Saturday, October 6, 2012

Jawara Sumut, 1st edition, Syawal 1433 H

Harga versi cetak: 1/6 Dirham (1 Daniq) per examplar. cek kurs Dirham di sini.

Cover majalah
Silahkan  order versi cetaknya di:
+6281376608189 atau 
+626175170644 atau 
datang ke alamat: Jln Selamat No.24 Simp. Limun, Medan 20219, Sumatera Utara

==========================================================

Sunnah di PASAR, Sunnah di MASJID

Zaim Saidi, Diambang Runtuhnya Demokrasi
• Pasar serupa dengan masjid.
Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, pasar mengikuti sunnah masjid: siapa dapat tempat duluan berhak duduk sampai dia bediri dan kembali ke rumah atau menyelesaikan perdagangannya.
–Al Hindi, Kanz al Ummal, V 488 No. 2.688
•  Adalah sedekah tanpa ada kepemilikan pribadi.
Ibrahim ibnu Mundhir al Hizami meriwayatkan dari Abdullah ibn Ja’far bahwa Muhammad ibn Abdullah ibn Hasan mengatakan, “Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kaum Muslimin pasar sebagai sedekah”.
–Saba K, Tarikh Al Madinah Al Munawarah, 304

•  Tanpa panarikan uang sewa.
Ibnu Zabala meriwayatkan dari Khalid ibnu Ilyas al Adawi, “Surat Umar ibnu Abdul Azis dibacakan kepada kami di Madinah, yang menyatakan bahwa pasar adalah sedekah dan tidak boleh ada sewa (kira) kepada siapa pun”
–As-Samhudi, Wafa al Wafa, 749
•   Tanpa penarikan pajak.
Ibrahim al Mundhir meriwayatkan dari Ishaq ibn Ja’far ibn Muhammad dari Abdullah ibn Ja’far ibn al Miswat, dari Syuraih ibn Abdullah ibn Abi Namir bahwa Ata ibn Yasar mengatakan, “Ketika Rasul ShallaIlahu wa sallam ingin mendirikan sebuah pasar di Madinah, beliau pergi ke pasar [Yahudi] Bani Qainuqa dan kemudian kembali mendatangi pasar Madinah, menjejakkan kaki ke tanah dan bersabda, ‘Inilah pasar kalian. Jangan membiarkannya berkurang (la yudayyaq) dan jangan biarkan pajak apa pun (kharaj) dikenakan”‘.
– Ibnu Saba K, Tarikh Al Madinah AI Munawarah, 304
•  Di sana tidak ada pecang atau klaim tempat.
Ibnu Zabala meriwayatkan dari Hatim ibn Ismail bahwa Habib mengatakan bahwa Umar Ibn Khattab Rodhiallahhuanhu (pernah) melewati Gerbang Ma’mar di pasar dan (melihat) sebuah kendi di dekat gerbang dan dia perintahkan untuk mengambilnya, Umar melarang orang meletakkan batu pada tempat tertentu atau membuat klaim atasnya.
– As- Samhudi, Wafa al Wafal 749
•  Dan di sana tidak boleh dibangun toko-toko.
Ibnu Shabba meriwayatkan dari Salih ibn Kaysan... bahwa... Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Inilah pasar kalian, jangan membuat bangunan apa pun dengan batu (la tatahajjaru) di atasnya dan jangan biarkan pajak (kharaj) dikenakan atasnya.”
– As-Samhudi, Wafa al Wafa, 747-8.
Abu Rijal meriwayatkan dari Israil, dari Ziyad ibn Fayyad, dari seorang syekh Madinah bahwa Umar ibn Khattab Rodhiallahhuanhu melihat sebuah toko (dukkan) yang baru dibangun oleh seseorang di pasar dan Umar merobohkannya.
– Ibnu. Saba K, Tarikh Al Madinah Al Munawarah, 750


Demikianlah sejumlah panduan dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tentang aturan main dalam pasar, hasil riset Syaikh Prof. Umar Ibrahim Vadillo, seorang alim dari Spanyol, yang dimuat sebagai bab Tijara dalam kitab Shaykh Abdalqadir as-Sufi, Sultaniyya.
Saat ini kita dengan mudah melihat umat Islam berlomba-lomba membangun masjid, sambil berpacu dengan kemewahannya. Tetapi kita melupakan pasangannya, yakni pasar yang justru memberikan dampak sosial lebih besar. Padahal keduanya saling memakmurkan, sehingga yang di masjid tidak melupakan pasar, dan yang di pasar selaIu mengingat masjid, sebagaimana juga didalam Al-Qur’an surat Al Jumu’ah ayat 9-10.

  • Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat maka bersegeralah kalian untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.
  • Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung.
Asalamualaikum.

===========================================================

Kekeliruan Umum tentang Uang Kertas

Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara

Detik ini banyak orang yang masih percaya bahwa uang kertas diterbitkan oleh bank sentral dengan back up logam mulia, emas dan atau perak. Ini sungguh keliru. Kebanyakan uang kertas langsung kehilangan nilai ekuivalennya untuk dapat ditukarkan dengan emas dan perak (ataupun komoditas lainnya) dalam tahun yang sama dengan saat ia diterbitkan.
  Telaah atas sejarah uang kertas menunjukkan kegagalan yang selalu dialami oleh otoritas yang menerbitkan-nya untuk memenuhi kewajiban kontraktualnya (saat ada warga mau menebuskan uang kertas), yang pada mulanya adalah dalam bentuk emas dan perak.
  Setelah PD II kebanyakan mata uang di dunia ini telah bergabung dengan Perjanjian Bretton Wood (dibentuk 1944). Dalam sistem Bretton Wood kebanyakan mata uang kertas ini dikaitkan dengan dolar AS yang dikaitkan dengan emas, dengan kesetaraan 35 dolar AS/troy ounce emas. Sistem ini akhirnya dibubar-kan secara sepihak oleh Richrad Nixon, Presiden AS, pada 1973. Sejak saat itu tidak ada satupun mata uang kertas yang didukung dengan emas.
  Uang kertas, sepenuhnya, adalah 'uang fiat' yang nilainya didasarkan sepenuhnya semata-mata atas 'jaminan' hukum dari pemerintah. Saat ini bahkan uang kertas ini pun semakin sedikit dibutuhkan, sebab telah digantikan hanya dengan byte-byte dalam komputer, yang ditransaksikan secara elektronik.

