahkan sepenuhnya hanya menyodorkan brosur barang saja. Akademi Fiqih dari Organization of Islamic States telah mengutuk praktek ini, namun masih banyak Bank Islam terlibat dalam kasus seperti ini dan mungkin mereka tidak memiliki keahlian komersial dan kemampuan literal pergudangan untuk memenuhi kondisi dari Murabahah perbankan 'yang benar'. Bagian utama dari kredit yang diberikan oleh Bank Islam mengambil bentuk Murabahah tetapi proporsinya adalah buatan dan tidak diketahui. Setiap serangan sistematis yang licik dapat membahayakan seluruh gerakan Islamic Financial. Karena Bank Islam yang selalu membutuhkan instrumen keuangan baru.
  Darurah telah digunakan sebagai instrumen untuk meng-Islam-kan kapitalisme. Penyalahgunaan penggunaan darurah ini harus dinetralkan dengan cara me-restorasi yang halal, yaitu mulai dari zakat. Permasalahan Zakat merupakan hal yang mendasar bagi Dien kita dan juga hal yang mendasar bagi pemulihan perekonomian Islam. Zakat tidak bisa dibayarkan dalam bentuk Dayn. Jika umat Islam membayar zakat mereka tidak dalam uang kertas maka zakatnya tidak diterima, argumen ini sungguh bertentangan dengan Hukum islam. Dan tidak bisa dikatakan darurah. Prinsip darurah adalah alasan sementara yang diambil dengan tujuan merubah suatu keadaan. Namun para ulama pro-banking menggunakan prinsip Islam ini 'darurah' untuk membenarkan penggunaan uang kertas. Dan pada kenyataannya, umat Islam tidak dapat dicegah untuk mencetakan dan menggunakan Dinar Emas dan Dirham Perak Islam. Penggunaan alasan darurah ini hanya dipandang untuk mempertahankan status quo saja. Hal ini lah yang mereka digunakan sebagai tameng untuk membuat Haram menjadi Halal.
  Ijtihad kaum modernis bukanlah ijtihad yang sebenarnya. Ijtihad mereka tercipta akibat penolakan terhadap taqlid, yang mereka sebut sebagai 'pengikut sesat' dari Fiqih tradisional. Ini hanyalah bentuk lain dari trik mereka untuk membuat hukum Haram menjadi Halal. Kunci penyimpangan mereka adalah penolakan terhadap Fiqh tradisional, yang dilihat sebagai keilmuan abad pertengahan. Sebagai gantinya, mereka langsung beralih ke Al-Qur'an dan Hadist. Teks-teks kehilangan konteks atau putusan hukum yang kemudian berubah menjadi prinsip-prinsip Islam, seperti prinsip Tanpa-Bunga, atau prinsip validitas hukum dari nilai waktu, dan kemudian prinsip-prinsip ini diterapkan ke setiap obligasi dan turunannya, termasuk kebijakan-kebijakan, tukar-menukar, saham, dan juga kartu kredit, pinjaman dan perdagangan hutang.
  Penggunaan maslahat, atau kepentingan publik, adalah bagian lain dari alat Islamisasi. Mengingat elaborasi yang memadai, kemanfaatan umum dapat diartikan apa saja. Seperti pendapat bahwa penggunaan uang kertas bisa dibenarkan untuk kepentingan publik. Mengapa Anda repot-repot membawa koin emas yang berat, jika Anda bisa lebih ringan membawa uang kertas atau kartu kredit? Argumen seperti itu digunakan untuk membenarkan aspek yang paling menggelikan dari masyarakat kapitalis saat ini.
  Isu T-Bills Islami adalah sangat penting, tidak hanya untuk kebijakan moneter tetapi juga bagi Bank Islam, karena mereka selalu membutuhkan tempat berlindung yang aman untuk memarkirkan kelebihan likuiditas mereka. Dalam hal ini dan masalah serupa lainnya dan di dalam imajinasi Islami para Dewan Perbankan Syariah, tidak ada konsensus seperti halnya 'diizinkan atau tidak diizinkan'. Didalamnya ada dukungan penuh dari argumen hukum dan praktik-praktik negara. Hampir semua surat berharga pemerintah yang dapat diterima ataupun yang tidak, oleh beberapa Bank Islam diinterpretasikan pada hukum masing-masing dewan perbankan syariah. Sehingga di model Negara Malaysia, Indonesia, Pakistan, Iran, dan Model Islam di Arab menggunakan kriteria yang berbeda untuk isu-isu yang baru. Sementara, Model Bank Islam di Malaysia telah diakomodasi dalam sistem dual bank, Islam dan konvensional. Namun tidak berarti bahwa praktik di Malaysia akan dapat diterima di negara-negara Arab. Tidak ada rumusan Islam yang secara umum dapat diterima untuk sebuah keamanan pemerintahan yang relatif bebas risiko.
  Blok bangunan dari standar keuangan konvensional modern lainnya adalah 'option', sebuah hak tanpa kewajiban untuk membeli atau menjual sesuatu di masa mendatang pada harga tertentu. Mohammad Hashim Kamali, Profesor dari Malaysia telah mensajikan secara 'provokatif' sebuah pembelaan hukum untuk berbagai macam derivatif Islami berdasarkan pasar berjangka untuk komoditas. Banyak argumennya yang bergantung pada kapasitas kelembagaan pasar untuk mengontrol unsur-unsur gharar, atau spekulasi, yang melekat di pasar derivatif. Profesor Kamali menampilkan apresiasi yang sangat canggih dari keuangan modern yang belum dimiliki oleh sebagian besar ulama fiqh 'tradisional'. Sebagai bankir dan ekonom ia memperluas pemahaman masyarakat hukum tentang keuangan, meskipun begitu, interpretasi sepanjang garis itu mengkristal hari demi hari menjadi turunan baru tentang 'konsensus' Islam. Islamic finance telah memperoleh 'fleksibilitas' besar dari langkah-langkah awal yang diambil oleh Bankir Islam pertama. Namun bukan berarti selesai, dan tidak akan benar-benar sampai sebelum terintegrasi ke dalam sistem perbankan kafir.
  Meskipun bisa dimengerti bahwa banyak umat Islam berada di dalam situasi dimana mereka menganggap bahwa perbankan diperlukan untuk kehidupan mereka, namun juga tidak bisa dibenarkan untuk menyebutnya Islami. Jika umat Islam dipaksa oleh keadaan untuk menciptakan bank, mereka harus menyebutnya "Bank itu Haram". Sebutan ini akan membuat orang sadar bahwa semua transaksi yang terjadi di bank itu dilarang, dan akan mendorong orang untuk menghilangkan ketergantungan pada sistem perbankan.
  Cara melakukannya adalah dengan menegakkan apa yang halal. Hal ini dimulai dengan pengenalan kembali mata uang syariah kita, Dinar Emas dan Dirham Perak, dan menciptakan sistem pembayaran yang bukan perbankan, yaitu, mereka tidak mencampur uang dengan kredit. Setelah sistem pembayaran yang Islami berada di tempatnya, tahap berikutnya adalah penciptaan pasar yang Islami, pengenalan-kembali sistem caravan/kafilah, serikat dan pengadilan Islam yang dapat menjamin penerapan yang benar dari kontrak Islam yang murni: Shirkah dan Qirad. Setelah itu, baru kita bisa menuju ke satu bentuk Kalifah Islam.

5. Memahami Uang Kertas


LANGKAH PERTAMA adalah memahami materinya. Setelah itu kita bisa beralih ke Al-Qur'an dan Fiqih.
Uang kertas telah berevolusi sejalan dengan sejarah. Penggunaan Uang kertas yang kita ketahui hari ini tidak seperti dahulu. Pada dasarnya, evolusi ini telah melewati tiga tahap:
  1. Sebuah nota kesanggupan yang diback-up oleh emas atau perak. 
  2. Sebuah proses devaluasi secara sepihak yang mengarah ke pencabutan penuh kesepakatan kontrak. 
  3. Sepotong kertas yang tidak didukung oleh specie/mata uang (emas atau perak), yang nilainya ditentukan oleh pemaksaan Hukum Negara.
Mari kita teliti ketiga tahap ini satu per satu.