Diterbitkan oleh Perusahaan Swasta

Di sini ada kesalahkaprahan lain di tengah kita yang secara keliru mempercayai bahwa uang kertas suatu negara diterbitkan oleh pemerintah. Yang benar adalah uang kertas, maupun koin-koin recehan yang terkait dengannya - dan byte dalam komputer yang diciptakannya - diterbitkan oleh bank sentral. Sudah ditunjukkan [dalam buku Ilusi Demokrasi] di atas kebanyakan bank sentral adalah perusahaan swasta, milik pribadi sekelompok bankir. Lebih dari itu, sebagian besar uang yang beredar di tengah masyarakat, tidak lagi berbentuk 'uang fisik' (uang kartal, kertas dan koin).
  Kebanyakan uang beredar saat ini berbentuk deposito dan kredit (uang giral), berupa kertas cek maupun byte, yang dibuat oleh bank-bank komersial. Perbandingan antara uang fisik dan uang ciptaan bank komersial ini biasanya adalah 1:20, suatu angka yang kini menjadi standar internasional Bank Sentral, atau lebih dari itu. Ini berarti bahwa sebagian besar uang yang berada di tengah kita sebenarnya diterbitkan oleh perbankan komersial swasta.
  Jadi, siapa yang paling bertangung-jawab atas pemasokan uang di tengah kita? Jawabnya adalah institusi swasta, yang kita sebut bank komersial ini, yang tentu saja, mendapatkan keuntungan luar biasa dari penciptaan uang dari ketiadaan ini. Perlu ditambahkan di sini, saat ini, bank-bank sentral, yang kebetulan masih berada di tangan pemerintah (walaupun sudah sepenuh-nya dikendalikan oleh jaringan bankir swasta global), cenderung diswastanisasi sepenuh-nya. Ini akan berarti bahwa pemaksaan alat pembayaran, yang berarti secara esensial adalah sebentuk pemajakan, tidak ditarik oleh pemerintah melainkan perusahaan swasta (perbankan).
  Dari uraian lain dari Helairie Beloc, sebagaimana dikutip oleh Dallas (2005) di bawah ini, kita akan mendapatkan kejelasan tentang tentang trick perbankan swasta dalam menciptakan uang dari kehampaan, hingga mereka menda-pat sumber kekuasaan yang sangat besar.
  Pada awalnya seorang pemilik koin [emas] yang ingin mengamankan-nya dari bahaya akan menitipkan-nya pada seorang pandai emas atau seseorang yang memiliki peti yang kuat dan loket untuk penebusannya. Ia akan meninggalkannya, tentu saja, dengan syarat ia dapat menariknya kembali, semuanya atau sebagiannya, setiap saat ia perlukan. Misalnyanya ada sebelas orang menitipkan masing-masing 100 keping emas pada seorang pemilik peti penyimpanan; maka orang ini akan menjadi bankir mereka. Mereka akan datang kepadanya dari waktu ke waktu, masing-masing menarik sebagian uang mereka yang akan dipakai, atau menyerahkan sejumlah uang lain untuk disimpan.
  Dengan segera diketahui, pada prakteknya, jumlah uang yang ditarik dalam jangka waktu tertentu, katakanlah sebulan, telah digantikan oleh depositor dengan kecepatan rata-rata tertentu: yakni, meski ada jumlah atau kecepatan tertentu yang ditarik ada sejumlah yang terkait yang didepositkan. Tapi di antara arus masuk dan arus keluar selalu ada sejumlah besar cadangan di tangan: selalu ada sejumlah besar emas dan perak di tangan orang yang dipercayai menyimpannya.
  Dalam praktek diketahui bahwa secara permanen sisa uang yang tak terpakai ini ada sejumlah sepuluh kali dari jumlah yang perlu disiap-kan untuk memenuhi permintaan penarik-an. Di tangan si bankir yang mendapat kepercayaan sebelas nasabah yang menitipkan uang, ada sebanyak 1.100 poundterling, dengan 1000 pound dari yang 1.100 pound ini, sepenuhnya menganggur dalam waktu tertentu. Cukup bagi si bankir untuk hanya menyimpan yang 100 pound itu sebagai cadangan untuk memenuhi per-mintaan penarikan, sebab ia bisa mengandalkan arus masuk deposit baru sebebasnya untuk memenuhi seberapa pun arus penarikan terjadi. Si Jones boleh jadi menarik 10 pound dari 100 pound tabungannya untuk keperluan Tahun Baru, tapi pada Candlemas, sebulan kemudian, ia akan membayarkan 10 pound yang ia ambil itu untuk kembali ditabung.
  Dengan demikian, cuma 1/10 dari jumlah total, yang harus disimpam oleh si bankir untuk memenuhi kewajibannya. Sisanya – sekurangnya - ia gelapkan, ini penggelapan karena seseorang menggunakan milik orang lain yang dipercayakan kepadanya demi tujuan pribadi. Tapi karena terbiasa, penggelapan ini lama-kelamaan dianggap wajar. Maka, pada akhirnya, si bankir merasa aman bila ia hanya mencadangkan 1/10 dari uang yang, berdasarkan hukum dan moral, ia wajib membayarkannya saat diminta. Sisanya yang 9/10 ia dapat gunakan untuk apa saja yang ia mau - dan khususnya diutangkan dengan riba.