5.1. Uang kertas yang didukung oleh emas dan perak


UANG KERTAS yang pertama kali dikeluarkan oleh bank, mewakili beberapa gram emas atau perak, dikenal sebagai specei. Meskipun tidak pernah 100% didukung oleh specie, bank penerbit berkewajiban untuk membayar sejumlah permintaan. Dalam hal ini mewakili sejenis hutang.
  Ketika uang kertas berperan sebagai hutang, dapatkah ia diterima? Di dalam hukum Islam, isu-isu apa saja yang relevan?
 Pada tahap ini, institusi perbankan memiliki sejumlah emas dan mengeluar-kan sertifikatnya yang diperuntukkan kepada si pemilik hak tersebut agar dengan itu si pemilik bisa menarik sejumlah specie saat diminta. (Kita akan mengabaikan fakta bahwa ini adalah lembaga perbankan yang telah berurusan dengan riba, Kita akan berpura-pura bahwa mereka tidak berurusan dengan bunga untuk berkonsentrasi pada masalah uang kertas itu sendiri…)
A) Masalah pertama yang timbul adalah soal amanah (kepercayaan): emas Anda dipercayakan kepada bendahara. Hukum Islam yang mana yang harus digunakan? Allah ta'ala berfirman dalam Al Qur'an dalam Surat Al 'Imran (3:75):
Di antara Ahli Kitab ada beberapa yang, jika Kamu percayakan kepada mereka dengan setumpuk emas, maka akan dikembalikannya kepadamu. Tetapi ada yang lain di antara mereka yang, jika kamu percayakan mereka dengan satu dinar, mereka tidak akan mengembalikannya kepadamu, kecuali jika berdiri di atas mereka. Itu karena mereka mengatakan, "Kami tidak berkewajiban atas orang-orang ummi/buta huruf." Mereka berbohong terhadap Allah dan mereka tahu itu.
Hukum (pandangan hukum atau perintah) dari ayat ini, menurut Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabi dalam bukunya 'Ahkamul Qur'an', adalah sebagai berikut: "Hal ini dilarang bagi Muslim untuk beramanah dengan orang kuffar luar Dar al-Islam," yaitu, "tanpa berdiri di atas mereka" atau dibawah kekuasaan otoritas Muslim. Dan penjelasan untuk ini ditemukan dalam ayat itu sendiri: "Itu karena mereka mengatakan 'kami tidak memiliki kewajiban,'” yang artinya, karena mereka akan/dapat menanggalkan perjanjiannya. Karena kasus ini telah terbukti secara historis, kita dapat menyimpulkan bahwa ini hal yang sangat penting.
  Artinya adalah bahwa Muslim tidak boleh menabung kekayaannya kepada kuffar di manapun, dikarenakan kita tidak memiliki Dar al-Islam hingga kita memiliki dominasi atas mereka. Dengan interpretasi yang lebih ringan, bahwa beramanah dengan orang kafir diperbolehkan bila deposit yang kita miliki berada di bawah kekuasaan otoritas Muslim. Kita bisa menerima versi yang terakhir. Namun yang termasuk kategori ditolak adalah memberikan amanah pada kuffar saat kekayaan disimpan di bawah otoritas kafir.
  Kita bisa menyimpulkan bahwa uang kertas – Rupiah, Dollar, Pounds, Franc, dll - merupakan hutang, karena specie yang mereka wakili disimpan di tempat yang jauh dari kendali kita, dan tidak bisa kita terima, dengan alasan dan ketakutan bahwa mereka akan menanggalkan perjanjiannya - yang ternyata terbukti di kemudian hari.
B)  Sekarang, kita mengasumsikan amanah ini berada di bawah otoritas Muslim. Permasalahan kedua yang timbul adalah mengenai nota kesanggupan, apakah dapat diberlakukan sebagai uang? Dengan kata lain, apakah uang kertas dapat digunakan sebagai alat tukar menurut Syariat Islam.
  Dalam kasus ini hukum yang relefan adalah 'pengalihan hutang'. Menurut Sekolah Amal Madinah kita menemukan ketentuan hukum sebagai berikut dan penjelasannya dalam Muwatta Imam Malik:
Malik mengatakan, "Seseorang tidak boleh membeli hutang yang dimiliki oleh seseorang apakah itu langsung atau tidak, tanpa konfirmasi dari orang yang berhutang, juga tidak boleh membeli hutang yang dimiliki orang yang mati bahkan jika orang itu meninggalkan sesuatu. Itu dikarenakan, transaksi tersebut merupakan transaksi yang tidak pasti dan kita tidak mengetahui apakah transaksi itu akan selesai atau tidak."
Ia juga mengatakan, "Penjelasan tentang apa yang dilarangan dalam pembelian hutang yang dimiliki oleh seseorang yang tidak hadir atau mati adalah bahwa mungkin saja orang lain bisa mengklaim hutang tersebut. Jika seorang yang telah mati bertanggung jawab atas hutang orang lain, maka harga yang diberikan oleh pembeli untuk hutang tersebut menjadi tidak berharga."
Malik mengatakan, "Kesalahan dalam masaah ini juga bahwa Dia yang membeli sesuatu yang tidak dijaminkan baginya, dan jadi jika transaksi belum selesai, maka apa yang dibayarkannya menjadi tidak bernilai. Ini merupakan transaksi yang tidak jelas dan itu tidak baik."
Ide umumnya adalah bahwa dalam rangka mentransfer/mengalihkan hutang, penerbit asli dari hutang (orang yang memiliki kewajiban) tersebut harus menjamin nilai hutang untuk pengalihan tersebut (orang yang menerima nota). Jadi, kontrak hutang yang pertama harus dilikuidasi dan kontrak hutang baru harus dibuat. Hutang selalu dianggap sebagai kontrak pribadi antar pihak. Hutang tidak boleh bersirkulasi tanpa membuat jaminan pribadi yang baru (kontrak baru). Alasannya adalah bahwa orang yang telah mengeluarkan hutang mungkin memiliki kewajiban lebih dari yang dapat dipenuhinya.
  Bagaimana praktek ini bisa diterapkan saat uang kertas diedarkan oleh bank sebagai hutang? Karena setiap bank - dan ini adalah gagasan uang kredit - berkewajiban untuk mengeluarkan lebih dari jumlah yang mereka simpan sebagai specie (emas/perak/bahan berharga), dan ini tidak bisa dipakai sebagai nota perdagangan. Alasannya adalah, bahwa orang tersebut akan menjadi penerima hutang yang tidak ada jaminan simpanan specie baginya, terutama ketika ia mengetahui bahwa tidak ada dijamin untuknya, karena pengedarnya (bank) memiliki kewajiban lebih dari apa yang dapat dipenuhi. Jika semua nasabah bank pada suatu saat nanti menagih nilai dari rekening mereka, seperti yang terjadi dalam 'run on the bank', bank tidak akan mampu memenuhi kewajibannya.