Sihir Uang Kertas

Tapi itu baru awal dari cerita. Sebab, sebagaimana kita ketahui para bankir akan menerbitkan 'tanda terima', kuitansi, atau istilah resminya 'janji pembayaran' (promissory note), sebagai bukti penitipan koin emas itu. Oleh nasabahnya kuitansi ini diterima seolah sebagai benar-benar pembayaran. Kertas ini, hari ini kita sebut sebagai cek, kemudian beredar dari satu tangan ke tangan yang lain untuk suatu waktu di-cash-kan (ditukarkan dengan koin emas) di bank.
  Secarik kertas ini pun, di bawah undang-undang mata uang (law of legal tender), akhirnya menjadi uang itu sendiri. Dengan instrumen ini para bankir mendapatkan keuntungan secara luar biasa karena, dengan mengeluarkan kertas-kertas 'janji pembayaran' ini, telah menciptakan uang dari kehampaan. Beloc mencontohkan bagaimana para bankir mendapatkan pelipatgandaan keuntungan tersebut sebagai berikut ini:
Anda dan saya dengan 1.100 poundsterling dapat mengupah 11 orang untuk membangunkan sebuah rumah untuk kita dalam waktu 6 bulan. Tapi seorang bankir dengan 1.100 pound dapat sekaligus membangun 10 rumah. Anda dan saya dapat meminjam-kan uang kita yang 1.100 pound itu dengan 5% bunga dan mendapatkan 50 pound dalam setahun; tapi seorang bankir, dengan dasar yang sama, dapat memperoleh sebanyak 550 pound dalam setahun.
Ini juga belum akhir dari cerita, karena dengan berlakunya janji pembayaran tersebut sebagai uang itu sendiri, para bankir dapat melipatgandakan uangnya lagi, dengan cara menciptakan utang kepada para nasabah. Dengan teknik ‘cadangan sebagian’ ini seorang bankir kemudian dapat memperbanyak 'uang'-nya sampai jumlah hampir tak terbatas, dengan jalan mengutangkan (tepatnya: membukukan utang) dengan bunga tersebut. Dalam istilah perbankan praktek ini disebut sebagai 'ekspansi kredit'. Syarat ‘cadangan sebagian’ atau ‘fractional reserve requirement’ lazimnya pada mulanya adalah antara 8-10%. Dengan teknologi yang lebih baru, kartu kredit, sebuah bank bahkan praktis dapat membukukan utang - dengan demikian menciptakan uang - tanpa cadangan sama sekali.
  Di Indonesia, pasca liberalisasi sektor perbankan pada 1988, persyaratan cadangan ini bahkan menjadi sangat kecil, diturunkan dari 15% menjadi 2%. Inilah bibit yang menjadi awal malapetaka bangsa ini yang terjadi satu dekade kemudian ketika sektor perbankan di Indonesia rontok. Kita akan dengan luas kembali membahas nasib bangsa Indonesia yang kini terjebak dalam permainan para rentenir global ini di bawah nanti.
  Kemampuan menciptakan kredit inilah yang memberikan kekuataan politik yang sebenarnya kepada ‘oligarki keuangan’. Sejumlah bukti-bukti lain akan diberikan di bawah nanti [dalam buku Ilusi Demokrasi], baik di masa awal konsolidasi kapitalisme (abad ke-19) maupun di zaman mutakhir kini. Bank-bank kini menciptakan kredit dalam bentuk utang nasional, pada dasarnya, untuk tujuan apa saja - mulai dari perang, proyek 'pembangunan', bahkan 'reformasi politik'. Tujuan utang, bagi para rentenir, adalah demi memper-banyak utang itu sendiri, karena dengan begitu mereka menciptakan kekayaan dengan cepat dan mudah.
  Tapi bagi sebuah bangsa, utang nasional apalagi yang merupakan 'kredit politik' seperti yang dikenal sebagai Structural Adjustment Loan dari IMF, dapat berarti 'utang untuk menggali kuburnya sendiri'. Contoh kasusnya: utang kepada Daulah Utsmani dan, semakin dapat dibuktikan kebenarannya, yang diberikan kepada bangsa kita sendiri sebagaimana kita alami hari-hari ini. Kita akan melihat fakta-faktanya di bawah nanti [dalam buku Ilusi Demokrasi]. Pajak Terselubung Semua-nya sudah makin jelas kini. Tapi masih ada juga kesalahpahaman lain tentang uang kertas dan implikasinya. Sebagian orang beraggapan bahwa uang kertas lebih memajaki (membebani) kaum kaya yang punya lebih banyak uang daripada kaum miskin yang lebih sedikit memegangnya. Ini kekeliruan fatal, karena yang sebaliknyalah yang terjadi. Inflasi adalah pajak yang jauh lebih dibebankan kepada orang miskin. Sebab, meskipun inflasi menurunkan nilai semua mata uang dalam suatu waktu tanpa melihat siapa yang memilikinya, inflasi lebih menguntungkan orang-orang yang tengah berutang. Sebab, mereka yang berutang, akan melunasinya dengan nilai uang yang secara riil lebih kecil dari nilai asal yang menjadi kewajibannya semula. Karena yang mendapatkan kredit ini kebanyakan adalah orang kaya, merekalah yang lebih diuntungkan oleh sistem ini, dengan dua alasan:
  1. Inflasi menurunkan nilai riil uang yang harus dibayarkan oleh debitur kaya tersebut.
  2. Sistem uang kertas memberikan keistimewaan eksklusif yang luar biasa kepada orang kaya berupa akses untuk mendapatkan modal dari perbankan.
Secara keseluruhan sistem uang kertas adalah suatu bentuk ketidakadilan berupa pajak yang paling berat bagi warga negara, terlepas dari kelas sosial dan kondisi lainnya, demi keuntungan segelintir pribadi-pribadi. Semakin banyak uang yang diciptakan, dalam bentuk kredit yang dikeluarkan oleh bank, semakin tinggi pajak yang harus ditanggung oleh masyarakat. Tingkatnya melebihi inflasi, karena harus kita tambahkan di sini dengan tidak meratanya peredaran uang, karena berlakunya formula 'uang-datang-kepada-uang'. Seseorang yang akan meminta kredit kepada bank, katakanlah Rp 1 milyar, harus menyediakan ekuitas senilai yang sama, Rp 1 milyar. Mungkinkah Rp 1 milyar ini disediakan oleh seorang nelayan di Muara Angke? Kredit perbankan hanya akan datang kepada kaum kaya, yang akibatnya akan makin mempertajam jurang ketimpa-ngan antara si kaya dan si miskin.
  Itulah, boleh jadi, sisi terburuk dari sistem uang kertas: perpajakan terselubung, yang tidak terlihat karena tidak mudah, dan tidak pernah, dihitung seperti halnya inflasi. Secara keseluruhan itulah kapitalisme, yang ditopang oleh dua sumber hidupnya, riba sebagai jantung kiri dan pajak sebagai jantung kanannya. Dalam skala global kapitalisme, telah menggantikan kekuatan militer sebagai alat untuk mengendalikan warga masyarakat.