Kesimpulan. Ketika uang adalah hutang, dalam Hukum Islam Anda tidak akan diizinkan untuk digunakan. Anda tidak akan diizinkan menggunakan dolar, atau pound, atau rupiah atau nota apapun, apakah itu datang dari bank kafir atau bank milik muslim, apakah specie itu disimpan di negara kafir atau di sebuah negara Muslim. Nota perbankan (seperti uang kertas dan lain-lain) tidak diizinkan untuk beredar.
  Namun jika nota tersebut tidak diedarkan oleh bank, melainkan oleh seseorang, dan orang yang hadir dan dapat secara pribadi menjamin pemilikan fisik barang/specie, dalam kasus ini dapatkah nota hutang dialihkan, dijual, atau diedarkan secara umum? Aspek Hukum apa yang relevan untuk menganalisa kasus ini?
  Sekali lagi kita harus beralih ke pengalihan hutang. Apa yang relevan di sini adalah: specie apa yang digunakan sebagai jaminan untuk hutangnya? Dengan kata lain, apa nota specie nya? Jika hutangnya dalam bentuk emas (uang), maka aturan pembatas lainnya adalah 'tempat'. Jika makanan, aturan pembatasan lainnya juga 'tempat'. Hal ini dikarenakan emas, perak, dan makanan memiliki arti khusus dalam perdagangan.
- Barang-barang tersebut biasanya digunakan sebagai media pertukaran. Seperti pada Kasus berikut:
Dalam bab 'Pertukaran Uang' dalam kitab Al Muwattha, Imam Malik menulis:
"Yahya meriwayatkan padaku dari Malik dari Ibn Syihab dari Malik ibn Aws ibn al-Hadathan an-Nasri bahwa ia pernah meminta untuk bertukar 100 dinar. Dia berkata, "Thalhah Ibn 'Ubaydullah memanggilku lagi dan kami membuat kesepakatan bersama bahwa ia akan melakukan pertukaran denganku. Dia mengambil emas itu dan membolak-balikkannya di tangannya dan kemudian berkata, "Aku tidak bisa melakukannya sampai bendaharaku membawa uang untukku dari al-Ghaba." 'Umar Ibn al-Khaththab mendengar itu dan Dia berkata, "Demi Allah! Jangan tinggalkan dia sampai Kamu mengambil uang itu darinya! "Lalu ia berkata," Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai, berkata, "Menukar Emas dengan Perak adalah riba kecuali dari tangan ke tangan. Gandum untuk gandum adalah riba kecuali dari tangan ke tangan. Kurma untuk kurma adalah riba kecuali dari tangan ke tangan. Jelai untuk jelai adalah riba kecuali tangan ke tangan'."
Pembatasan pertama adalah bahwa Anda tidak dapat menggunakan emas atau makanan dalam pertukaran (sarf) kecuali specie secara fisik hadir di sana. Anda tidak dapat menggunakan klaim emas atau makanan yang disimpan di bendahara. Item yang dipertukarkan harus hadir.
  Ini lah kemungkinan aturan yang dikenakan dalam penggunaan uang kertas yang mewakili emas atau perak untuk membeli fisik emas atau perak. Selain itu, pertukaran nota kertas dengan nota kertas lain adalah dilarang karena itu adalah 'Hutang untuk Hutang'.
  Larangan penggunaan promissory notes (nota kesanggupan) dalam pertukaran lebih diperkuat lagi oleh sunnah berikut:
Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa ia mendengar bahwa al-Qasim ibn Muhammad berkata, "'Umar Ibn al-Khaththab berkata,' 1 dinar untuk 1 dinar, dan 1 dirham untuk 1 dirham, dan 1 sa' untuk 1 sa'. Sesuatu untuk dikumpulkan nanti (barang yang tidak ada) tidak boleh dijual untuk sesuatu di tangan (barang yang ada).'"
Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa Abu'z-Zinad mendengar Sa'id al-Musayyab berkata, "Riba hanya ada di dalam emas atau perak atau apa ditimbang dan diukur dari apa yang dimakan dan diminum."
Semua ini jelas menunjukkan bahwa bukan hanya emas dan perak saja tapi juga makanan yang dapat digunakan sebagai pembayaran termasuk dalam larangan, kemudian larangan ini meluas menjadi bentuk 'alat tukar umum'. Setiap nota yang mewakili segala bentuk 'alat tukar umum' tidak dapat digunakan dalam pertukaran. Dengan pembatasan tersebut, berarti nota perbankan tidak dapat benar-benar digunakan sebagai uang, tetapi hanya sebagai kontrak pribadi - yang merupakan dasar dari argumen kita.
  Tapi bagaimana dengan nota yang dipegang oleh bendahara Muslim dan jaminan: bisakah digunakan dalam transaksi selain pertukaran? Bisakah digunakan, misalnya, untuk membeli barang-barang lain di pasar?
"Yahya meriwayatkan padaku dari Malik, ia mendengar bahwa nota transaksi (sukukun) diberikan kepada orang-orang di masa Marwan ibn al-Hakam untuk barang di pasar al-Jar. Orang membeli dan menjual nota tersebut antara mereka sendiri sebelum mereka mengambil atau menerima barangnya. Zaid Ibn Tsabit dan salah satu sahabat Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai, pergi ke Marwan Ibn Hakam dan berkata, "Marwan! Apakah Engkau mau membuat riba jadi halal? "Dia berkata," Aku berlindung kepada Allah! Apa itu? "Dia berkata," Ini, nota yang orang-orang membeli dan menjual dengannya sebelum mereka mengambil atau menerima barangnya". Lalu Marwan mengirim pengawalnya untuk mengikuti mereka dan mengambil nota-nota itu dari tangan orang-orang dan mengembalikannya kepada pemiliknya."
Ini berarti bahwa Anda tidak dapat menggunakan nota kesanggupan untuk perdagangan seolah-olah itu uang. Tujuan yang benar dari nota kesanggupan bukanlah untuk uang, tetapi untuk dijadikan kontrak pribadi yang harus tetap menjadi pribadi dan bukan publik.
  Jadi, apa gunanya nota kesanggupan itu? Apakah penggunaannya itu halal? Halal bila digunakan untuk sebuah kontrak atau catatan hutang, dan juga halal bila digunakan untuk pengalihan hutang, asalkan orang yang bersangkutan dapat diakses dan dapat menjamin pembayaran hutang dengan menandatangani kontrak baru yang dibuat. Jika penjamin bukan seorang Muslim, maka selain apa yang kita katakan tadi, ia juga harus memiliki amanah dalam wilayah Muslim dan di bawah pengawasan total dari otoritas Muslim yang ada.

5.2. Devaluasi di Uang Kertas atau Nila Uang Kertas yang Terus Memudar


Tahap KEDUA mengacu pada proses dari tahun ke tahun di mana uang kertas terus-menerus terdevaluasi dari obligasi awalnya (mereka dibayar kurang dari janji mereka), sampai hutang itu akhirnya benar-benar dicabut (mereka menarik obligasi mereka). Eliminasi obligasi akhir ini terjadi pada dolar Amerika di tahun 1973, ketika Presiden Nixon secara sepihak mencabut kewajiban membayar satu ons emas untuk setiap 35 dolar.
  Bagaimana posisi dan hukum Islam mengenai surat hutang ini, ketika salah satu pihak secara sepihak mencabut obligasi/kewajibannya, apakah itu penuh atau parsial?
  Hal ini tidak dapat diterima dan ini adalah pelanggaran kontrak. Jika hal ini dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dan tidak ada pertanggungjawaban, jelas ini adalah kasus pencurian murni. Dan di Islam ada sanksi untuk kasus pencurian.
  Dalam penggunaan nota untuk mentransfer ke orang lain, ada batasan yang telah kita menyatakan sebelumnya, dengan elemen tambahannya. Anda berurusan dengan nota kesanggupan hutang dari seorang pencuri terkenal yang tidak mengakui kesalahannya atau kewajiban masa lalu.

5.3. Tidak Ada Back-up untuk Uang Kertas, Melainkan hanya keterpaksaan hukum di suatu Negara 


AKHIRNYA kita tiba di uang yang kita miliki saat ini. Tidak ada janji apapun dalam setiap pembayaran dengan specie apapun. Nota kesanggupan hutang atau uang kertas hanya memiliki nilai hukum berdasarkan kewajiban warga negara untuk menerima mata uang nasional sebagai sarana untuk menebus hutang. Ini adalah 'Hukum Legal Tender'. Ini memberikan Negara kemampuan yang unik untuk menyita kekayaan orang lain di dalam sebuah negara dan membayarnya dengan kompensasi catatan hukum.
  Apakah dalam Islam cara ini dapat diterima sebagai cara pembayaran? Imam Malik berkata bahwa uang adalah "setiap barang dagangan/merchandise yang umumnya dapat diterima sebagai alat tukar." Hal ini menyiratkan dua hal, yaitu:
  1. Uang harus berupa barang dagangan. Itu sebabnya kertas  bisa dipergunakan, namun kertas hanya untuk kertas atau sesuatu yang "senilai" dengannya, dan bukan untuk "harga" yang tertulis di atasnya. Uang harus sesuatu yang nyata ('ayn). Uang yang dipergunakan tidak bisa berasal dari Dyn atau Hutang atau Kewajiban atau obligasi atau bon. 
  2. Uang harus diterima secara umum. Itu sebabnya uang tidak bisa dipaksakan dan tidak seorang pun dapat mengatakan bahwa Anda wajib menggunakan uang ini. Bahkan tidak seorangpun juga dapat berkata "rakyat wajib menggunakan Dinar Emas dan Dirham Perak". Adalah sebuah kebebasan bagi manusia untuk memilih Dinar Emas dan Dirham Perak untuk menjadikannya mata uang, dan bukan sebagai hasil dari keputusan agar uang kertas yang diberlakukan kepada orang-orang. Dayn atau hutang atau Bon atau Kewajiban atau Surat Obligasi atau Surat Hutang atau Uang Kertas tidak diterima dalam Islam karena dua alasan lebih lanjut:
   - Penipuan: mereka mewajibkan Anda untuk menerima sesuatu di atas nilainya padahal nilai riil-nya nol.
   - Paksaan: Anda diwajibkan untuk menerimanya, suka atau tidak suka.