==============================================================

Salah Paham Dinar dan Dirham

Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Justru penggunaan uang kertas itulah yang batil, dan harus dihentikan.
  
Di tengah kian lazimnya penggunaan Dinar emas dan Dirham perak oleh masyarakat muncul pernyataan seorang pejabat Bank Indonesia (BI): 'Dilarang bertransaksi dengan Dinar dan Dirham.' Ia mengacu UU no 7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang memidana penggunaan selain rupiah di dalam wilayah RI, dengan hukuman penjara 1 tahun atau denda Rp 200 juta. Meskipun ada juga pengecuali-annya yaitu transaksi non-rupiah diizinkan bila diperjanjikan terlebih dahulu atau untuk perdagangan internasional.
  Adanya pengecualian itu saja sebenarnya sudah membuat undang-undang ini tidak efektif. Sebab, bukankah dengan mudah setiap orang dapat menyatakan bahwa apakah transaksi yang dilakukan dengan dolar AS atau yen atau mata uang non-rupiah lainnya telah diperjanjikan terlebih dahulu? Adapun terhadap Dinar dan Dirham undang-undang di atas sama sekali tidak relevan. Pernyataan pejabat BI itu muncul karena kesalahpahaman, atau tepatnya pema-haman yang salah, tentang Dinar dan Dirham.

Mata Uang Tidak Sah

Undang-undang Mata Uang adalah Legal Tender Law yaitu mengatur penggunaan mata uang yang sah, mata uang fiat (kertas atau koin) yang dipaksakan dan diakui oleh suatu negara, berdasarkan hukum negara bersang-kutan. Dinar emas dan Dirham perak bukanlah mata uang yang sah dari sesuatu negara. Keduanya tidak mengan-dung nilai nominal sebagaimana mata uang fiat. Dinar emas dan Dirham perak adalah satuan berat, masing-masing 4.25 gr emas (22 karat) dan 2.975 gr perak (murni). Standar berat ini telah ditetapkan oleh Khalifah Umar ibn Khattab, dan menjadi ketetapan ijma' ulama.
  Jadi, menyamakan Dinar emas dan Dirham perak, dengan uang fiat adalah absurd. Posisi koin emas dan koin perak dapat disamakan dengan sekilo kentang atau sekuintal beras. Keduanya adalah komoditas bernilai intrisik dan bukan nilai fantasi yang dilekatkan kepadanya sebagaimana nilai nominal pada uang kertas. Dalam syariat Islam posisi Dinar dan Dirham pun tidak ekslusif berlaku sebagai alat tukar. Sebab, rukun pertama bertransaksi dalam syariat Islam adalah keridhoan kedua belah pihak. Tidak boleh ada pemaksaan dalam bertran-saksi, termasuk pemilihan alat tukar. Jadi, dalam berjual beli, tidak harus menggunakan Dinar atau Dirham, tetapi bisa dengan beras, jagung, kurma, garam, dan benda-benda lain yang dapat dan lazim dipakai sebagai alat tukar.
  Yang sama sekali dilarang dalam bertransaksi ini justru penggunaan nota hutang, yang kini kita sebut uang kertas itu. Kehadiran Dinar emas dan Dirham perak yang tidak bisa digantikan di dalam syariat Islam adalah sebagai alat pembayaran zakat (uang dan perniaga-an). Zakat mal harus dibayarkan dengan 'ayn, yaitu komditas bernilai, dan tidak boleh dengan dayn, atau nota hutang. Selama satu abad terakhir ini pembayar-an zakat menggunakan uang kertas didasarkan kepada dalil darurah, karena kedua koin tersebut tidak ada di tengah umat Islam. Jadi, kembalinya Dinar dan Dirham hari ini, adalah agar umat Islam dapat kembali menjalankan rukun zakat sesuai syariat.
  Tidak kalah pentingnya adalah bahwa semua ketentuan dalam syariat Islam yang berkait dengan nilai dan harga, seperti dalam hudud, diyat, nisab, sedekah dan mahar, semuanya hanya mengacu kepada Dinar dan Dirham. Maka, tanpa keduanya, selain zakat, syariat muamalah tidak akan bisa dijalan-kan. Jadi, tanpa Dinar dan Dirham, tidak ada zakat dan muamalat, terus tidak ada syariat.