Perilaku yang melanggar syariat ini lebih diperkuat lagi oleh penerapan hukum Negara yang membatasi penggunaan barang-barang lain sebagai alat pembayaran, sehingga timbullah monopoli mata uang oleh Negara, khususnya dalam hal emas dan perak. Emas dan perak keduanya pajaki, atau kadang-kadang penggunaannya dilarang. Dalam beberapa kasus ekstrim, kita telah melihat bagaimana emas disita oleh hukum dari warganya, sebagaimana yang telah terjadi di Amerika Serikat.
  Uang kertas tidak berlaku sebagai uang dalam syariat Islam, baik dalam bentuk yang sekarang ini ataupun dalam bentuk yang telah ada di masa lalu. Uang Syariah adalah Dinar Emas dan Dirham Perak, dan setiap barang dagangan yang umumnya dapat diterima sebagai alat tukar.

6. Mu’amalah Islam


ISLAM memiliki model ekonominya sendiri. Model ini bukanlah model kapitalis dan juga bukan model sosialis. Model ini berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah. dan sudah dipraktekkan dalam sejarah selama 1400 tahun, dari awal Islam sampai pembubaran Khalifah di abad ke-20. Model ini melindungi dan mengakui hak milik pribadi serta milik Allah Subhana Watta'alla (wakaf) dan juga didasarkan pada kontrak yang berlaku dalam hukum Islam.
  Model Islam ini menggunakan komoditas fisik sebagai uang yaitu Dinar Emas dan Dirham Perak yang dikenal juga sebagai mata uang syariah. Kedua komoditas (emas dan perak) ini memiliki kedudukan istimewa, karena mereka disebutkan di dalam Al-Qur'an (Surah Al Imran ayat 75, Surah yusuf 20) dan mereka juga digunakan sebagai ukuran untuk hal-hal mendasar seperti zakat dan isu-isu tentang hudud. Dinar dan Dirham juga merupakan mata uang yang stabil, yaitu mata uang yang berfluktuasi dalam nilai tetapi tidak mengalami inflasi. Tidak mengalami inflasi karena tidak dapat digantikan dengan credit money (inflasi), karena credit money tidak memiliki validitas dalam Hukum Islam.
  Pencetakan kembali Dinar dan Dirham sudah dilakukan. Muslim di seluruh dunia sudah mulai menggunakan uang ini sebagai alat pembayaran dan pembayaran zakat. Sebuah sistem pembayaran yang didasarkan Dinar dan Dirham serta dengan ketat memfasilitasi pembayaran di seluruh dunia dan mengikuti hukum Islam telah didirikan pada tahun 1999. Sistem ini disebut dengan nama e-dinar. Sistem ini dapat digunakan sebagai alternatif praktis untuk melakukan kegiatan transfer perbankan dan memungkinkan individu untuk menghindari penggunaan credit money jika mereka inginkan. Implikasi hukum dari pengembangan alat ini adalah bahwa kasus darurah tidak lagi dibenarkan. Karena sudah ada cara alternatif. Lebih lanjut lagi, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi kebutuhan untuk tetap di dalam suatu sistem yang tidak diterima, dan bahwa untuk menjadikan sebuah transaksi menjadi halal di dunia modern ini sudah tentu dimungkinkan.
  Mata uang Islam adalah salah satu elemen kunci dalam rekonstruksi mu’amalah Islam: sebuah sistem perdagangan yang lengkap di mana Hukum Islam berlaku tanpa distorsi atau kelalaian. Sistem seperti ini adalah sebuah syarat dalam rangka menjalani kehidupan Islam. Dan penting sekali untuk direkonstruksi di zaman kita sekarang. Rekonstruksi mu’amalah terdiri dari pemulihan infrastruktur penting perdagangan seperti pasar terbuka, mata uang, kafilah-kafilah, serikat, dan hisbah. Lembaga-lembaga ini telah lama menghilang dan perlu untuk dipahamani dan dilaksanakan, seperti kontrak-kontrtak bisnis dalam Islam (Qirad dan Shirkat). Tanpa lembaga-lembaga ini, banyak praktek-praktek masyarakat awal (mu’amalah) tampaknya mustahil atau tidak praktis. Dengan demikian, restorasi mu’amalah harus berbarengan dengan pelaksanaan kontrak Islam. Mereka berdua saling terkait.
  Untuk memecahkan situasi darurah ini, diperlukan transformasi di kondisi perdagangan, agar praktek perdagangan di Islam pulih kembali. Argumen kami adalah, karena kita sudah dalam sistem perbankan dan mempraktikkannya, kita harus menggunakan bunga yang keluar dari bank untuk mempromosikan dan mendorong pemulihan alternatif yang Halal ini. Kami berpendapat, sebaiknya, bunga yang diterima dari bank digunakan untuk membangun infrastruktur Islam, yang akan membebaskan kita dari ketergantungan terhadap bank.
  Pemulihan mu’amalah bukanlan tugas seorang individu, melainkan tugas masyarakat. Muslim harus mengorganisir diri nya di sekitar tokoh masyarakat dan jika tidak ada maka mereka harus membuat sendiri. Di tingkat internasional, World Islamic Trade Organization (WITO) atau Organisasi Perdagangan Islam Dunia telah dibentuk pada tahun 1993 dan telah menciptakan sebuah platform untuk membangun lembaga-lembaga perdagangan yang diperlukan. WITO menciptakan Islamic Mint, yang mencetak Dinar dan Dirham pertama. Dan dinar-dirham ini sekarang sudah tersedia di seluruh dunia dan dicetak di lima negara. Untuk Indonesia telah dibentuk Wakala Induk Nusantara.  WITO mendorong terciptanya e-Dinar yang tersedia secara online (www.e-dinar.com). Situs ini memungkinkan individu untuk membuka rekening di Gold Dinars dan melakukan pembayaran dengan fasilitas yang sama ke perusahaan online perbankan lainnya, tanpa menjelma sebagai bank. Sistem pembayaran e-dinar menawarkan solusi instan bagi mereka yang ingin pindah dari sistem perbankan.

6.1. Kontrak Bisnis Islami (akad)


Di HUKUM ISLAM, REGULASI kontrak memainkan peran mendasar dalam aspek sosial. Dalam Hukum Islam semua perhatian tertuju pada bagaimana transaksi terjadi, karena jika transaksi benar, maka seluruh bangunan perdagangan pun akan benar, Namun jika transaksinya salah, maka sia-sialah usaha kita memperbaiki situasi ini, seluruh bangunan perdagangan pun akan tetap salah. Dalam Hukum Islam, praktik transaksi mewakili unit terkecil dalam perdagangan. Itu lah sebabnya mengapa semua peraturan transaksi diatur dalam islam, untuk menjaga agar keadilan dari transaksi dan bisnis tetap terjaga.
  Pembuatan kontrak dan pembatasannya dari jenis kontrak lain sangat penting dalam Hukum Islam. Kontrak ini hanya diperlukan ketika terjadi penundaan di antara pihak yang berdagang, seperti pembayaran tertunda, atau sewa-menyewa dan juga dalam semua transaksi bisnis. Menurut Hukum Islam, kontrak harus tertulis. Kontrak bisnis atau kontrak-kontrak dimana terjadi syarat penetapan atau keuntungan, dirangkum dalam dua model: Shirkat dan Qirad. Dan sisanya adalah kontrak komersial. Dan ada juga Kontrak Non-komersial, misalnya ariya (pinjaman yang halal) atau kontrak simpanan (amanah).
  Semua kontrak bisnis yang telah ditentukan dan dinegosiasikan kondisinya harus ditulis dalam bentuk kontrak. Shirkat adalah sebuah hubungan kemitraan yang Islami. Qirad adalah pinjaman bisnis yang Islami. Shirkat dan Qirad memiliki kondisi tertentu dalam penetapannya dan tidak dapat diubah; jika ada kondisi lain, harus dinegosiasikan oleh semua pihak yang bersangkutan.
  Cara-cara yang benar dari sebuah kontrak bisnis dan transaksi komersial sedemikian pentingnya, karena penggunaan jenis kontrak tertentu akan mempengaruhi bagaimana masyarakat berkembang. Sebuah masyarakat yang memperbolehkan kontrak yang tidak adil - yaitu riba - akan menghasilkan suatu jenis masyarakat yang berbeda dibanding dengan masyarakat yang tidak memperbolehkannya. Ini juga alasan mengapa hukum kontrak sangat penting dalam tubuh Fiqh Islam. Hampir dua pertiga dari keseluruhan Fiqh Islam kosentrasinya ke perdagangan dan bisnis.
  Hukum Islam mendefinisikan parameter bagaimana transaksi komersial dan kontrak bisnis harus dilakukan. Transaksi komersial didasarkan pada pertukaran kepemilikan barang. Jika pertukaran melibatkan pembayaran tertunda, maka harus ditulis dalam kontrak. Dan kontrak tidak diperlukan jika transaksi terjadi di tempat 'dari tangan ke tangan'.
  Menurut hukum Islam, sebuah transaksi komersial atau transaksi bisnis dianggap benar jika transaksi itu memiliki ekuitas (keadilan dan kesetaraan): nilai barang yang diberikan harus seimbang dengan barang yang diterima. Jika nilai-nilai ini tidak seimbang maka pertukaran tersebut menjadi riba.
  Sebuah kontrak bisnis terdiri dari dua atau lebih transaksi komersial yang terhubung untuk tujuan mendapatkan keuntungan. Ketika dua orang atau lebih mengasosiasikan diri mereka untuk menjalankan bisnis tertentu maka kontrak dibutuhkan antara pihak yang terlibat.
  Menurut Hukum Islam, ekuitas dari sebuah bisnis adalah keadilan untuk semua transaksi yang terlibat. Selain itu, ketika kontrak bisnis ditulis, ada kondisi tertentu yang harus diperhitungkan. Kita akan memeriksa hal yang paling penting dari kondisi ini.
  Pertama, ada barang-barang yang dipergunakan untuk membuat investasi awal, baik milik satu orang (kontrak tidak diperlukan) atau milik lebih dari satu orang (kontrak harus ditulis). 
  Dan jika barang tersebut milik satu orang, tetapi berasal dari pinjaman bisnis - maka kontrak seperti ini harus ditulis.
Oleh karena itu, dalam kontrak bisnis, ada dua bentuk dasar yang mungkin terjadi:
  1. investor (banyak orang) mentransfer kepemilikan investasi mereka untuk diri mereka sendiri, mereka sebagai sebuah kelompok, atau
  2. investor/s (satu atau banyak orang) mentransfer kepemilikan investasinya ke pihak lain.
Bentuk pertama, dalam bahasa Arab disebut 'Shirkat' - kita juga akan menyebutnya sebagai 'kemitraan' - dan bentuk kedua, dalam bahasa Arab disebut 'Qirad' - kita juga akan menyebutnya sebagai 'pinjaman bisnis'.

6.1.1.  Shirkat (Kemitraan)


KEMITRAAN, dalam arti umum, adalah setiap hubungan dari beberapa manusia yang berbagi kepemilikan beberapa barang. Oleh karena itu kemitraan memerlukan co-ownership dari beberapa barang tersebut. Dan jika barang-barang ini diinvestasikan ke dalam bisnis, maka yang perlukan adalah kontrak bisnis.
  Co-ownership atau Kepemilikan Bersama, dalam bahasa arab disebut dengan 'Shirkat Milk'. Sebuah Bisnis/usaha kemitraan dalam bahasa arab disebut 'Shirkat Akid'.
"Shirkat, dalam arti primitif, menandakan sebuah gabungan dari dua atau lebih estates (tanah/perusahaan), sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka tidak dapat dibedakan dari yang lain. Dalam bahasa Hukum, hubungan ini menandakan sebuah penyatuan dua orang atau lebih dalam satu perhatian. Istilah 'Shirkat' adalah perluasan dari istilah kontrak, meskipun tidak ada hubungan sah terhadap negara, karena kontrak adalah penyebab dari hubungan tersebut."
(The Hedaya , terjemahan oleh Hamilton, pp 217-31)
Pada masa Nabi, sallallahu alayhi wasallam, orang-orang terbiasa menerapkan Shirkat dalam perdagangan dan Shirkat itu halal, namun punya batasan tertentu. Dalam Al Muwatta, Imam Malik mengatakan:
"Menurut hemat kami, perserikatan, pemberian kuasa (at-tawliyah), dan pembatalan kontrak (al-iqalah) dalam komoditas bahan makanan atau komoditas lainnya, baik barang tersebut berada di tangan maupun tidak, boleh dilakukan jika dibayar secara tunai tanpa keuntungan, barang tidak hilang, ataupun tanpa pembayaran tunda. Jika salah satu dari ketiga hal tersebut dipenuhi, maka transaksi tersebut sah menjadi Jual-Beli, dan penentuan kehalalan dan keharamannya ditetapkan seperti hukum Jual-Beli dan bukan dengan hukum perserikatan, pemberian kuasa maupun pembatalan kontrak.” 
Shirkat ada dua macam, tergantung pada bagaimana ia berasal:
  Shirkat Milk, atau kemitraan dengan properti yang hak, dan 
  Shirkat Akid, atau kemitraan dengan kontrak bisnis.
Salah satu yang menarik untuk dieksplorasi adalah kontrak bisnis Shirkat Akid atau kemitraan dalam kontrak bisnis.