Bertentangan dengan UU Bank

Kembali kepada posisi Dinar emas dan Dirham perak dalam transaksi jula beli, adalah sebagai bentuk kebebasan pilihan semata. Bukan satu-satunya pilihan sebagai alat tukar, apalagi pemilihan itu dipaksakan oleh suatu pihak tertentu, melalui legalisasi atau kriminalisasi. Dinar dan Dirham tidak pernah menjadi dan tidak pernah dimaksudkan sebagai mata uang yang sah, dan karena itu juga bukan hendak dijadikan sebagai alternatif atas uang kertas. Kehadirannya adalah untuk melaksanakan perintah Allah, subhanahu wa ta'ala, dan Rasulullah, sallalahu alayhi wa sallam.
  Sebaliknya, uang kertas yang merupakan kertas tak bernilai dan penerbitannya dimonopoli oleh satu pihak, dan pemakaiannya untuk umum dipaksakan, adalah alat tukar yang batil dan bertentangan dengan syariat Islam. Kebebasan bertransaksi dijamin langsung oleh Allah, subhanahu wa ta'ala, dan dijaga melalui sunnah Rasul, sallalahu alayhi wa sallam, dan diatur melalui syariat Islam. Memaksakan setiap orang (Indonesia) untuk bertran-saksi hanya dengan uang kertas rupiah, dan melarang bahkan menghukum transaksi yang dilaku-kan dengan alat tukar lain atas dasar suka sama suka, berarti mem-berangus kebebasan bertransaksi.
  Tanpa undang-undang mata uang, rakyat Indonesia telah menjalani kehidupan ekonomi dengan normal, selama ratusan tahun, bahkan sejak kita mengenal uang kertas rupiah 66 tahun lalu. Tanpa undang-udang mata uang perbankan kita juga telah berjalan, diatur mula-mula oleh Undang-undang (UU) No 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan UU No. 23 tahun 1999 tentang BI. UU No 7/1992 tersebut membolehkan bank untuk 'melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil' (syariat Islam). Dalam UU yang baru, yakni UU No 10/1998, secara eksplisit ditetapkan bahwa bank boleh beroperasi berdasar-kan prinsip-prinsip syariah. Bahkan, kemudian, UU No 23/1999 tentang BI juga menetapkan bahwa BI sebagai bank sentral dapat 'melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah'.
  Pemakaian kembali Dinar dan Dirham bukan cuma berdasarkan kepada prinsip syariah, tetapi merupakan pengamalan dari syariah itu sendiri. Maka, UU Mata Uang itu bertentangan dengan UU No 10/1998 tentang Perbankan dan UU No 23 tahun 1999 tentang BI itu sendiri, ya kan… Lagi pula, secara asasi, kebebasan menjalankan ibadah sesuai syariat Islam, menguasai hak milik, berpartisipasi memajukan masyarakat dan bangsa, menggunakan identitas budaya dan tradisi, semuanya dijamin oleh konstitusi RI, yaitu UUD 1945 (yang telah diamandemen).

Dinar Dirham Dijamin Konstitusi

Pasal 28C Ayat (2) UUD menyatakan:
'Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya'.
Pasal 28H Ayat (4):
'Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.'
Pasal 28I Ayat (3):
'Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan pradaban.'
Sedangkan Pasal 29 Ayat (2):
'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.'
Koin Dinar dan Dirham adalah milik pribadi, berbeda dari uang kertas yang merupakan nota utang BI dan tidak pernah menjadi milik pemegangnya. Dinar dan Dirham merupakan bagian dari tradisi dan budaya bangsa Nusantara, karena selama ratusan tahun digunakan di berbagai kesultanan di Nusantara, mulai dari Aceh sampai Gowa. Dan, yang paling pokok, Dinar dan Dirham merupakan bagian dari ibadah (pembayaran zakat, mahar, mumalat).
  Jadi, pemakaian Dinar dan Dirham merupakan hak asasi, hak konstitusional dan hak legal rakyat. Undang-undang mata uang yang ditafsirkan untuk melarang pemilikan dan penggunaan Dinar dan Dirham, bertentangan dengan UUD, bertentangan dengan undang-undang perbankan dan undang-udang tentang BI, serta bertentangan dengan Al Q'uran dan Sunnah Rasul, sallalahu alayhi wa sallam,
  Menghambat pemakaian kembali Dinar dan Dinar juga hanya akan merugikan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Keduanya adalah aset riil. Semakin banyak Dinar dan Dirham yang berada di tangan masyarakat semakin kokoh ekonomi rakyat dan bangsa ini. Sebagaimana terbukti dalam masa satu dasawarsa ini Dinar emas dan Dirham perak bebas inflasi, menstabilkan ekonomi keluarga, menurunkan harga-harga, serta mening-katkan kesejahteraan masyarakat.