Kondisi yang paling signifikan adalah:
• Prinsip 'Takafu (Proporsionalitas)
  Bagian dari kemitraan, dimana semua mitra yang ada bekerja dan tidak ada yang ogah-ogahan, dan bagian masing-masing mereka bergantung pada persentasi modal yang diinvestasikan. Jika ada perbedaan modal di antara mitra tetapi mereka semua bekerja dalam kapasitas yang sama, maka investor lebih rendah dapat dikompensasikan untuk kerjanya yang ekstra.
"Saya telah mendengar dari Malik bahwa kemitraan tidak diperbolehkan kecuali ada keseimbangan ('takafu) dalam modal."
[Sahnun, Mudawwana, 12: 41.]
• Perlunya untuk Berpartisipasi dalam Kerja
  Sebuah kemitraan mengasumsikan partisipasi seluruh anggota dalam pekerjaan yang sebenarnya. Sebuah kemitraan di mana semua pekerjaan ditugaskan kepada sebagian pihak, sementara pihak yang lain menyediakan modal yang diperlukan atau peralatan, akan tetapi mereka tidak melakukan pekerjaan yang lain, kemitraan tersebut tidak valid. Pihak (yang tidak bekerja) hanya berhak atas bagian dari investasinya secara utuh tanpa ada laba yang diperoleh meskipun bisnis mereka menghasilkan laba. Dan jika itu terjadi dalam bentuk selain uang tunai, misalnya biaya sewa yang adil, maka biaya sewa dibayarkan kepadanya sesuai penggunaan.
  Surplus modal tidak dapat digunakan sebagai investasi dalam kemitraan tanpa secara fisik berpartisipasi dalam pekerjaan. Jadi Anda tidak dapat menginvestasikan modal anda dalam produksi yang dibuat oleh orang lain tanpa ikut bekerja. Investor yang hanya diam seperti itu hanya berlaku dalam kontrak pinjaman bisnis atau Qirad. Dalam kemitraan/shirkat, semua mitra harus bekerja, mereka semua sama-sama pemilik dan karenanya sama-sama bertanggung jawab.
Saya berkata: "Apa pendapat Anda jika saya menempatkan seseorang di kedai dan saya katakan kepadanya: "Saya akan menerima barang-barang dan Anda akan melakukan pekerjaan yang lain dengan syarat apapun yang diberi Tuhan kepada kita maka akan dibagi rata?'" Dia berkata:" Menurut Malik, ini tidak diperbolehkan ".
[Sahnun, Mudawwana, 12: 41.]
Saya berkata: "Apa pendapat Anda tentang kemitraan antara tiga orang di mana salah satu menyediakan batu gerinda, yang lain menyediakan rumah, dan yang lainnya menyediakan binatang-pekerja, dengan ketentuan bahwa pemilik hewan melakukan semua pekerjaan?" Dia mengatakan: "Hasil seluruh pekerjaan adalah untuk si pemilik hewan yang mengeksekusi pekerjaan, dan dia wajib membayar biaya sewa untuk batu gerinda dan rumah." aku berkata: "Apakah ini juga terjadi bahkan jika ia tidak mendapatkan apa-apa (laba)? "Dia berkata" Ya, bahkan jika ia tidak mendapatkan apa-apa "
[Sahnun, Mudawwana, 12: 45.]
Ibnu Qasim menolak validitas dari kemitraan yang berbasis pada komoditas saja, dan pekerjaan dilakukan oleh satu pihak dari mereka. Dia menjelaskan penolakannya sebagai berikut:
"Dasar untuk ini adalah bahwa menurut Malik, kemitraan tidak diperbolehkan kecuali mereka bergabung dalam pekerjaannya secara proporsional terhadap masing-masing saham dalam modal bersama."
[Sahnun, Mudawwana, 12: 60.]
Hasilnya bermacam-macam: 
  1. bahwa investor modal tidak dapat menggunakan modal mereka untuk mendapatkan keuntungan dari pekerjaan orang lain tanpa melibatkan diri dalam pekerjaan. 
  2. bahwa semua pemilik dalam co-ownership bisa menggunakan status kepemilikannya yang identik dan independen dari saham mereka yang ada dalam bisnis tersebut. 
Kedua prinsip ini menunjukkan kegagalan Bursa Efek.

Pembentukan Bursa Efek adalah hasil dari penerapan konsep kepemilikan saham yang salah. Konsep kepemilikan yang didasarkan pada "mayoritas kepemilikan saham" adalah salah. Atas dasar ini Anda dapat menjadi pemilik perusahaan dengan sebuah kontrak meskipun anda tidak memiliki hak keputusan eksekutif apapun atas properti anda. Kepemilikan dinyatakan dalam secarik kertas, namun di bagian yang sama Anda tidak punya "hak untuk memutuskan" - dan karena itu Anda tidak dapat memiliki properti itu. Dan kontrak ini hanya kepalsuan belaka. Kontrak pemegang saham dengan kepemilikan mayoritas menurut Hukum Islam adalah kecurangan atau kezaliman.

Esensi dari Kepemilikan

Kepemilikan tidak hanya sebuah dokumen yang mengatakan bahwa Anda adalah pemilik dari sesuatu tersebut. Kepemilikan berarti Anda berhak dan juga mampu memutuskan bagaimana anda mengatur properti Anda. Jika Anda tidak punya wewenang tersebut, maka anda bukanlah pemilik-nya. Kemampuan mengeluarkan keputusan atas properti adalah inti dari kepemilikan.
  Kepemilikan itu ada setiap kali ada sesuatu yang digunakan atau dikonsumsi, meskipun kepemilikan secara hukum diatur hanya ketika kelangkaan muncul. Tidak ada peraturan untuk memancing di laut, tetapi sebagaimana armada meningkat dan ikan menjadi langka, peraturan kepemilikan menjadi perlu. Semua orang bebas membuang udara untuk bernafas, namun karena banyak penerbangan pesawat di udara, penggunaan jalur di udara menjadi perlu diatur. Sebelum peraturan itu muncul maka didahului dengan kepemilikan, karena ketika sebuah pesawat menggunakan jalur penerbangan tidak ada lagi yang bisa menggunakannya. Inilah fungsi efektif dari kepemilikan.
  Oleh karena itu, secara eksplisit diatur atau tidak, kepemilikan memiliki realitas eksistensial yang terhubung ke penggunaan sesuatu. Kepemilikan terdiri dari kapasitas untuk menggunakan sesuatu. Kepemilikan yang efektif adalah kepemilikan yang memiliki kapasitas untuk memegang dan untuk memutuskan. Penerapan Undang-Undang komersial modern, memungkinkan seseorang untuk memisahkan status antara jenis kepemilikan dan kapasitasnya untuk memutuskan. Hal ini mengarah kepada gagasan tentang kepemilikan eksklusif yang ditentukan oleh gelar dan bukan kekuatan pengambilan keputusan. Hal ini tidak dimungkinkan dalam Islam, karena ruang lingkup atau kekuatan pengambilan keputusan terikat bersama-sama.
 Ketika kepemilikan dilaksanakan secara individu, tidak ada kesulitan dalam memahami bagaimana keputusan dibuat. Namun apa yang terjadi ketika ada kepemilikan kolektif? Jika mereka semua pemilik, mereka semua harus punya hak untuk memutuskan. Oleh karena itu, dalam hukum Islam, kepemilikan bersama disandarkan pada dua prinsip berikut;
  1. Semua pemilik (co-owner) memiliki status yang sama dalam mengambil keputusan, terlepas dari besar partisipasi mereka dalam properti.
  2. Hasil usaha yang dibagi di antara pemilik (co-owner) sebanding dengan besar partisipasi mereka dalam bisnis, sebagaimana ditetapkan dalam kontrak.
Jika kondisi pertama tidak terpenuhi, maka pemilik (co-owner) tidak lagi menjadi pemilik, dan berarti seseorang telah merampas kepemilikan bersama. Hukum Islam menuntut bahwa setiap kali ada perjanjian komersial antara dua atau lebih pihak, kontrak harus ditulis. Kontrak ini merupakan keputusan pribadi bisnis tersebut. Kontrak bisnis harus dengan jelas mendefinisikan terlebih dahulu sifat bisnisnya: siapa investornya, siapa agennya (jika ada), berapa jumlah investasinya, apa tujuan bisnisnya, berapa lama konrtak berlaku, dan berapa bagi hasilnya. Karena itu, ketika Anda menandatangani kontrak, Anda tahu dalam hal apa Anda ikut berpartisipasi. Bila Anda berinvestasi, Anda tahu apa yang Anda investasi-kan. Namun apa yang kita alami sekarang, dalam hal investasi modern, adalah suatu perjanjian yang bukan dianggap sebagai kontrak (Akad) dalam hukum Islam. Sebaliknya, investor meminjamkan uang kepada pemilik yang tidak diketahui, untuk sebuah bisnis yang tidak diketahui, dengan tidak ada durasi tetap, keuntungan atau dividen yang diputuskan oleh pemilik yang tidak dikenal. Ini semua dilakukan di bawah kepalsuan kepemilikan mayoritas.

Konsep Palsu Kepemilikan Kayoritas

Konsep palsu ini didisain untuk menciptakan mekanisme kontrol dan manipulasi, yang berakhir pada pendirian Bursa Efek. Hal ini didasarkan pada prinsip, ‘siapa pun yang memiliki kepemilikan mayoritas dari saham suatu perusahaan maka ia memiliki perusahaan tersebut’. Sistem ini memungkinkan satu pihak untuk mengendalikan sebagian besar dari fungsi pasar. Sebagai contoh: Mr. Bakry C. Tanjung memiliki 51% saham perusahaan A maka ia memiliki kendali atas perusahaan A. Jika dia menggunakan modal perusahaan A untuk membeli 51% saham perusahaan B, ia akan memiliki kontrol total perusahaan B walaupun ia memiliki hanya 1/4 dari modal. Jika ia kemudian menggunakan modal perusahaan B untuk membeli 51% saham perusahaan C, dia akan memiliki kontrol total perusahaan C, walaupun ia memiliki hanya 1/8 dari modal. Dan kemudian ia dapat membeli perusahaan D, E, F... dengan cara yang sama.
  Penggunaan konsep palsu 'kepemilikan mayoritas' memungkinkan seseorang merebut jutaan minoritas 'kepemilikan bersama' yang sah. Melalui prosedur ini, Mr. Bakry C. Tanjung memiliki kekuasaan atas sejumlah besar modal yang bukan miliknya. Dia bisa memutuskan apa dan bagaimana hasil dividen perusahaan. Meskipun dividen tidak sama dengan hasil bisnis. Perusahaan harus dilikuidasi untuk mengetahui hasil dari bisnisnya. Sistem kepemilikan mayoritas bisa membuat perusahaan-perusahaan yang ada berjalan tanpa hasil dan tanpa likuidasi. Karena pemilik mayoritas dapat memutuskan berapa banyak yang akan diinvestasikan kembali dan berapa banyak yang akan dibayar sebagai dividen, Anda terkukung dalam perusahaan yang selalu bertentangan dengan harapan anda.
  Dalam Hukum Islam, Anda tidak bisa memaksa setiap investor untuk berinvestasi kembali tanpa persetujuan mereka hingga mereka benar-benar bersama melikuidasi perusahaan tersebut setelah periode yang ditetapkan dalam kontrak sebagai durasi perusahaan. Jika semua pemegang sepakat untuk melanjutkannya maka mereka dapat meneruskannya, jika tidak, perusahaan tersebut dilikuidasi untuk memulai kontrak barunya. Dengan demikian, kepemilikan selalu terlindungi. Sistem kepemilikan mayoritas hanya melindungi pemilik saham mayoritas, dan tidak melindungi kepemilikan yang lain.

6.1.2. Qirad (pinjaman bisnis)


QIRAD biasanya disebut dengan tiga kata yang berbeda:
  • Mudharaba (berasal dari bahasa Irak), inilah yang disebut dengan Qirad oleh rakyat Irak; menurut al-Sarakhsi, kata ini berasal dari 'al-Darb fi al-ard' ungkapan yang berarti 'making a journey/membuat perjalanan'. Istilah ini digunakan karena 'agen-manajer' memiliki hak untuk mengklaim keuntungan berdasarkan usaha dan kerja-nya. Ia dianggap sebagai 'asosiasi investor' dalam hal-hal yang berkaitan dengan laba dan modal yang digunakan dalam perjalanan dan untuk biaya pengaturan atau biaya tambahan. Investor berhak menerima sebagian dari keuntungan pada keikutsertaan investasi modal-nya.
  • Qirad atau Muqaradah (berasal dari Madinah), inilah yang disebut dengan Qirad oleh rakyat Madinah. Kata berasal dari bahasa Arab 'qardh', yang berarti penyerahan hak atas modal oleh pemilik kepada pengguna modal [pinjaman]. Agen dalam bahasa Arab adalah "al-'amil" dan investor dalam bahasa Arab adalah 'sahibul-mal' atau 'rabbul-mal'-
  • Commenda (berasal dari Eropa pada Abad Pertengahan), dari kontrak accomendacio dari 'jus komune'. Investor disebut commendator dan agen itu disebut tractator. Kontrak ini diperkenalkan ke Eropa, khususnya Eropa Selatan melalui pelabuhan Italia dari abad kesepuluh dan kesebelas akhir, awal kalender kristen.
Ibnu Rusyd mengatakan;
"Ada pendapat umum di kalangan umat Islam yang berkaitan dengan legalitas Qirad. Yang saat itu sering dipakai pada periode pra-Islam dan Islam mengadopsinya. Yaitu pemberian sebagian modal oleh satu orang ke orang lain untuk menjalankan bisnis. Pengguna modal setuju menerima proporsi yang disepakati dari keuntungan, yaitu setiap proporsi yang mereka setujui; 1/3 atau 1/4 atau bahkan 1/2. " 
Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, bekerja sebagai 'agen-manager' untuk Khadijah sebelum ia menikahinya.
Semua ahli hukum Islam sepakat pada legitimasi ini sebagai bentuk transaksi bisnis dan mereka membentuk pendapat ini berdasarkan praktek yang sering dilakukan oleh banyak sahabat Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, selama hidupnya dan sesudahnya. Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, mengetahui hal itu dan menyetujuinya.
Syarat umum dalam Qirad adalah:
  1. Agen Qirad diminta untuk mengurusan modal yang diberikan atau menjalankan perdagangan, Ia kemudian menggunakan modal itu. Dan berhak menerima biaya/gaji selama ia bekerja, tanpa kehilangan hak-haknya atas sebagian keuntungan dari modal tersebut.
  2. Agen Qirad tidak dapat diwajibkan untuk melakukan pekerjaan manufaktur, seperti menjahit atau menyulam. Qirad tidak untuk manufaktur, namuan hanya untuk perdagangan.
  3. Setiap pihak tahu dan saling menyetujui pinjaman tersebut. Jika dana yang dipersiapkan untuk membeli sebuah barang, namun pemberi pinjaman tahu bahwa barang itu sudah dibeli sebelumnya oleh si peminjam, maka barang itu bukan termasuk dalam kontrak Qirad. Dana tersebut menjadi pinjaman biasa.
  4. Agen bebas untuk membeli dan menjual apa yang dia inginkan, dan di manapun dan kapanpun yang ia inginkan.
  5. Qirad tidak untuk jangka waktu tertentu. Agen tidak diizinkan menetapkan bahwa ia menggunakan atau menahan Dana Qirad itu untuk selama beberapa tahun. Artinya, selama beberapa tahun itu, menurut asumsinya, dia tidak berhak memutuskan bahwa dana qirad itu tidak akan ditarik dari-nya.
  6. Jaminan di dalam Qirad tidak berlaku. Ketentuan jaminan di dalam Qirad adalah batal dan tidak berlaku. Investor tidak diperbolehkan untuk menetapkan kondisi sesuai keinginannya selain syarat dasar Qirad.

7. Kesimpulan: Apa yang harus dilakukan?


DARI perspektif Islam, apa yang bisa kita lakukan dengan bunga yang telah kita terima? Masalahnya bukan bunga-nya, namun masalahnya adalah kita sudah terlanjur memiliki rekening bank. Dengan meninggalkan bunga bank begitu saja, tidak akan menyelesaikan masalah. Solusinya adalah kita harus mengubah keadaan di mana kita sudah terpaksa menggunakan yang Haram: darurah.
  Kita menentang gagasan mengabadikan status darurah seperti yang dilakukan oleh Bank Islam. Posisi kita adalah bahwa umat Islam harus mengambil peran aktif dalam mengubah situasi ini, kita sudah terlanjur masuk. Oleh karena itu, sebaiknya gunakanlah bunga tersebut untuk mempromosikan alternatif Halal.
 Langkah pertamanya adalah mengalokasikan bunga tersebut ke rekening khusus Dinar dan menempatkannya di bawah sebuah organisasi yang akan melakukan pemulihan infrastruktur mu’amalah Islam. Dana tersebut akan memungkinkan kita untuk menetapkan mata uang berbasis syariat Islam dan secara bertahap memungkinkan kita untuk meninggalkan sistem perbankan. Dan pada saat yang sama, akan memungkinkan kita untuk membangun infrastruktur perdagangan seperti pasar dan memungkinkan kita untuk melepaskan diri dari lembaga-lembaga kapitalis lainnya.
   Secara keseluruhan, ide-nya adalah bahwa kita sebagai muslim memiliki tugas untuk mengubah situasi. Kita semua tahu bahwa apa yang kita lakukan adalah Haram. Kita tidak bisa hanya tetap diam untuk selama-lamanya di bawah naungan darurah, karena darurah hanya tindakan sementara. Tujuan kita adalah penggunaan semua sumber daya untuk menghilangkan ketergantungan pada sistem perbankan secara nyata.
Sesulit apapun yang harus kita hadapi nanti, dalam proses meninggalkan sistem perbankan, kita harus ingat bahwa ini adalah jihad fisabilillah. Allah telah menyatakan perang terhadap riba, dan kewajiban kita adalah meninggalkannya dan memeranginya, karena memang lebih sulit untuk tetap di dalamnya daripada keluar darinya.