Catatan redaksi:

Sahabat kami pernah berkata, tugas Bank itu menarik emas yang beredar di masyarakat sehingga di-launching-lah program Gadai Emas. Nah sekarang, Emas dan Perak sedang beredar di masyarakan, sehingga mereka kehabisan akal untuk menarik emas itu, kemudian mereka memakai jurus andalannya “UU no 7 tahun 2011 tentang Mata Uang”.
Bersiap-siaplah, karena mereka udah mulai mempersiapkan jurus andalan terbaru, apa itu? Kita lihat aja nanti, tapi menurut kami, fenomena pengerukan emas di Indonesia dan peralihan Dollar ke Koin Emas dan Perak oleh Negara bagian USA, UTAH itu sudah mewakili. Bayangkan, koin-koin emas dan perak (katakanlalah Dinar dan Dirham), bisa didapatkan dengan cara kredit berbunga yang dikeluarkan pihak Bank…?
===============================================================

Meresapi indahnya bermuamalah dengan Dinar Dirham

Devid Hardi,

Pepatah lama “Tak Kenal Maka Tak Sayang” sepertinya memang berlaku pada semua hal. Demikian juga dengan dinar dirham.
  Ditengah bobroknya sistem ekonomi dunia, yang membuat harta rakyat (bahkan negara) dirampok secara diam-diam oleh pihak-pihak tertentu, syiar kembali ke dinar emas dan dirham perak terus digalakkan. Ummat islam kembali dikenalkan bahwa mereka sebenarnya memiliki mata uang yang sangat adil dan stabil yaitu dinar dan dirham.
  Selain sangat baik untuk digunakan sebagai alat transaksi muamalah (jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, kerjasama qirad atau syirkah dan transaksi lain), dinar dirham juga merupakan dasar perhitungan dan pembayaran zakat mal yang sah.
  Namun tidak semua orang peduli dan mau mengindahkannya. Bahkan ummat islam sendiri, belum banyak yang peduli, walaupun telah diberitahukan beberapa kali. Penulis yakin, hal ini seringkali ditemui oleh siapapun yang berusaha mensosialikan dinar dirham untuk transaksi muamalah kepada masyarakat. Apa penyebabnya ? Entahlah, secara teoretis cukup banyak kemungkinan penyebabnya.
Namun fenomena itu sebenarnya sangat sederhana untuk dijawab:
Tak Kenal Maka Tak Sayang!
  Tanyakanlah bagaimana indahnya bermuamalah menggunakan dinar dirham kepada orang-orang yang sudah mengenal dinar dirham. Bisa dipastikan mereka menjawab “sangat indah dan manis, makin hari makin sayang”
  Bukan, ini bukan tentang mencintai grafik turun naik harga emas, bukan tentang investasi, spekulasi maupun berkebun emas. Jauh lebih manis lagi. Rasa sayang yang TIDAK MUNGKIN dirasakan oleh orang yang tidak kenal dengan dinar dirham.
  Ini tentang manisnya bermuamalah menggunakan dinar dirham, tidak melulu tentang besarnya transaksi atau untung jual beli yang diperoleh.
  Lihatlah betapa bahagianya bu Citra menerima beberapa koin dirham perak untuk pembayaran busana muslim dagangannya. Lihat juga senyum bahagia pembeli yang merasa lega bisa bertransaksi tanpa riba.
  Coba perhatikan senyum bahagia kang Ghulam, kang Ikhsan, kang Agung, mba Tantri, teh Ella, bu Arum, bu Vera dan puluhan pedagang lainnya yang barangkali hanya menerima 1 dirham atau 1 daniq saja untuk membayar telur, beras, buku, abon sapi, tas, minyak goreng dan dagangan lainnya.
  Pembaca tentu tidak dapat melihat bagaimana lebih bahagianya penulis menerima 2 koin daniq (senilai 22.000) daripada 25.000 untuk 1 buah buku Satanic Finance yang dipesan oleh saudara seiman dari Palembang.
  Ini tidak melulu tentang laba. Berdagang mencari laba? tentu!!, buat apa jualan kalau tidak untung. Tapi ada yang jauh lebih indah dari sekedar mendapat laba dari jual beli, yaitu betapa nikmatnya bertemu, berkumpul dan bertran-saksi tanpa riba dengan saudara saudari lainnya disebuah pasar yang bebas pajak, bebas sewa, bebas pungli sebagai mana seharusnya transaksi dan pasar dalam muamalah islam.
  Bertemu dan bermuamalah dengan saudara saudari seiman yang bersungguh-sungguh dan ingin dan memulai langkah hijrah dari sistem ribawi yang busuk menuju muamalah yang mulia.
  Perasaan sayang dan bahagia yang TIDAK MUNGKIN dapat dirasakan oleh siapapun yang tidak mengenal dan mengamalkan dinar dirham untuk transaksi muamalahnya.
  Ditengah perdebatan para pakar ekonomi, cendikiawan muslim hingga masyarakat awam apakah dinar dirham benar-benar bisa jadi obat untuk sakit parah sistem ekonomi dunia saat ini, disaat beberapa orang dengan khusyuk masyuk mempelototi grafik naik turunnya harga emas dan perak yang bisa membuat jantungan, ada sekumpulan kecil orang yang sudah mulai merasakan nikmatnya hidup bermuamalah tanpa riba.
Ya, Tak Kenal Maka Tak Sayang.
Tidakkah Anda ingin ikut merasa-kan manisnya bermuamalah tanpa riba? Tunggu apa lagi?
Coba kenali dinar dirham, kenali cara bermuamalah dalam islam, kenali riba dan bahayanya. Bisa dipastikan, begitu Anda kenal Anda akan langsung jatuh cinta dengan rasa sayang yang kian membesar setiap harinya.
=============================================================

Marhaban Ya FHP MEDAN

Syah Rizal Moeis,

Festival Hari Pasaran (FHP) Dinar Dirham telah dilaksanakan pada hari Jum'at, 3 Agustus 2012 di Mesjid An Nazhirin Jln Karya Wisata Gedung Johor Medan.
  Masyarakat Dinar Dirham Sumut, Forum Ummat Islam (FUI) Sumut, FUI Medan dan BKM Masjid AN Nazhirin bekerja sama mewujudkan FHP yang baru pertama sekali dilakukan di Medan.
  Satu dua hari sebelum FHP telah dibagikan sekitar 74 Dirham zakat mal keluarga ibu Endah kepada mustahik disekitar mesjid An Nazhirin. Acara FHP dibuka oleh Ust Rahmat Setia Budi mewakili FUI Sumut, dimulai pada pukul 14.30 dan diakhiri sekitar pukul 18.00. Ada sekitar 12 Jawara yang berpartisipasi dalam FHP tersebut ada pedagang sembako, kue kering, kripik, rempeyek, bika ubi, sayuran dan baso organik, ayam potong herbal, buku muslim, pakaian muslim, susu kambing, koleksi perhiasan, minyak wangi dan herbal.
  Tidak diduga ternyata antusiasme jamaah masjid An Nazhirin, sahabat dan simpatisan FUI SU, FUI Medan dan masyarakat Dinar Dirham sangat baik. Mereka bukan hanya tertarik mengikuti seminar 'Keunggulan Dinar Dirham' yang disampaikan Syah Rizal Moeis tetapi juga ingin mengetahui lebih lanjut dan berbelanja dengan menggunakan Dinar dan Dirham pada FHP.
  Dari catatan yang ada ternyata, transaksi penggunaan Dinar dan Dirham sudah mulai diterima. Wakala Baitul Dinar yang sepenuhnya mendukung FHP tersebut menyatakan bahwa sebahagian besar Dirham yang telah diedarkan tidak ditukarkan kembali ke wakala. Itu berarti Dirham telah berada di masyarakat dan mulai berfungsi sebagai alat tukar dan alat penyimpan nilai yang dipercayai masyarakat yang hadir pada FHP tersebut.
  Berita baik lainnya adalah telah dilakukan evaluasi bersama para penyelenggara sehari sesudah FHP dilakukan dan yang paling pantas disyukuri dari hasil evalusi tersebut adalah adanya niyat bersama untuk membuat FHP ini menjadi tradisi periodik dan keinginan untuk menyampaikan berita baik ini ke masyarakat Islam di Medan. Insya Allah wujud. Amin.

No comments:

Post a Comment