7.1. Langkah-Langkah Praktis


TUJUAN utama dari pengembalian Dinar Emas dan Dirham Perak sebagai mata uang adalah restorasi zakat. Zakat adalah salah satu dari rukun Islam yang saat ini telah dirusak oleh tangan-tangan alien yang bersistem ekonomi ribawi. (red. Karena jika zakat sudah kembali ke tempatnya, maka insya Allah, tidak ada lagi orang miskin yang menderita, kasus bunuh-bunuhan dan bunuh diri karena hutang pun akan berkurang, Muslim akan sejahtra dan tidak lagi takut akan perutnya yang sejengkal, akan banyak pengusaha-pengusaha baru bermunculan karena mereka yang dahulunya terpaksa bekerja untuk sistem kapitalis kini telah terbebas dari nya, shalat jum’at pun akan kembali seperti pada masa khalifah, sampai pada akhirnya islam tegak.)
Langkah-langkah praktisnya adalah:
  • Langkah pertama: Hubungi perusahaan yang bertanggung jawab yang dapat membantu Anda untuk membeli Dinar Emas dan Dirham Perak secara fisik. Jika Anda tidak memiliki akses, belillah segala bentuk koin emas dan perak. Anda juga dapat membeli emas atau perak batangan. Anda dapat mengirim batangan tersebut atau menyimpannya di sebuah perusahaan terpercaya dan dipercaya sebagai penyimpanan ‘allocated atau non-allocated’.
  • Langkah kedua: Buka rekening Dinar dalam e-dinar (www.e-dinar.com). Atau Anda dapat membuka rekening bullion di tempat penyimpanan non-bank yang menawarkan fasilitas pembayaran seperti e-gold atau e-bullion. Jenis rekening emas akan memungkinkan Anda untuk beroperasi dengan mata uang yang diterima secara internasional seperti emas dan menjaganya dari inflasi.
  • Langkah ketiga: Mintalah rekan bisnis anda atau pelanggan anda untuk membuka rekening Dinar-Dirham atau yang sejenis (atau rekening emas dan perak) dan tawarkan ke mereka untuk bertransaksi menggunakan emas dan perak tersebut. Harga emas dan perak ditentukan setiap hari dan mudah diakses melalui koran atau melalui Website atau mobile phone. e-dinar menawarkan nilai tukar harian untuk Dinar dan Dirham di semua mata uang utama.
  • Langkah Keempat: Membangun jaringan toko-toko atau pengusaha-pengusaha dan pengguna Dinar-Dirham di komunitas Anda dan publikasikanlah daftar nama mereka di sebuah newsletter atau semacamnya secara kontinu dengan update-an nama-nama baru pengguna Dinar dan Dirham. Kemudian ambillah Zakat dari mereka (pemegang Dinar-Dirham) agar didistribusikan ke orang-orang penerima zakat, dan otomatis Dinar-Dirham akan tersebar - Insya Allah.
  • Langkah Kelima: Membentuk badan atau komunitas 'Dana Qirad Islam' dan undanglah para pengguna dinar-dirham untuk berinvestasi menurut syariah yang telah dibahas tadi. Dana tersebut akan didedikasikan hanya untuk pendanaan kegiatan perdagangan menurut aturan Fiqh Qirad. Keuntungan akan dibagi ke investor sesuai dengan kondisi, Fiqh, dan Akad.
Akhirnya, kita perlu menegaskan bahwa, bunga tidak boleh lagi diberikan kepada bank dalam keadaan apapun. Mengabaikan bunga yang telah diterima dari bank tidak membuat transaksi menjadi halal, karena kita sudah dengan sadar menerimnya, dan tidak membantu kita untuk mengubah situasi.
  Semoga Allah memberi kita kekuatan dan kebijaksanaan untuk meninggalkan riba dan menegakkan Dien-Nya di masa kita. Amin...

Penutup


Biography Shyakh Umar Ibrahim Vadillo


Shyakh Umar Ibrahim Vadillo lahir 19 Mei 1964. Setelah menjalani studi di  Augustinian College di Navarre, Beliau melanjutkan studinya di bidang Agronomy di University of Madrid. Ketika itulah beliau memeluk Islam. Beliau menghabiskan waktu panjang untuk mempelajari penerapan parameter Transaksi Bisnis yang ada di Kitab Al Muwattha Imam Malik Ibn Anas untuk diterapkan di dunia modern. Beliau  mempelajari prihal Zakat yang seharusnya dibayarkan dengan menggunakan Dinar Emas dan Dirham Perak. Beliau pernah belajar di berbagai Universitas di Morocco, Malaysia, dan Indonesia. Beliau juga memiliki gelar Professor dan Doktor.
  Beliau aktif dalam mengkampanyekan apa sebenarnya yang disebut dengan mata uang Islam yang sebelumnya telah dimulai oleh Dr. Erbakan, Perdana Mentri Turkish, namun kebetulan Dr. Erbakan digulingkan, saat Raja Hassan II Marocco yang mencoba untuk merestorasi zakat ke tempatnya semula meninggal dunia.

Dari penerjemah


Shyakh Umar Ibrahim Vadillo adalah salah satu murid Shyakh Abd al-Qadir as-sufi, pendiri Murabbitun World Wide Movement. Shyakh Abd al-Qadir as-sufi  adalah seorang ulama yang banyak memprakarsai studi-studi ulang fiqh islam klasik, dengan menerjemahkan kitab-kitab islam ke beberapa bahasa yang menurut klasifikasi Madinah Press tergolong dalam Pustaka Klasik Islam, sehingga terbongkarlah mana yang mendekati ajaran Rasulullah sallalahu alayhi wasalam dan mana yang sudah jauh menyimpang, mengingat cara hidup Muslim zaman sekarang ini sudah terkontaminasi oleh tangan-tangan ‘alien’ sehingga menutup mata dan menina-bobokan kaum muslim. Dan hasilnya, Muslim tidak tahu lagi siapa dirinya, Tuhannya, Nabinya, kitabnya, saudara-saudaranya, dan jalan hidupnya. 
  Sampai saat terjemahan ini ditulis, beliau berdua masih hidup dan terus berjuang, melakukan banyak hal untuk menegakkan Dien Allah. Mereka tidak seperti ulama lain yang hanya duduk-duduk sambil mengajar agama yang belum tentu apa yang mereka katakan itu dipraktikkan. Ada juga yang harus dibayar dulu baru mau ngisi kegiatan, Astagfirullah… Seperti yang Allah subhana wata ‘alla telah sampaikan kepada kita melalui Nabi-Nya, salallahu’alayhi wasalam, yang ditulis di dalam Kitab Al Qur’an qarim:
Hai orang-orang yang beriman mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tiada kalian kerjakan. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalannya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh. 
Al Qur’an Surah Ash Shaff ayat 2-4
Tidaklah sama di antara orang-orang mukmin yang duduk-duduk tanpa mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka,  atas orang-orang yang duduk-duduk, satu tingkat dan kepada masing-masing Allah menjanjikan pahala yang baik. Dan Allah memberi kelebihan terhadap orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk-duduk berupa pahala yang besar.
Al Qur’an Surah An Nisaa’ ayat 95
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan teguhkanlah kesabaranmu dan tetaplah waspada serta siap siaga serta bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.
Al Qur’an Surah Ali Imran ayat 200
Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan dengan jelas
Al Qur’an Surah Yasin ayat 17
Jika mereka tetap berpaling, maka sesungguhnya kewajiban yang dibebankan kepadamu hanyalah menyampaikan amanat Allah, dengan terang
Al Qur’an Surah An nahl ayat 82

Setelah membaca fatwa ini, keputusan berada di tangan anda, dan hanya kepada Allah urusannya, dan kami hanya menyampaikan seterang yang kami mampu. Dan kami terus bekerja.
Dan katakanlah, "Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu dan kalian akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui alam gaib dan alam nyata, lalu diberikan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan."
Al Qur’an Surah At Taubah ayat 105

Salamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Isnad of The Tariq


No comments:

Post a Comment